Tuesday, December 28, 2010

Angkasa Indonesia makin teracak-acak


Industri satelit, memang tak secemerlang seluler. Gaungnya tak terdengar sampai kepada pelosok dan penjuru Tanah Air. Maklum, industri yang sarat teknologi dan investasi itu hanya melayani konsumen perusahaan telekomunikasi, penyiaran/broadcasting, dan Internet.
Pada sudut pandang yang berbeda, konsumen dari satelit bisa juga datang dari kalangan militer atau lembaga penelitian sejenis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Meski tak secemerlang seluler, tetapi keberadaan satelit merupakan jaminan identitas suatu bangsa, dan sedikit di atasnya, satelit merupakan pertanda adanya suatu negara dan bangsa yang berdaulat.
Direktur Hubungan Internasional Kemenkominfo Ikhsan Baidirus mengungkapkan satelit Indonesia merupakan satelit yang didaftarkan ke ITU atas nama administrasi telekomunikasi Indonesia.
“Dalam eksistensinya, satelit-satelit Indonesia tersebut diselenggarakan oleh para penyelenggara satelit Indonesia yang meliputi PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Media Citra Indostar, PT Pasifik Satelit Nusantara, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan),” ujarnya.
Sementara itu, daftar satelit Indonesia terdiri dari Palapa Telkom-1 (108oBT), Telkom-2 (118oBT), Palapa C-1 (113oBT), Palapa Pacific 146oBT, Cakrawarta-1 (107,7oBT), Garuda-1 (123oBT), dan satelit Lapan Tubsat.
Kita pernah mencatat sejarah manis setelah berhasil meluncurkan satelit komunikasi domestik Palapa A-1 ke angkasa pada 9 Juli 1976, di saat angkasa Indonesia masih kosong dari satelit-satelit asing.
Peluncuran satelit Palapa A-1 juga menandai Indonesia layak disejajarkan dengan empat negara besar lainnya di dunia yaitu Kanada, Amerika Serikat, dan Jepang yang telah mengoperasikan satelit sendiri.
Pada 10 Maret 1977, Indonesia pun berhasil meluncurkan satelit berikutnya yang diberi nama Palapa A-2 yang memiliki 12 transponder seperti yang dimiliki Palapa A-1.
Kedua satelit komunikasi Indonesia itu memiliki umur yang relatif pendek, yaitu tujuh tahun di mana Palapa A-1 berakhir masa operasinya pada 1983, sedangkan Palapa A-2 berakhir pada 1984.
Namun, saat itu pemerintah Indonesia melalui Perumtel yang kini bernama Telkom telah mengantisipasi umur satelit tersebut jauh-jauh hari dan sudah memikirkan penggantinya yaitu Palapa B-1 yang diluncurkan pada 17 Juni 1983.
Karena suatu masalah, maka satelit Palapa B1 berumur pendek yaitu hanya dua tahun, untungnya pemerintah sudah menyiapkan Palapa B-2 yang kemudian diluncurkan pada 2 Februari 1984.
Namun, satelit tersebut bermasalah lagi, sehingga tidak masuk pada orbitnya dan kemudian hilang.
Pemerintah pun segera meluncurkan satelit pengganti Palapa B2P pada 21 Maret 1987 dan masuk pada slot orbit 113 derajat Bujur Timur (BT). Satelit B2 yang hilang kemudian ditemukan kembali, kemudian diluncurkan dengan nama Palapa B2R menempati slot orbit 108 derajat BT pada 14 April 1990.
Guna memenuhi kebutuhan nasional, maka pada 14 Mei 1992, diluncurkan juga satelit Palapa B4 dan berada pada slot 118 derajat BT. Setelah itu, Indonesia berturut-turut meluncurkan satelit Palapa C-1 pada 31 Januari 1996 dan langsung menempati slot 113 derajat BT yang kemudian digantikan Palapa C-2 pada Mei 1996.
Selanjutnya karena kebutuhan dan permintaan pasar yang tinggi terhadap akses data dan komunikasi, maka Telkom meluncurkan satelit Telkom-1 pada 13 Agustus 2005 menyusul kemudian satelit Telkom-2 yang diluncurkan dari tempat yang sama pada Februari 2006 pada slot 118 derajat BT.
Bicara masalah satelit dalam kaitannya dengan harga diri suatu bangsa, Indonesia pernah kehilangan salah satu aset yang sangat berharga, yaitu slot satelit yang dinotifikasikan ke International Telecommunication Union (ITU). Tak tanggung-tanggung, kita sempat kehilangan 3 slot satelit!
Indosat misalnya, merupakan pengelola dua slot satelit yangs empat hilang, yaitu 113 derajat BT dan 150,5 derajat BT. Terakhir kita mendengar ke-3 slot tersebut sudah dapat diselamatkan lagi oleh pemerintah.
Kini, entah disadari pemerintah atau tidak, sejumlah pihak memberikan begitu saja filing satelit milik Indonesia ke pihak asing dan mengarahkan pancaran sinyal satelitnya (beam) ke negara lain, bukan ke Indonesia.
Sebut saja Satelit Garuda, yang ternyata lebih banyak dimiliki oleh Mabuhay Philippines Satellite Corporation (MPSC) daripada operator satelit Indonesia PT Pasifik Satelit Nusantara.
Kabarnya, menurut data dari Ditjen Postel dan Center for Indonesia Telecommunications Regulation Study (Citrus), malah PSN hanya memiliki 5% dalam satelit itu. Namun dalam konfirmasinya, Komisaris Utama PT PSN Adi Rahman Adiwoso mengatakan pihaknya memiliki 35% dalam satelit Garuda.
Beam dari satelit Garuda sendiri mengarah ke Filipina, dan yang menyedihkan, operator satelit Filipina tersebut tidak dibebani biaya hak penggunaan (BHP) satelit atau universal service obligation (USO). Adiwoso berjanji akan mengecek hal itu.
Angkasa Indonesia makin teracak-acak dengan adanya peluncuran satelit Protostar yang diklaim Indovision merupakan satelit miliknya. Padahal, menurut situs resmi Protostar dan SES SA, status mereka adalah payload atau menyewa selama 15 tahun atau seumur dengan satelit tersebut di S-Band.
Entah kenapa, keberadaan satelit yang merupakan satelit asing tersebut sama sekali “tidak diganggu” pemerintah. Bahkan, Kemenkominfo terkesan melindunginya dengan memperjuangkan filing satelit baru untuk satelit asing tersebut di 108,2 oBT, meski Indonesia sebenarnya sudah memiliki filing di 107,7 oBT.

//Kerugian negara//
Sangat janggal apabila pemerintah melepas 107,7oBT dan memperjuangkan 108,2 oBT yang mungkin baru bisa dimiliki setelah 7 tahun. Dan selama itu lah, satelit asing milik Protostar yang kemudian dibeli oleh SES SA bebas memberikan layanan di Indonesia melalui Indovision tanpa mengurus hak labuh, apalagi dikenai BHP satelit atau USO.
Slot orbit 107,7 oBT secara otomatis tidak bisa digunakan karena akan berinterferensi dengan slot di dekatnya, yaitu 108,2 oBT. Apabila praktik semacam ini terus dilanggengkan, maka Indonesia sebenarnya kehilangan pajak satelit dan dana USO yang lumayan besar. Apalagi, kinerja satelit tersebut tanpa hak labuh sehingga angkasa Indonesia seakan teracak-acak.
Sekretaris Perusahaan Indovison Arya Mehendra berulang kali mengungkapkan pihaknya memegang kendali satelit Indostar 2/SES 7 pada S-Band dan memiliki satelit bumi di Indonesia.
Penanganan kehadiran operator satelit asing yang memenuhi angkasa Indonesia memerlukan koordinasi dari Kementerian Kominfo, Kemenhuk dan HAM, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di bawah Koordinasi Kementerian Perekonomian.
Kementerian Kominfo harus fokus pada pemanfaatan dan optimalisasi filing slot orbit satelit, BKPM akan menangani persoalan PMA, dan Kemenhuk dan HAM menangani soal badan hukum.
Selama ini operator satelit asing yang bekerja sama dengan operator satelit lokal bebas menjalankan bisnisnya menggunalan filing Indonesia dan memancarkan satelit ke negaranya. Selama BKPM belum menetapkan status PMA dan Kemenhuk dan HAM belum menetapkan badan hukum kepada mereka, maka selamanya mereka bebas menggunakan filing satelit kita, padahal filing dan slot orbit merupakan sumber daya yang terbatas.(arif.pitoyo@bisnis.co.id)

Monday, December 27, 2010

BKPM perlu tangani operator satelit asing



Regulator telekomunikasi mendesak Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) perlu turun tangan dalam menangani kerja sama satelit yang berupa kondosatelit.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengatakans elama ini operator satelit asing yang bekerja sama dengan operator satelit lokal bebas menjalankan bisnisnya menggunalan filing Indonesia dan memancarkan satelit ke negaranya.
“Selama BKPM belum menetapkan badan hukum kepada mereka, maka selamanya mereka bebas menggunakan filings atelit kita, padahal filing dan slot orbit merupakan sumber daya yang terbatas,” katanya kepada Bisnis hari ini.
Jenis kondosatelit yang dikenal saat ini adalah antara PT Media Citra Indostar (MCI/Indovision) dengan SES SA asal Prancis di mana MCI menyewa S-band dari satelit SES 7/Indostar 2 untuk menyiarkan layanan Indovision.
Kondosatelit lainnya adalah antara PT Pasifik Satelit Nusantara dengan Mabuhay Philippines Satellite Corporation (MPSC) dalam satelit Garuda/Mabuhay di mana PSN hanya memegang kepemilikan 35%.
Selama ini, kata Nonot, yang membayar pajak berupa BHP satelit dan pungutan USO (universal service obligation) hanya operator dari Indonesia, yaitu Indovision dan PSN.
Sementara itu, Pemerintah akan menaikkan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi broadcasting baik televisi free to air maupun satelit untuk mencegah pemborosan penggunaan spektrum dan meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Direktur Spektrum Frekuensi dan Orbit Satelit Kemenkominfo Tulus Rahardjo mengungkapkan pemerintah dan regulator akan membebankan biaya frekuensi yang adil baik terhadap telekomunikasi maupun broadcasting.
“Sangat setuju apabila BHP pita segera diterapkan baik kepada sektor telekomunikasi maupun broadcasting untuk mendorong optimalisasi penggunaan frekuensi,” katanya kepada Bisnis hari ini.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Postel, sektor telekomunikasi hanya menguasai sekitar 585 MHz, sementara broadcasting menguasai hampir 1.200 MHz.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Perusahaan PT Media Citra Indostar (MCI/Indovision) Arya Mahendra Sinulingga mengatakan fungsi telekomunikasi dan penyiaran adalah berbeda. Telekomunikasi itu langsung dipakai langsung dapat uang, sedangkan penyiaran ada unsur sosial, budaya, dan politiknya yang kental untuk membangun bangsa.
“Ini hanyalah lagu lama, usaha-usaha dari telekomunikasi untuk mengambil frekuensi penyiaran. Sebaiknya jangan hanya mikir uang saja,” tegasnya.(api)

BHP frekuensi broadcasting akan dinaikan


JAKARTA: Pemerintah akan menaikkan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi broadcasting baik televisi free to air maupun satelit untuk mencegah pemborosan penggunaan spektrum dan meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Direktur Spektrum Frekuensi dan Orbit Satelit Kemenkominfo Tulus Rahardjo mengungkapkan pemerintah dan regulator akan membebankan biaya frekuensi yang adil baik terhadap telekomunikasi maupun broadcasting.
“Sangat setuju apabila BHP pita segera diterapkan baik kepada sektor telekomunikasi maupun broadcasting untuk mendorong optimalisasi penggunaan frekuensi,” katanya kepada Bisnis hari ini.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Postel, sektor telekomunikasi hanya menguasai sekitar 585 MHz, sementara broadcasting menguasai hampir 1.200 MHz.
Namun, meski memiliki spektrum lebih kecild ari broadcasting, sektor telekomunikasi menyumbang 90% dari BHP frekuensi, yaitu mencapai Rp5,13 triliun pada tahun ini. Adapun sektor penyiaran hanya menyumbang Rp20 miliar sepanjang 2010.
Grup Media Citra Indostar misalnya, hanya membayar BHP frekuensi sebesar Rp2 miliar per tahun, sedangkan BHP frekuensi yang didapat dari operator satelit mencapai Rp10 miliar.
Tulus melanjutkan BHP pita akan diterapkan bagi besaran pita yang digunakan secara eksklusif dan bernilai ekonomis.
Sebelumnya, pendiri Center for Indonesia Telecommunications Regulation Study Asmiyati Rasyid mengungkapkan pemerintah perlu mengurangi alokasi spektrum broadcasting dan telekomunikasi yang kurang dimanfaatkan secara optimal.
Berdasarkan data Citrus, lebar spektrum untuk Telkomsel totalnya mencapai 80 MHz dengan jumlah pelanggan 130 juta orang, XL dengan 40 MHz memiliki lebih dari 30 juta pelanggan, dan Natrindo Telepon Seluler (NTS) yang memiliki lebar pita sama dengan XL hanya memiliki 8 juta pelanggan.
“Pemerintah harus tegas, karena pada dasarnya tidak ada operator kecil, yang ada hanya operator yang malas untuk membangun jaringan. Sosialisasi BHP berdasarkan pita sudah dilakukans ejak 1997, jadi sudah cukup bagi pemerintah memberi waktu,” tutur Asmiyati.
Terkait dengan alokasi pita untuk broadcasting, Asmiyati mengungkapkan MCI terlalu besar menguasai pita 2,5 GHz, padahal sesuai dengan standar International Telecommunication Union (ITU), pita 2,5 GHz diperuntukkan bagi mobile services, baikd alam bentuk WiMax atau LTE (Long Term Evolution).
Menanggapi hal itu, Sekretaris Perusahaan PT MCI Arya Mahendra Sinulingga mengatakan fungsi telekomunikasi dan penyiaran adalah berbeda. Telekomunikasi itu langsung dipakai langsung dapat uang, sedangkan penyiaran ada unsur sosial, budaya, dan politiknya yang kental untuk membangun bangsa.
“Ini hanyalah lagu lama, usaha-usaha dari telekomunikasi untuk mengambil frekuensi penyiaran. Sebaiknya jangan hanya mikir uang saja,” tegasnya.
Asmiyati menilai sejak liberalisasi televisi asing untuk swasta, layanan publik hanya berisi iklan-iklan konsumerisasi, adapun dari sisi ekonomi telekomunikasi lebih bagus meningkatkan pendapatan daerah.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengatakan saat ini BHP satelit masih berdasarkan ISR, yang sudah saatnya berbasis pita, karena itu ada rencana Direktorat Frekuensi untuk kesana.
“Tapi tentu ada pembobotan yang berbeda karena kebutuhan 1 kanal TV sama dengan 1.000 kali voice.
Harusnya BHP broadcast dinaikan ke level yang wajar,” katanya.(api)

Wednesday, December 1, 2010

Manajemen lisensi telekomunikasi lebih banyak by accident

JAKARTA: Pemberian lisensi telekomunikasi di Indonesia dinilai masih menganut manajemen by accident.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengatakan hingga saat ini pemberian lisensi tidak berdasarkan desain dan lebih banyak menggunakan manajemen accident.

“Hal ini dipicu oleh Indonesia belum memiliki roadmap telekomunikasi yang jelas. Kami di BRTI sudah beberapa kali memberi masukan mengenai roadmap tersebut kepada pemerintah dan DPR,” katanya kepada Bisnis hari ini.

Menurut dia, transisi dari monopoli ke oligopoli belum pernah dikawal oleh regulasi. Selain itu, kata Nonot, jaringan Internet yang sudah membesar menjelang 2000 juga tidak diakomodasi di UU Telekomunikasi No. 36/1999.

Lisensi dengan manajemen by accident, menurut Nonot, berisiko perubahan struktur bisnis dari pola PSTN yang vertically-integrated (operator besar) menjadi kolaborasi pengusaha besar dan kecil akibat booming Internet dengan sistem kompetisi terbuka menjadi tidak terkontrol.

“Investasi jaringan serat optik juga menjadi sangat boros karena smeua pemain bernafsu untuk memiliki semua hal. Begitu pula investasi di semua segmen,” katanya.

Akibatnya, utilisasi infrastruktur menjadi sangat rendah akhirnya tarif on-net malah ngawur, belum lagi ditanbah kepanikan untuk tampil cantik di bursa saham.

Terkait dengan rencana pemberian lisensi seluler kepada PT Bakrie Telecom Tbk, Sekjen Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Mas Wigrantoro Roes Setiadi mengatakan tidak ada yang berubah apabila Esia diberi lisensi tersebut. “Selama ini CDMA merupakan teknologi seluler, jadi tidak perlu diributkan.”

Menurut dia, CDMA termasuk teknologi seluler yang bisa digunakan untuk layanan mobile dan atau fixed. Untuk menentukan layanan didasarkan pada perizinan, sebagaimana Mobile-8 yang memperoleh izin seluler dari sebeluimnya hanya FWA (fixed wireless access) di teknologi CDMA.(api)

3 Operator minta penurunan tarif

JAKARTA: Tiga operator telekomunikasi seluler diketahui meminta penurunan tarif interkoneksi hingga 30%-35% kepada pemerintah dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Ketiga operator seluler tersebut meliputi PT XL Axiata, PT Natrindo Telepon Seluler, dan PT Hutchison CP Telecommunication.

“Perhitungan kami setidaknya turun 40% karena cost rata-rata per menit industri setidaknya telah turun 50%,” ujar Presdir XL Axiata Hasnul Suhaimi kepada Bisnis hari ini.

Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) telah menetapkan penurunan tarif interkoneksi sekitar 4%-6% tahun ini. Kesepakatan tersebut baru berlaku bila sudah ada persetujuan dari Menkominfo.

Menkominfo Tifatul Sembiring mengaku masih belum memutuskan penetapan tarif interkoneksi tersebut.

Anggota BRTI Nonot Harsono mengungkapkan operator tidak berhak menolak penetapan tarif oleh regulator karena evaluasi tarif merupakan tugas berkala dari BRTI.

“Metode hitung disepkati, timeline disepakati, masukan dan usulan juga sudah disepakati semua, jadi hasilnya tidak boleh ditolak,” ujarnya.

Menurut dia, adanya penurunan tarif dikhawatirkan malah menurunkan kualitas layanan telekomunikasi, dan dimanfaatkan sejumlah operator untuk berjualan gratis.

BRTI diketahui menerima permintaan penurunan tarif telekomunikasi sebesar 30%-35% dari Pt XL Axiata, PT Natrindo Telepon Seluler, dan Pt Hutchison CP.

Penurunan tarif interkoneksi yang akan ditetapkan Kementerian Komunikasi dan Informatika dinilai terlalu kecil karena average revenue per minute (ARPM) operator besar sudah turun lebih dari 100%.

Mantan Dirut Indosat Johnny Swandi Sjam mengatakan regulator dan pemerintah seharusnya menetapkan tarif interkoneksi berdasarkan ARPM tiga operator besar, yaitu Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat.

“Tinggal membagi dua ARPM operator besar tersebut, maka itu lah yang disebut tarif interkoneksi dan sudah memberikan keuntungan yang besar kepada operator,” katanya kepada Bisnis hari ini.

Apabila dilihat ARPM Indosat pada 2008, katanya, maka nilainya saat itu adalah Rp250 dan saat ini sudah turun hingga mencapai sekitar Rp100, berarti turun lebih dari 100%.

Mantan Dirut Indosat tersebut mengungkapkan apabila penurunan tarif hanya sekitar 4%-6% tentunya itu terlalu kecil dibandingkan dengan keuntungan riil yang didapat operator setiap menitnya.

Penetapan secara sepihak oleh BRTI tersebut disesalkan oleh pengguna telekomunikasi di Indonesia. Melalui Indonesia Telecommunication User Group (Idtug), pengguna telekomunikasi menyesalkan penetapan tarif oleh BRTI tanpa adanya konsultasi publik seperti biasanya.

“Budaya konsultasi publik sebelum menetapkan kebijakan seakan hilang dalam penetapan tarif interkoneksi tersebut. Ada apa ini? Padahal pengguna berharap penurunannya lebih besar lagi, sampai lebih dari 40% agar semua masyarakat bisa turut menikmati komunikasi yang murah,” tegas Sekjen Idtug Muhammad Jumadi.(api)

Thursday, September 30, 2010

Mobile web meledak...


Penggunaan web pada ponsel menunjukkan pertumbuhan yang menakjubkan tiap bulannya, menurut laporan Web Mobile.
Mobile Web mencapai momentum peningkatannya pada Agustus, dengan halaman yang dilihat meningkat lebih dari 14% dan transfer data bertambah hampir 10% dari Juli.
Web Mobile Association juga mengungkapkan lebih dari empat juta pengguna baru dari Opera Mini memberikan kontribusi pada pertumbuhan, yang merupakan pertumbuhan terbesar dalam 6 bulan ini.
Berdasarkan data organisasi tersebut, pada Agustus, Opera Mini memiliki lebih dari 66,5 juta pengguna, dengan peningkatan 6,8% dari Juli 2010. Jumlah pengguna unik meningkat 108,3% dari Agustus 2009.
“Pengguna Opera Mini melihat lebih dari 33,9 miliar halaman di Agustus 2010. Sejak Juli, halaman yang dilihat meningkat 14,3%, sedangkan sejak Agustus 2009 meningkat 143,2%,” tutur Mobile Web dalam pernyataan resminya hari ini.
Pada Agustus 2010, pengguna Opera Mini mengakses lebih dari 489,4 juta megabytes (MB) data dari para operator di seluruh dunia. Sejak Juli, data yang dilahap meningkat 9,9%. Data di Opera Mini dikompresi hingga 90%.
Jika data tersebut tidak melalui proses kompresi, maka pengguna Opera Mini seharusnya telah melihat lebih dari 4,5 petabytes (PB) data di Agustus kemarin. Sedangkan trafik data meningkat 134,4% sejak Agustus 2009.
Indonesia, merupakan negara pengakses Opera Mini terbesar, diikuti Rusia, India, China, Ukraina, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Vietnam, Inggris, Kenya, Kazakstan, Polandia, Nigeria, Malaysia, Belarus, Filipina, Mesir, Jerman, Brasil, dan Banglades.
Di Indonesia, pertumbuhan halaman yang dilihat sejak Agustus 2009 meningkat 176,1%, sedangkan data yang ditransfer tiap pengguna rata-rata 6 MB selama Agustus.
Selain itu, Mobile Web juga mengungkapkan 10 situs teratas di Indonesia yang sering diakses melalui Opera Mini, yaitu facebook.com, diikuti google.com, youtube.com, detik.com, yahoo.com, twitter.com, waptrick.com, getjar.com, my.opera.com, dan wikipedia.org.

Sunday, September 19, 2010

Kepastian Hukum yang Tak (100%) Pasti


Hingga hari ini, kita masih banyak melihat piringan parabola berlogo Astro terpacak di atas atap rumah para penduduk. Entah itu di Jakarta atau kota besar lainnya, hingga ke pelosok desa, pemandangan ini sudah jamak ditemui. Jumlahnya mungkin bisa mencapai ribuan dari sekitar 140.000 bekas pelanggan televisi berbayar di Indonesia tersebut.

Padahal, sejak tahun 2008, siaran Astro sudah padam. Perusahaan penyiaran televisi berbayar asal Malaysia ini menghentikan kerjasamanya dengan Grup Lippo di Direct Vision. Setelah tiga tahun sejak 2005 beroperasi, bisnis Astro di Indonesia tumbang oleh faktor internal dan eksternal. Meski selama tiga tahun memasok konten siaran dan menggelontorkan duit investasi US$ 245 juta (sekitar Rp 2,3 triliun), Astro tak kunjung jadi pemilik mayoritas dan pengelola Direct Vision.

Dari luar, Astro dihajar oleh putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di medio tahun 2008. Komisi menilai telah terjadi monopoli siaran Liga Inggris, yang menimbulkan persaingan usaha tak sehat di antara televisi berbayar. Ironisnya, tak sampai setahun berselang, sebuah televisi berbayar lokal mengempit sendirian hak eksklusif penyiaran liga tersebut.

Temasek juga bernasib sama. Setelah berinvestasi selama enam tahun sejak 2002, perusahaan investasi Singapura ini memutuskan menjual PT Indosat Tbk kepada Qatar Telecom. Ini muara dari keputusan KPPU, yang menilai Temasek melanggar UU Anti Monopoli lantaran kepemilikan silangnya di Indosat dan Telkomsel.

Vonis serupa dijatuhkan KPPU kepada Carrefour, yang mempersoalkan kepemilikan mayoritasnya di PT Alfa Retailindo Tbk. Padahal, berbeda dengan sebagian perusahaan asing lain yang membawa keuntungannya ke negara asalnya, Carrefour justru menambah investasinya di Indonesia dengan membeli Alfa.

Tiga kasus tersebut menunjukkan kepastian hukum di negara ini bisa dibengkokkan. Memang, tak selamanya investasi asing dikalahkan. Contohnya, kemenangan Carrefour atas Grup Lippo di Mega Mall Pulit, Jakarta, pada tahun ini. Pengadilan memvonis Lippo harus membayar ganti rugi senilai lebih dari Rp 400 miliar. Pasalnya, Carrefour ‘diusir’ dari Mega Mall setelah Lippo, yang juga memiliki hipermarket Hypermart, jadi pengelola baru di mal tersebut.

Meski begitu, secara umum kepastian hukum di republik ini selalu menjadi momok bagi para investor asing sejak dulu. Pemerintah pun menyadari, rules of law adalah salah satu faktor penghambat laju investasi. Tentunya, pengusaha enggan ‘berjudi’ menanamkan modalnya dalam medan yang masih berwarna abu-abu.

Dalam survei tahunannya pada 2009, lembaga keuangan internasional IFC, memasukkan kepastian hukum sebagai salah satu dari tujuh poin yang perlu dibenahi Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan investasi asing. Poin lainnya adalah masalah ketenagakerjaan (PHK), minimnya infrastruktur, hambatan modal kerja dari perbankan, korupsi, reformasi birokrasi, dan banyaknya pungutan pajak.

Padahal, dalam UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007, pemerintah telah memberikan jaminan kepastian hukum bagi investor asing. Misalnya, pemerintah tidak akan mengambil alih atau nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia, dan jika ada sengketa usaha dapat membawa masalahnya ke lembaga arbitrase internasional, Internasional Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID). Sudah banyak pula berbagai aturan, baik dalam bentuk UU, PP, Perpres, yang dibuat untuk menata dan menarik minat investor asing.

Kenyataannya, semua aturan hukum itu bisa berbeda 180 derajat dengan praktik di lapangan. Seorang pakar hukum sekaligus pengacara kondang bilang, permasalahannya terletak pada lemahnya konsistensi pelaksanaan peraturan itu. Investor sering kesulitan menyelesaikan perjanjian kontrak dan pembayaran ketika mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka keputusan persidangan kerap tidak konsisten ketika menilai fakta dan bukti-bukti yang tersedia. Lembaga pengadilan pun sering tak peduli dengan legitimasi transaksi komersial antara dua pihak yang dibuat berdasarkan perjanjian internasional.

Padahal, sejak tahun lalu minat investor asing masuk ke Indonesia makin meningkat. Di saat kondisi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa limbung serta pertumbuhan ekonomi China memanas, Indonesia jadi alternatif lahan investasi potensial. Bukti nyatanya terlihat di pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah naik hampir 20% selama tahun ini dan telah menembus level baru di 3.000. Porsi kepemilikan asing di Surat Utang Negara (SUN) terus meningkat. Bahkan, kalau tak ada aral melintang, peringkat Indonesia akan naik jadi investment grade paling lambat pada tahun depan.

Namun, itu semua masih berupa dana jangka pendek di instrumen portofolio, yang setiap saat bisa kembali cabut keluar negeri tatkala kondisi negara ini tak lagi kondusif. Dana-dana tersebut hanya akan terus berputar di pasar modal dan tak mengucur ke sektor riil selama tak ada kepastian penegakan hukum. Pengusaha tidak mau membenamkan duitnya dalam jangka panjang untuk membangun pabrik jika masih ada risiko digugat mitra usahanya atau diganggu aparat hukum.

Jika pemerintah mampu memberikan kepastian hukum, niscaya investasi asing akan kian menderas masuk ke sektor riil. Kalau sudah begini, langkah Carrefour yang kabarnya lebih memilih berinvestasi di Indonesia dan China ketimbang Malaysia, Thailand, dan Filipina, merupakan sebuah keputusan yang tepat.

Sunday, August 8, 2010

BlackBerry melanggar janji (2)



Oleh Arif Pitoyo
Pada tulisan BlackBerry melanggar janji (1), lebih banyak dipaparkan mengenai keluhan pengguna telekomunikasi terhadap layanan purnajual BlackBerry yang sangat mengecewakan. Pada tulisan kedua ini, saya ingin mengungkapkan mengenai sistem komunikasi data BlackBerry yang diduga bisa mengganggu privasi seseorang dan pada akhirnya mengganggu keamanan nasional suatu Negara. Benarkah?

Sebelum melangkah lebih jauh ke pembahasan utama, ada baiknya dipaparkan secara singkat mengenai sejarah ponsel cerdas yang diproduksi Research in Motion (RIM) tersebut.

BlackBerry adalah perangkat seluler yang memiliki kemampuan layanan push e-mail, telepon, sms, jelajah Internet, dan berbagai kemampuan nirkabel lainnya.
BlackBerry pertama kali diperkenalkan pada 1997 oleh perusahaan Kanada, RIM. Kemampuannya menyampaikan informasi melalui jaringan data nirkabel dari layanan perusahaan telepon genggam mengejutkan dunia

BlackBerry pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada pertengahan Desember 2004 oleh operator Indosat dan perusahaan Starhub. Starhub merupakan pengejewantahan dari RIM yang merupakan rekan utama BlackBerry.

Di Indonesia, Starhub menjadi bagian dari layanan dalam segala hal teknis mengenai instalasi BlackBerry melalui Indosat. Indosat menyediakan layanan BlackBerry Internet Service dan BlackBerry Enterprise Server
Pasar BlackBerry kemudian diramaikan oleh dua operator besar lainnya di Tanah Air, yakni XL Axiata dan Telkomsel, menyusul kemudian PT Natrindo Telepon Seluler (Axis).
Sejauh ini, fasilitas BlackBerry memang baru dimanfaatkan oleh para pengguna pribadi dan korporasi, belum merambah hingga bidang pemerintahan dan intelijen seperti di negara-negara lain.

Kita ingat, Presiden AS Barrack Obama setengah mati dilarang oleh lembaga keamanan Negara tersebut untuk menggunakan BlackBerry. Padahal, perangkat tersebut sangat membantu dalam mendongkrak pencitraannya pada saat Pemilu di AS tahun lalu.
Di beberapa Negara, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, pemerintah setempat sempat berencana memblokir akses layanan tersebut karena disinyalir mengganggu keamanan nasional dan membawa kepentingan sejumlah Negara tertentu.

Bagaimana dengan di Indonesia? Seperti juga di Negara lain, posisi operator telekomunikasi sangat lemah terhadap RIM. Sekarang ini jaringan mereka berupa tunnel dari operator ke jaringan mereka sendiri di Kanada atau di Singapura tanpa tersentuh sama sekali.

Dengan adanya kenyataan itu, maka seluruh kendali akses data ada di tangan RIM. Data tersebut bisa dalam Facebook, akses chatting, e-mail, foto, dan file dokumen lainnya.
Meski tidak disengaja, data perusahaan yang dikirim lewat e-mail apa pun, misalnya, pasti harus melalui server RIM di Kanada dan terekan di sana.

Operator telekomunikasi sama sekali tidak tahu jaringan mereka digunakan untuk apa. Aktivasi dan deaktivasi layanan BlackBerry pun bukanlah hak prerogative operator sama sekali, tetapi harus dari Kanada.

Posisi yang lemah dari operator di Indonesia pernah diungkapkan secara terbuka oleh Indosat. Indosat pernah mendesak Research In Motion (RIM/vendor BlackBerry) untuk meningkatkan margin operator telekomunikasi dari layanan BlackBerry (BB), mengingat Indonesia merupakan pasar terbesar produk tersebut di Asia Pasifik, tahun ini.

Pertumbuhan BlackBerry yang begitu pesat ternyata kurang dapat dinikmati operator lokal. Untuk itu, RIM perlu meningkatkan margin operator di Indonesia, di antaranya dengan menurunkan harga lisensi, membangun server di Tanah Air, dan melepas penjualan handset ke pasar bebas.

Selama ini setiap tarif BlackBerry yang dibayarkan pelanggan, sekitar 40% dibayarkan sebagai lisensi ke RIM, belum ditambah biaya akses internasional yang terhubung ke server vendor BlackBerry tersebut di Kanada.

Apabila RIM membangun servernya di Indonesia, biaya akses internasional bisa ditekan cukup signifikan, sehingga margin yang diterima operator bisa makin tinggi.
Pasar BlackBerry di Indonesia sangat unik, karena sampai ada layanan prabayar dengan tarif harian sehingga jumlah pelanggan untuk produk tersebut tidak bisa dipastikan secara fixed karena selalu berubah setiap hari.

Berbeda dengan vendor ponsel cerdas lainnya, seperti i-Phone dan merek ponsel lainnya, yang tak lebih hanya sekedar penyedia konten sementara akses komunikasi data menggunakan GPRS atau 3G milik operator.

Selain soal jaringan operator yang dipakai BlackBerry secara bebas, vendor asal Kanada tersebut juga melupakan suatu hal, bahwa layanan BIS dan BES yang mereka tawarkan, pada hakekatnya merupakan penyediaan jasa Internet seperti PJI-PJI yang selama ini menyediakan akses Internet kepada masyarakat melalui jaringan leased line operator.

Di Indonesia, RIM bebas memberikan jasa Internet tanpa lisensi PJI. Di China, meski pemerintahan setempat memblokir akses Facebook, tetapi tetap bisa diakses lewat BlackBerry. Ini bukati bahwa akses BlackBerry tidak melewati pertukaran Internet di suatu Negara dan langsung diberikan layanannya dari Kanada.

Sama halnya di Indonesia, ribut-ribut pemblokiran konten porno dalam Internet akan sia-sia apabila akses lewat BlackBerry juga tidak disaring.
Syarat agar akses BlackBerry juga bisa melewati pertukaran Internet adalah RIM mesti memiliki server di Indonesia dan didaftarkan ke Indonesia Internet eXchange milik Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) atau NICE (National InterConnection Exchange) yang dikelola oleh PT Internetindo Data Centra milik JoharAlam.

Penyaringan konten BlackBerry memang bukan berarti penyadapan secara langsung, tetapi apabila sewaktu-waktu aparat penegak hokum harus menyadap bisa dilakukan dengan mudah, asal sesuai dengan koridor hukum RI yang berlaku.
Penyadapan BlackBerry tetap tidak bisa dilakukan sembarangan meski servernya sudah ada di Indonesia, tetapi setidaknya konten-konten Internet yang diblokir lewat APJII juga menyentuh akses dari BlackBerry.

Pengguna juga perlu jaminan apabila mereka mendaftarkan email perusahaan atau instansi pemerintahan mereka tidak akan pernah dipakai oleh pihak ketiga, apalagi sampai mengganggu keamanan nasional.

Janji RIM untuk membangun mirroring server di Indonesia saja sudah sangat lama tidak terpenuhi, apalah lagi untuk membangun servernya sendiri.

Apabila pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika berhasil memaksa RIM membangun server dan pusat data di Indonesia, itu merupakan kado ulang tahun kemerdekaan RI yang sangat berharga karena artinya, kedaulatan RI tetap dihargai vendor dari Negara lain.

Namun, apabila sampai BlackBerry terus melanggar janji, tidak bisa tidak, langkah tegas harus diterapkan, yaitu berupa pemblokiran akses sementara sampai dibangunnya server tersebut.

Thursday, August 5, 2010

Pertumbuhan semu industri telekomunikasi


this writing was published only at my blog

Oleh Arif Pitoyo

Sepertinya, baru pertama kalinya terjadi sepanjang sejarah pertelekomunikasian di Indonesia, ada operator yang merevisi jumlah pelanggannya setelah diumumkan 3 bulan yang lalu.
Indosat merevisi jumlah pelanggannya sepanjang kuartal 1 2010 yang berakhir 31 Maret 2010 dari 39,1 juta menjadi 37,7 juta pelanggan.

Dalam situs resmi Indosat tertanggal 22 Juli 2010 diungkapkan bahwa hal tersebut merupakan hal yang biasa dan tidak mempengaruhi pencatatan keuangan secara keseluruhan sebagai perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Indonesia. Perubahan pencatatan tersebut sendiri telah dilaporkan ke Bursa Efek Indonesia (BEI).

Padahal dalam pengumuman pencapaian jumlah pelanggan beberapa waktu yang lalu, jumlah pelanggan yang mencapai 39,1 juta tersebut naik dari kuartal yang sama 2009 hingga 17,6% atau bertambah hamper 6 juta pelanggan meski dinamika musiman biasanya menghambat kinerja pada setiap kuartal I berjalan.
Pada kuartal II tahun lalu juga Indosat sempat mengalami penurunan jumlah pelanggan hingga 3 juta pelanggan. Saat itu operator yang kini dikuasai oleh Qatar Telecom tersebut beralasan telah melakukan penghapusan nomor pengguna demi mencari pengguna yang berkualitas.

Berdasarkan catatan sebelumnya, pada kuartal pertama 2009, perseroan menghapus sebanyak 3,2 juta nomor pelanggan Indosat. Sehingga, perseroan hanya menyisakan 30,3 juta pelanggan per Juni dari 36,5 juta pelanggan pada akhir 2008.
Anak usaha Qtel itu pada periode kuartal IV 2009 berhasil mendapatkan 4,4 juta pelanggan baru sehingga pada akhir 2009 berhasil meraih 33,1 juta pelanggan. Angka itu melonjak 15% dibandingkan kuartal III 2009 dimana perseroan meraih 28,7 juta pelanggan.

Apabila dilihat lebih seksama, lonjakan pelanggan yang didapat Indosat sebagai sesuatu yang semu dan tak lebih dari kosmetik manajemen baru yang menjabat sejak pertengahan 2009 lalu.

Jika mengikuti mekanisme penjualan kartu perdana seluler, maka selama kuartal keempat 2009 Indosat menjual sekitar 22 juta nomor, hal ini mengingat biasanya setiap lima nomor terjual, hanya satu yang menjadi pelanggan. Hal tersebut sama saja dengan pemborosan penomoran demi mengejar kosmetik sesaat.
Operator seluler lainnya, PT XL Axiata pada kuartal II tahun ini mencatat pelanggan hingga 35,2 juta orang, naik 43% dari kuartal II/2009. Hingga akhir tahun 2009, jumlah pelanggan XL meningkat 21 persen menjadi 31,4 juta pelanggan sedangkan pelanggan Revenue Generating Base (RGB) prabayar meningkat sebesar 49 persen menjadi 31,1 juta pelanggan.

Pada periode yang sama, Telkomsel menyampaikan laporan keuangan konsolidasian (unaudited) kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

Sampai dengan periode itu, Telkomsel mencatat jumlah pelanggan sebanyak 88,3 juta pelanggan. Perolehan itu meningkat 16,2 persen dibandingkan dengan kuartal II/2009 sebanyak 76 juta pelanggan.

Dari sisi operator fixed wireless access (FWA), menurut laporan kuartal I-2010, jumlah pelanggan Esia berhasil menyentuh 11 juta pelanggan, atau tumbuh 37,5% dari periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya mencatat 8 juta pelanggan.

Dengan pencapaian tersebut, BTEL berusaha keras untuk menggapai target 14 juta pelanggan pada akhir 2010 sekaligus mewujudkan visinya dalam memperluas akses masyarakat terhadap layanan telekomunikasi murah dan berkualitas.
Sebenarnya fenomena apa yang bisa diambil dari catatan jumlah pelanggan operator telekomunikasi? Satu yang tak bisa dibantah adalah pertumbuhan pelanggan pascabayar selalu lebih rendah daripada pelanggan prabayar.

Hal tersebut sangat wajar mengingat jumlah pelanggan pascabayar tidak bisa dibohongi atau dikemas dalam kosmetika apapun. Berbeda dengan pelanggan prabayar, yang bisa diakali dengan memperpanjang masa tenggang, membiarkan nomor pelanggan yang sebenarnya tidak aktif sebagai pelanggannya, dan mengklaim sebagai pelanggan setiap ada pengaktifan nomor perdana, meski pelanggan hanya mengaktifkan dan langsung dibuang pada hari itu juga.

Hal tersebut sangat beralasan, karena sejumlah program promosi operator sangat menarik masyarakat untuk membeli kartu perdana yang biasanya diiming-imingi dengan sejumlah bonus tertentu. Manakala bonus tidak lagi diberikan, maka pelanggan dengan gampangnya membuang nomor tersebut.

Esia memiliki program promosi Esia GANAS (Gratis Nelpon Nasional), adapun XL meluncurkan program promo bertajuk Paket Combo yang memungkinkan pelanggan menikmati gratis 100 SMS serta 1MB layanan data setiap hari hingga 5 Mei 2010 mendatang.
Selain Paket Combo, XL juga memiliki program promosi Paket Nelpon Gila, yaitu beli Kartu Perdana XL mendapat paket Nelpon Gila, cuma nelpon 1 menit-an GratIs seGAlanya, ditambah dan 1MB layanan data.

Indosat juga tak ketinggalan, memiliki program promosi bertajuk IM3 semua Murah, bonus 1.500 SMS, nelpon cuma Rp 0,1/detik, Mentari Paket 50 (Nasional), Mentari Obral Obrol, Mentari Free Talk 5 Jam, dan Mentari Free Talk 5000, serta Mentari Hebat Ber-5.

Seakan tak mau ketinggalan, Telkomsel juga memiliki program promosi, yaitu Kartu As serba Rp1.000 dan Simpati Jagoan Duo.

Seiring dengan murahnya harga kartu perdana dengan tambahan pulsa sebesar Rp10.000, pengguna dari kalangan menengah ke bawah sangat terbiasa ganti nomor begitu pulsa pada kartu perdana habis.

Pengguna atau yang tidak produktif tersebut tetap tercatat sebagai pelanggan operator telekomunikasi sehingga pertumbuhan industry telekomunikasi yang banyak mereferensi dari jumlah pelanggan dipastikan semu.

Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) pernah mendesak perlunya standarisasi perhitungan pelanggan agar azas transparansi bisa ditegakkan.
Operator sudah banyak yang tercatat di bursa saham. Hingga saat ini tidak ada standarisasi perhitungan pelanggan sehingga banyak yang meragukan jumlah pelanggan dari operator kala diumumkan.

ATSI menilai jumlah pelanggan merupakan komponen yang penting dalam mengukur kinerja satu perusahaan terutama bagi para analis di lantai bursa. Berdasarkan jumlah pelanggan bisa dihitung Average Revenue Per User (ARPU), Revenue Per Minutes (RPM), dan Minute Of Usage.

Itu semua adalah hal yang mencerminkan kinerja dari satu operator, jika jumlah pelanggannya semu, bisa ketipu semua nanti yang beli saham.
Regulator dinilai untuk secepatnya menyusun standarisasi perhitungan jumlah pelanggan. Misalnya dengan menentukan masa aktif atau daur ulang satu nomor. Hal ini untuk mengatasi aksi sapu jagad alias menghidupkan nomor perdana menjelang tutup buku agar jumlah pelanggan membengkak. Karena sedikitnya, 10% pelanggan telekomunikasi di setiap operator adalah fiktif.

Monday, August 2, 2010

Pemblokiran jangan setengah hati


OLEH ARIF PITOYO
Wartawan Bisnis Indonesia

Dalam sepekan terakhir, Kementerian Komunikasi dan Informatika sepertinya tengah ada hajatan besar, yaitu pemblokiran sejumlah situs porno.

Pemblokiran terhadap situs Internet bukan kali ini saja terjadi. Instansi tersebut juga pernah memblokir sebuah halaman blog dan situs film Youtube karena adanya film Fitna.

Meski kebijakan pemblokiran cukup bagus, entah kenapa Kemenkominfo seakan hanya sibuk mengurusi layanan data yang jumlah penggunanya 25 juta orang dibandingkan dengan 180 juta pengguna seluler.

Secara umum, pemblokiran tersebut sebenarnya membawa dampak positif bagi pemanfaatan Internet di Tanah Air, terutama dalam kaitannya dengan kampanye Internet sehat seperti yang digagas oleh ICT Watch bersama Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Kemenkominfo.

Namun, sebaiknya pemblokiran tidak dilakukan secara membabi buta, karena dikha-watirkan situs yang bukan porno tetapi memiliki kemiripan nama juga ikut terblokir.

APJII, atau Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia dan warnet merupakan pihak yang diminta Kemenkominfo untuk memblokir situs porno. Asalkan pemerintah bisa memberikan lP Address yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, anggota APJII dan warnet tidak bisa menolak untuk memblokir situs tersebut.

Adapun mekanisme yang selama ini dijalankan di industri penyedia Internet adalah filtering atau penyaringan atas seizin pelanggan. Tanpa izin pelanggan, PJI tidak bisa melakukan filtering, adapun pemblokiran sendiri harus dilakukan secara merata pada seluruh PJI, baik yang legal maupun yang ilegal.

Seperti kasus pemblokiran Youtube karena adanya film Fitna awal tahun lalu, tidak semua PJI kompak menutup Youtube, sehingga akibatnya, sejumlah PJI yang sudah telanjur menutup Youtube malah ditinggalkan pelanggannya, dan lari ke PJI yang tidak menutup situs aplikasi video tersebut.

Apabila pemerintah baru sekarang ribut-ribut soal situs pornografi, lalu apa tugas dari polisi Internet atau ID SIRTII (Indonesia Security Incident Response Team on Internet Indonesia) se-lama ini? Bukankah salah satu tugas ID-SIRTII adalah menyaring IP Address dan log file dari trafik Internet yang mengarah ke pornografi, penipuan, perjudian, atau lainnya yang negatif dan meresahkan masyarakat?

Pemerintah juga seakan lupa, soal situs porno bukanlah konsumsi dari 25 juta pengguna Internet semata, karena masih ada pengguna Internet yang tidak memiliki koneksi secara langsung dengan Indonesia Internet exchange milik APJII.

Pemerintah sepertinya lupa kalau akses Internet bisa lewat BlackBerry yang memiliki serverdi Kanada, atau iPhone dan iPad di Eropa, bahkan akses Internet dari operator telekomunikasi juga tidak tersentuh APJII.

Sudah saatnya pemerintah juga harus berani memaksa Research in Motion (vendor BlackBerry) dan Apple (vendor iPhone dan iPad) untuk membangun server di Indonesia, sekaligus memaksanya mengalirkan trafik data ke IIX dan ID SIRTII untuk disaring kontennya oleh pemerintah.

Kemenkominfo perlu meniru langkah China dan India yang sudah terlebih dahulu memproteksi masyarakatnya denganfiltering konten lewat BlackBerry, Facebook, dan situs lainnya yang dinilai mengganggu norma masyarakat, keamanan, dan ketertiban nasional.

Perkembangan LTE ,

Pengelola National Interconnection Exchange (Nice) Johar Alam mengungkapkan trafik puncak hingga pertengahan tahun ini mencapai 42 Gigabytes (GB), melonjak dari catatan tahun lalu sebesar 19 GB. Pada 2008, trafik Internet puncak mencapai 18 GB.

Meningkatnya trafik Internet membuat operator dan penyedia jasa Internet di Indonesia harus menggunakan altematif teknologi baru, seperti WiMax Mobile dan LTE {long term evolution).

Sekjen Indonesia Telecommunication User Group (Idtug) Muhammad Jumadi mendesak pemerintah segera merealisasikan WiMax dan LTE agar pengguna telekomunikasi bisa menikmati layanan Internet yang berkualitas.

"Agar kami ada pilihan. Baik LTE maupun WiMax harus berjalan beriringan sehingga tercipta kompetisi yang menguntungkan pelanggan. Apabila pada frekuensi existing LTE kurang memadai, perlu adanya penambahan frekuensi," tuturnya. (arif.pitoyo@bisnis.co.id)

Saturday, July 31, 2010

Sejarah Internet (2)



Internet di Indonesia pada awalnya hanyalah mainan pada akademisi. Sejak akhir 1980-an, Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia (Pusilkom UI) sudah menggunakan cc-TLD secara terbatas untuk mendukung Unix to Unix Copy Protocol (UUCP) dengan simpul indogtw.uucp.
Secara umum UUCP adalah protokol komunikasi antar komputer berbasis Unix, digunakan juga untuk berkirim dan menerima surat elektronik.
Saat itu, administrative contact ID-TLD pertama adalah Rahmat M. Samik-Ibrahim, salah seorang staf pengajar di Pusilkom UI. Menurut penuturannya dalam salah satu situsnya, banyak keluhan muncul dari komunitas Internet dunia. Penyebabnya, mereka tidak bisa me-reply e-mail dari Indonesia yang melalui simpul indogtw.uucp.
Muncullah desakan agar ID-TLD didaftarkan secara resmi. Karena berbagai alasan teknis dan untuk menghindari konsekuensi teknis dari pendaftaran ID-TLD, UI sejak 1998 hingga 1993 mendekati sejumlah pihak, termasuk Ditjen Postel, Indosat, Perumtel (kini Telkom) dan Lintasarta.
Pendekatan UI ini bertepuk sebelah tangan, perhatian terhadap Internet saat itu boleh dibilang tidak ada. Selanjutnya UI sebagai institusi akademis juga keberatan menindaklanjuti pendaftaran ID-TLD itu.
Samik-Ibrahim mencatat, desakan untuk mendaftarkan ID-TLD kembali menguat sejak Mei 1992. Hal ini dipicu meningkatnya pemakaian ID-TLD dan Domain Tingkat Dua (DTD) tidak resminya menyusul terbentuknya jaringan komputer antarinstansi yang pertama di Indonesia oleh kelompok kerja informal dari BPPT, LAPAN, STT Telkom dan UI.
Atas desakan itu, UI lalu mendaftarkan ID-TLD lewat UUNET di Amerika Serikat (AS). UUNET adalah salah satu PJI tertua dan terbesar di dunia. Penamaan domain di Indonesia mulai tertata, muncullah konvensi DTD dua huruf seperti go.id, co.id, dan net.id.
Lalu pada akhir 1994, Ipteknet yang mengelola ID-TLD dan DTD go.id sedianya juga ditugasi untuk mengelola DTD yang lain. Harapannya saat itu, dari pengalaman Ipteknet mengelola go.id akan menelurkan petunjuk pelaksanaan untuk DTD yang lain.
Namun hal ini tidak pernah terlaksana sepenuhnya. Pada 1995, masuklah Indonet dan RADnet sebagai pengelola DTD seiring perkembangan bisnis PJI saat itu.
Pembentukan APJII
Bergabungnya para PJI untuk ikut mengelola domain tingkat dua ini -khususnya .net.id-mencapai puncaknya dengan pencetusan deklarasi bersama pada Maret 1996. Catatan Samik-Ibrahim menyebutkan 31 orang dari kalangan PJI dan UI yang ikut meneken deklarasi tersebut.
Deklarasi itu mencakup empat hal, salah satunya adalah penunjukkan Pembina Ipteknet Joseph FP Luhukay sebagai administrative contact untuk DTD .net.id. Jos kini Presdir PT Bank Lippo Tbk.
Para peserta juga menyepakati pendirian sebuah "ID*NIC" yang antara lain berfungsi menangani registri alamat IP dan nama domain, terutama .net.id. Pusilkom UI mendapat tugas membuat proposal penyelenggaraan lembaga itu serta tata cara pengelolaan domain yang lain, termasuk .co.id dan .or.id.
Pada 15 Mei 1996, dibentuklah Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) sebagai hasil dari deklarasi itu juga. Sekjen APJII pertama (1996-1999) dijabat Teddy A. Purwadi. Dia jugalah yang kembali terpilih sebagai Sekjen APJII terbaru (2005-2008).
Tak lama kemudian APJII mendaftarkan ID-NIC sebagai nama merek yang sekaligus menutup peluang pihak lain menggunakan kata-kata atau susunan huruf yang sama tanpa izin.
Dua bulan setelah deklarasi, tepatnya 27 Juli 1997 tim APJII dan UI sepakat mengelola bersama-sama pendaftaran nama domain. Rupanya kolaborasi antara akademisi dan para pengusaha ini tak berjalan lama.
Usulan pengelolaan domain tidak pernah rampung hingga deadline Agustus 1997. Puncaknya, tim UI menyatakan mundur mulai 1 Oktober 1997. ID-TLD berada dalam status quo.
ID-TLD baru
Kegagalan APJII/UI itulah yang kemudian mendorong Samik-Ibrahim sebagai ID-TLD berinisiatif mengembalikan hak pengelolaan kepada IANA. Dia mendeskripsikan pekerjaan ID-TLD saat itu, "diumpamakan sekedar 'menahan' kapal bocor dari tenggelam, cepat atau lambat harus dikembangkan kapal baru dengan nakhoda baru!"
Pengelolaan nama domain tak menentu hingga pada 30 September 1997, Budi Rahardjo dari ITB secara sukarela menyatakan bersedia menangani ID-TLD. Samik-Ibrahim langsung menyetujui langkah Budi.
Namun dia masih menjadi ID-TLD selama 30 September 1997 hingga IANA meresmikan Budi sebagai ID-TLD pada 18 Agustus 1998 setelah mendapat referensi, salah satunya dari Jos Luhukay.
Menurut Samik-Ibrahim, setelah penyerahan ini, "secara de-facto-terhitung 30 September 1997, kebijaksanaan pengelolaan ID-TLD tidak ada sangkut-paut baik dengan pihak APJII maupun pihak UI."
Dia lalu meminta Budi untuk menyiapkan berbagai hal terkait pengelolaan domain. Salah satunya adalah kembali membuat pedoman pengelolaan ID-TLD dan DTD sebelum 6 Februari 2003.
Pedoman pendaftaran domain itu sebisa mungkin mengikuti kerangka kerja global yang disebut RFC-1591.
Budi kemudian menetapkan sistem billing tahunan untuk pendaftaran domain meminjam alamat APJII. Dalam sebuah wawancara pada Maret 2003, Budi menegaskan tetap mempertahankan IDNIC sebagai lembaga nirlaba kendati ada desakan komersialisasi. IDNIC tetap sebagai lembaga independen yang lepas dari intervensi pihak luar.
Hubungan Budi sebagai ID-TLD dan APJII retak setelah asosiasi itu melarang Budi penggunaan nama IDNIC (yang telah menjadi merek) pada Maret 2005. Sekjen APJII saat itu dijabat Heru Nugroho (2002-2005). Pelarangan ini menyusul penerapan sistem registrar-registry yang disosialisasikan Budi.
Dalam sistem itu, pengelolaan nama domain (DTD dan ID-TLD) dan alamat IP dilakukan dua lembaga terpisah. APJII merasa tidak dilibatkan dalam perumusan sistem itu, sebaliknya ID-TLD menuding APJII tidak kooperatif. Karena dilarang memakai IDNIC, Budi lantas mencoret APJII sebagai calon registrar. Budi juga berhenti memakai alamat APJII untuk penagihan dan kembali menggunakan ID-TLD sebagai nama institusi pengelola domain.
Perseteruan saat ini seperti hendak mengulang konflik ID-TLD dan APJII/UI pada 1997-1998. Pihak yang terlibat juga masih muka lama walaupun APJII kini memiliki Dewan Pengurus baru dan mengantongi mandat Munas.
Bedanya, kini pemerintah melalui Departemen Kominfo bersedia turun tangan menjadi mediator, tidak seperti masa-masa 1990-an ketika Ditjen Postel mengabaikan masalah ini dan membiarkannya menjadi api dalam sekam.

Era Warnet (Sejarah Internet 3)

Thursday, July 29, 2010

Sejarah Internet di Indonesia (1)



Sejarah internet Indonesia dimulai pada awal tahun 1990-an. Saat itu jaringan internet di Indonesia lebih dikenal sebagai paguyuban network, dimana semangat kerjasama, kekeluargaan & gotong royong sangat hangat dan terasa diantara para pelakunya. Agak berbeda dengan suasana Internet Indonesia pada perkembangannya kemudian yang terasa lebih komersial dan individual di sebagian aktivitasnya, terutama yang melibatkan perdagangan Internet.
Sejak 1988, ada pengguna awal Internet di Indonesia yang memanfaatkan CIX (Inggris) dan Compuserve (AS) untuk mengakses Internet.
Berdasarkan catatan whois ARIN dan APNIC, protokol Internet (IP) pertama dari Indonesia, UI-NETLAB (192.41.206/24) didaftarkan oleh Universitas Indonesia pada 24 Juni 1988. RMS Ibrahim, Suryono Adisoemarta, Muhammad Ihsan, Robby Soebiakto, Putu, Firman Siregar, Adi Indrayanto, dan Onno W. Purbo merupakan beberapa nama-nama legendaris di awal pembangunan Internet Indonesia di tahun 1992 hingga 1994.
Masing-masing personal telah mengontribusikan keahlian dan dedikasinya dalam membangun cuplikan-cuplikan sejarah jaringan komputer di Indonesia.
Di sekitar 1994 mulai beroperasi IndoNet yang dipimpin oleh Sanjaya. IndoNet merupakan ISP komersial pertama Indonesia. Pada waktu itu pihak POSTEL belum mengetahui tentang celah-celah bisnis Internet & masih sedikit sekali pengguna Internet di Indonesia.
Sambungan awal ke Internet dilakukan menggunakan dial-up oleh IndoNet, sebuah langkah yang cukup nekat barangkali. Lokasi IndoNet masih di daerah Rawamangun di kompleks dosen UI, kebetulan ayah Sanjaya adalah dosen UI. Akses awal di IndoNet semula memakai mode teks dengan shell account, browser lynx dan e-mail client pine pada server AIX.
Mulai 1995 beberapa BBS di Indonesia seperti Clarissa menyediakan jasa akses Telnet ke luar negeri. Dengan memakai remote browser Lynx di AS, maka pemakai Internet di Indonesia bisa akses Internet (HTTP).
Seperti kita ketahui bahwa perkembangan usaha bisnis Internet di Indonesia semakin marak dengan 60-an ISP yang memperoleh lisensi dari pemerintah. Asosiasi ISP (APJII) terbentuk di motori oleh Sanjaya cs di tahun 1998-an. Effisiensi sambungan antar ISP terus dilakukan dengan membangun beberapa Internet Exchange (IX) di Indosat, Telkom, APJII (IIX) & beberapa ISP lainnya yang saling exchange. APJII bahkan mulai melakukan manouver untuk memperbesar pangsa pasar Internet di Indonesia dengan melakukan program SMU2000 yang kemudian berkembang menjadi Sekolah2000.

Wednesday, July 28, 2010

Pemblokiran Internet jangan hanya latah


Akhir-akhir ini, Kemenkominfo seperti latah saja ikut2 an meributkan pornografi. Kali ini yang ditembak adalah situs porno Internet.

Entah kenapa, sejak Menkominfo dipegang Tifatul Sembiring, pemerintah seakan sibuk mengurusi layanan yang jumlah penggunanya tidak lebih dari 25 juta orang. Mulai dari pemblokiran blog, RPM Multimedia, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, kampanye Internet sehat, sampai pemblokiran situs porno.

Tentang pemblokiran situs porno, memang sangat bagus untuk diterapkan, terutama agar Indonesia bisa menghasilkan generasi muda yang berkualitas. Namun, sebaiknya pemblokiran tidak dilakukan secara membabi buta, karena bisa jadi yang diblokir tersebut bukan lah situs porno, atau situs selain situs porno ikut ikutan terblokir hanya karena mengandung nama yang hampir sama.

APJII, atau Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia merupakan pihak yang diminta Kemenkominfo untuk memblokir situs porno. Asalkan pemerintah bisa memberikan IP Address yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, maka anggota APJII tidak bisa menolak untuk memblokir situs tersebut.

Adapun mekanisme yang selama ini dijalankan di industry penyedia Internet adalah filtering atau penyaringan, atas seizin pelanggan. Tanpa izin pelanggan, PJI tidak bisa melakukan filtering, adapun pemblokiran sendiri harus dilakukan secara merata pada seluruh PJI, baik yang legal maupun yang illegal.

Seperti kasus pemblokiran Youtube karena adanya film “Fitna” akhir tahun lalu, tidak semua PJI kompak menutup Youtube, sehingga akibatnya, sejumlah PJI yang sudah telanjur menutup Youtube malah ditinggalkan pelanggannya, dan lari ke PJI yang tidak menutup situs aplikasi video tersebut.

Apabila pemerintah baru sekarang ribut2 soal situs pornografi, lalu apa tugas dari polisi Internet atau ID SIRTII (Indonesia Security Incident Response Team on Internet Indonesia) selama ini? Bukankah salah satu tugas ID-SIRTII adalah menyaring IP Address dan log file dari trafik Internet yang mengarah ke pornografi, penipuan, perjudian, atau lainnya yang negative dan meresahkan masyarakat.

Pemerintah juga seakan lupa, soal situs porno bukan lah konsumsi dari 25 juta pengguna Internet semata, karena masih ada pengguna Internet yang tidak memiliki koneksi secara langsung dengan Indonesia Internet eXchange milik APJII.

Pemerintah sepertinya lupa kalau akses Internet bisa lewat BlackBerry yang memiliki server di Kanada, atau iPhone dan iPad di Eropa, bahkan akses Internet dari operator telekomunikasi juga tidak tersentuh APJII.

Apalagi kalau dibandingkan antara pengguna Internet dan seluler, maka [engguna Internet tak lebih hanya seperdelapan dari pengguna seluler.

Pemerintah sudah seharusnya berfikir makro, dan tidak sempit, apalagi dengan mengejar-ngejar pengelola warnet dari kemungkinan pembukaan akses situs porno.

Sudah saatnya pemerintah juga harus berani memaksa Research in Motion (vendor BlackBerry) dan Apple (vendor iPhone dan iPad) untuk membangun server di Indonesia, sekaligus memaksanya mengalirkan trafik data ke IIX dan ID SIRTII untuk disaring kontennya oleh pemerintah.

Kemenkominfo perlu meniru langkah China dan India yang sudah terlebih dahulu memproteksi masyarakatnya dengan filtering konten lewat BlackBerry, Facebook, dan situs lainnya yang dinilai mengganggu norma masyarakat, keamanan dan ketertiban nasional.

Monday, July 19, 2010

'Pemerintah terapkan standar ganda perangkat Israel'


Pemerintah dinilai menerapkan standar ganda terhadap masuknya perangkat dari Israel ke Indonesia.
Dosen Teknologi Informasi Universitas Indonesia Gunawan Wibisono mempertanyakan penerapan sertifikasi yang berbeda antara yang langsung masuk ke operator dengan yang melalui distributor.
“Harusnya disamakan, baik melalui operator atau pun distributor, penerapan sertifikasi harus dilakukan Ditjen Postel Kemenkominfo,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Sejumlah vendor perangkat telekomunikasi dari Israel sudah memasuki pasar Indonesia, seperti Amdocs untuk billing system dan Alvarion untuk produk WiMax.
Berdasarkan http://www.sec.gov/Archives/edgar/data/1108332/000117891310000884/zk1008093.htm, terungkap bahwa Alvarion memang berasal dari Israel, adapun Amdocs meski memiliki kantor pusat di Amerika Serikat tetapi dimiliki mayoritas oleh Israel.
Kepala Pusat Informasi Kemenkominfo Gatot S. Dewa Broto mengungkapkan pihaknya secara tegas menolak mensertifikasi perangkat dari Israel.
“Namun, kami juga tidak bisa mengawasi apabila mereka deal langsung dengan operator. Kalau mengajukan sertifikasi kepada kami pasti langsung ditolak,” ujarnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Direktur Standardisasi Ditjen Postel Azhar Hasyim bahwa pihaknya tidak bisa mengontrol masuknya perangkat dari Israel apabila langsung masuk ke operator. “Kalau masuk melalui Kemenkominfo tentu akan ada filter dalam pemberian sertifikasinya,” ujarnya.
Operator telekomunikasi menyatakan akan menyaring secara ketat setiap masuknya perangkat telekomunikasi.
VP Marketing and Public Communication PT Telkom Eddy Kurnia mengungkapkan pihaknya selalu memberikan persyaratan sertifikasi setiap kali menggelar tender perangkat telekomunikasi.
Hal senada diungkapkan GM Pengembangan Bisnis Indosat M2 Hermanuddin bahwa perangkat yang dibeli harus memenuhi sertifikasi yang disyaratkan.
Kemenkominfo menegaskan kerja sama dengan negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik melanggar Pasal 21 UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi Pasal 21 UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi yaitu menghindari konflik politis di masyarakat dan diancam dengan penggelaran tender perangkat ulang sampai pencabutan lisensi."Daripada pro kontra, perangkat yang minta sertifikasi tetapi berbau Israel sekarang langsung kami tolak. Kami pernah menolak produk Israel, terhadap perusahaan bernama Tadiran. Ini merupakan penyedia perangkat monitoring frekuensi. Namun, karena dia identik dengan Israel langsung kita tolak," lanjutnya.
Berdasarkand ata Ditjen Postel, perangkat Articonect dari Abhimata didaftarkan sebagai buatan China, padahal perangkat tersebut merupakan hasil kerja sama dengan Alvarion.
Terkait dengan Amdocs, Dirut Telkomsel Sarwoto Atmosutarno mengungkapkan Amdocs merupakan Telkomsel memang memiliki hubungan kerjasama dengan Amdocs. Operator seluler terbesar di Tanah Air itu mengizinkan Amdocs mengikuti tender billing system yang mereka gelar beberapa waktu lalu.Kini, tender tersebut sudah selesai dilaksanakan, dan Amdocs akhirnya terpilih sebagai pemenang oleh Telkomsel. Isu Amdocs berbau Israel kembali mengemuka setelah para politisi di Irlandia menyerukan boikot perusahaan tersebut. Bahkan, mereka yang memprotes melarang operator telekomunikasi setempat untuk memilih Amdocs sebagai partner kerja.
Dubes AS untuk Indonesia Cameron R. Hume pernah mengungkapkan kepada Menkominfo Tifatul Sembiring bahwa Amdocs merupakan perusahaan AS.

Tuesday, July 6, 2010

Ketika sang penguasa mengibarkan LTE


Feature of 1st Winner of Telkomsel Award 2010

11 May 2010


OLEH ARIF PITOYO

LTE, atau long term evolution (LTE) merupakan teknologi pita lebar bergerak (mobile broadband) kelanjutan dari teknologi seluler generasi ketiga (3G), HSDPA (high speed downlink packet access), dan HSPA + (high speed packet access plus).
Boleh dibilang, LTE merupakan langkah menuju generasi ke-4 , (4G) meski dalam kenyataannya di lapangan, teknologi tersebut dipasarkan sebagai 4G. Menurut IMT Advanced (International Mobile Telecommunications Advanced), LTE tidak sepenuhnya sesuai dengan persyaratan 4G. Sebagian besar operator seluler di Amerika Serikat dan beberapa operator di seluruh dunia mengumumkan rencana untuk mengubah jaringan mereka untuk LTE dimulai pada 2009.
Layanan LTE pertama di dunia dibuka oleh TeliaSonera di dua kota Skandinavia yaitu Stockholm dan Oslo pada 14 Desember 2009. LTE adalah satu set perangkat tambahan ke universal mobile telecommunications system (UMTS) yang diperkenalkan pada 3rd generation partnership project (3GPP) release 8. Banyak dari 3GPP release 8 mengadopsi teknologi 4G, termasuk semua IP arsitektur jaringan.
LTE memberikan tingkat kapasitas downlink sedikitnya 100 Mbps, dan uplink paling sedikit 50 Mbps dan RAW round-trip kurang dari 10 ins. LTE mendukung operator bandwidth., dari 20 MHz turun menjadi 1,4 MHz dan mendukung pembagian frekuensi duplexing (FDD) dan waktu pembagian duplexing (TDD). Bagaimana dengan perkembangannya di Indonesia?
Operator yang sudah memperkenalkan LTE melalui uji coba adalah Telkomsel. Uji coba teknologi LTE ini merupakan bagian dari rangkaian upaya dan inovasi Telkomsel dalam mengimplementasikan pengembangan roadmap teknologi seluler ke tingkat yang lebih tinggi. Diawali dengan layanan 3G pertama kali di Indonesia secara komersial pada 14 November 2006.
Selanjutnya, Telkomsel meluncurkan layanan mobile broadband Telkomsel Flash berbasis teknologi HSDPA (high speed doumlink packet access) pada 6 April 2007 serta proyek Telkomsel Next Generation Flash dengan mengimplementasikan teknologi HSPA + (high speed packet access plus) di 24 broadband city di Indonesia mulai 4 November 2009.
Ke depannya LTE diprediksi akan membawa perubahan industri telekomunikasi cukup signifikan, di mana pada era LTE perkembangan layanan berbasis data akan semakin pesat seiring dengan peningkatan kemampuan teknologi akses tersebut.
Perkembangan layanan berbasis data juga ditentukan oleh berbagai aplikasi/service layer, seperti teknologi IMS, service delivery platform (SDP), dan cloud computing. Di sisi lain, untuk mengembangkan berbagai layanan ke depan operator membutuhkan dukungan dari mitra kerja, seperti penyediakonten, aplikasi, dan device.
Menghadapi era baru layanan mobile broadband. Telkomsel menggelar uji coba teknologi tong term evolution (LTE) pertama di Indonesia dalam waktu dekat. Operator nomor 1 di Indonesia itu melihat LTE sebagai salah satu teknologi alternatif yang dibutuhkan untuk melayani perkembangan mobile broadband khususnya untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan kapasitas dan kualitas layanan mobile broadband yang andal.
Telkomsel saat ini telah memasuki tahap finalisasi kesiapan infrastruktur teknologi yang akan diuji coba, seperti e-node B, mobility management entity (MME), system architecture evolution gateway (SAE-GW), IP multimedia subsystem (IMS), dan lainnya.
Persiapan uji coba LTE telah dimulai sejak Januari 2010, dan diharapkan sebelum akhir semester pertama 2010 sudah dapat dilakukan uji coba download dengan kecepatan tinggi. Sebelum melakukan uji coba. Telkomsel telah melakukan pengkajian teknis maupun bisnis teknologi LTE, terutama kebutuhan akan sumber daya, seperti alokasi frekuensi untuk men-depfoy LTE, kebutuhan investasi baru bagi penyelenggaraan LTE, serta pendayagunaan investasi existing yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan implementasi LTE.
Seluruh upaya ini dilakukan untuk mendukung perkembangan layanan mobile broadband ke depan yang sangat membutuhkan bandwidth besar, seperti data kecepatan tinggi hingga ISO Mbps (downlink) dan 50 Mbps (uplink) untuk mendukung high definition streaming video, voice over Internet protocol (VoIP), dan aplikasi-aplikasi lain yang membutuhkan data kecepatantinggi.



Pembunuh WiMax
Apabila dilihat data dari National Interconnection Exchange (Nice), volume trafik Internet di Indonesia memang terus meningkat, sehingga perlu diimbangi dengan teknologi yang memadai, terutama mobile broadband. Pada akhir tahun lalu, volume trafik Internet di Indonesia melonjak sampai 19 GB dari catatan akhir 2008 sebesar 10 GB.
Chairman PT Internetindo Data Centra Indonesia Johar Alam Rangkuti mengungkapkan peningkatan trafik komunikasi data tersebut dipicu oleh makin banyaknya akses last mile dalam menjangkau populasi di Indonesia. "Pada 2005 akses last mile baru sekitar 7 juta sambungan dengan volume trafik Internet hanya sekitar 1,4 GB. Namun, seiring dengan bertambahnya akses last mile, baik dari jaringan kabel atau pun nirkabel, volume trafik melonjak tajam," ujarnya.
Johar mengungkapkan LTE merupakan salah satu mesin pembunuh WiMax (worldwide interoperability for microwave Access) sehingga apabila tidak berhati-hati, terutama pada sisi tarifnya, pengguna telekomunikasi akan lebih memilih LTE dibandingkan dengan WiMax.
Langkah Telkomsel menggelar LTE bukannya tanpa persiapan. Sejak awal, Telkomsel sudah menyiapkan pita BWA (insentif sebagai pelaksana USO voice) untuk LTE. Pita 3G tambahan juga sudah disiapkan untuk mendukung teknologi tinggi tersebut. Inovasi anak usaha Telkom tersebut dipastikan akan diikuti oleh operator 3G lainnya, terutama operator yang melihat mobile broadband sebagai akses telekomunikasi masa depan di.tengah era konvergensi. (arif.pitoyo@bisnis.co.ld)

Monday, July 5, 2010

Ketika telepon mulai berdering di Salem


Feature of 3rd winner in XL Award 2009

Minggu, 15/11/2009 21:10:43 WIB

Oleh: Arif Pitoyo

Kecamatan Salem terletak di ujung barat daya wilayah Kabupaten Brebes, berbatasan dengan Kecamatan Banjarharjo dan Ketanggungan di utara, Kecamatan Bantarkawung di timur, Kecamatan Majenang (Kabupaten Cilacap) di selatan, serta Kabupaten Kuningan (Jawa Barat) di barat.
Kecamatan Salem merupakan daerah pegunungan (400-900 mdpl), berada di lembah yang dikelilingi hutan dan deretan pegunungan di sekitarnya, berhawa sejuk dan memiliki panorama yang indah. Lanskap Kecamatan Salem mirip mangkok bakso, di mana di kiri kanan adalah daerah pegunungan--pebukitan yang cukup tinggi sementara di tengah-tengahnya adalah wilayah kecamatan Salem. Dengan kondisi daerah tersebut wilayahnya merupakan daerah yang masih cukup terisolir.
Akhir-akhir ini, masyarakat Salem sudah bisa menikmati fasilitas telepon (ponsel), jaringan listrik, dan angkutan umum. Jaringan PLN baru masuk ke wilayah tersebut sejak 1997. Jaringan telepon satelit akhir-akhir ini semakin populer, sebab jaringan telepon kabel belum tersedia. Mungkin di sinilah uniknya, kecamatan ini letaknya tidak jauh dari ibukota negara, juga masih di pulau Jawa, akan tetapi fasilitas-fasilitas standard seperti (listrik, jaringan telepon, jalan raya, dll), dapat dinikmati secara merata setelah era reformasi. Baru pada 2009 fasilitas Internet dapat dinikmati dengan adanya warnet di kota kecamatan.
Meski demikian, ada juga sebagian desa di kecamatan tersebut yang belum tersentuh akses telekomunikasi dan bersama 39 desa lainnya di Kabupaten Brebes masuk dalam bagian program universal service obligation (USO) tahun ini.
Salem dapat diakses dengan jalan darat melalui tiga jalur utama, yaitu dari Bumiayu (timur) sekitar 40 km, dari Majenang (selatan) sekitar 20 km, atau dari Banjarharja melalui desa Sindangheula dan mendaki Gunung Lio utara (sekitar 30 km).
Untuk dilalui kendaraan roda empat cuma ketiga jalur tersebut. Akan tetapi harus ekstra hati-hati karena terjal, terutama dari arah Sindangheula (utara). Ada satu lagi jalur alternatif, yaitu jalur barat Kuningan melalui desa Capar--Ciwaru, tetapi harus dengan jalan kaki.
Dengan medan yang sangat sulit dan akses jalan yang demikian terbatas, maka penduduk Salem yang rata—rata bekerja sebagai petani, sangat sulit untuk memasarkan hasil buminya dengan harga yang baik. Akses telepon, meskipun masih sangat terbatas, ternyata cukup membantu masyarakat dalam memperbaiki tingkat kehidupannya dan sekaligus mengatasi kendala medan yang berat.
Sarana telepon yang sebenarnya sudah ada di beberapa desa sejak 2005, tetapi karena kurang tepat sasarannya, keberadaan fixed line yang lambat laun lebih tergantikan dengan nirkabel baru terasa pemanfaatannya dalam setahun terakhir. Pemanfaatan sarana telepon tersebut cukup mengubah wajah desa.
Hasil pertanian di Salem a.l. padi, kelapa, sayur mayur, dan palawija. Selain itu, Salem juga merupakan penghasil kayu hasil hutan lainnya, terutama kayu pinus, bambu, mahoni dan al-basiah (umumnya hasil perkebunan rakyat), serta getah pinus. Hasil pertanian lain yang juga cukup banyak adalah hasil buah-buahan seperti mangga, durian, petai, pisang, nangka, dan buah lainnya.
Sebelum masuknya telepon seluler, kebanyakan hasil pertanian langsung dikirim ke daerah terdekat, seperti Bumiayu, atau bisa lebih jauh lagi ke Tegal atau Purwokerto.
Harga pun dipermainkan hingga keuntungan yang diperoleh petani sangat kecil karena tengkulak menjadi penentu harga. Apabila ingin dapat harga yang lebih bagus, maka petani biasanya langsung membawa hasil buminya ke pedagang pasar di daerah Tegal, Brebes, atau Purwokerto.
Namun, hal ini tentunya memakan biaya transportasi yang cukup besar, sehingga harga yang bagus tetap harus dibayar dengan pengeluaran operasional yang besar.


Pengaruh telekomunikasi
Dengan kehadiran base transceiver station (BTS) operator seluler seperti Excelcomindo Pratama (XL) di wilayah tersebut, masyarakat Salem menjadi lebih terbuka dan modern. Hasil bumi tidak perlu diantar dan ditawarkan ke pedagang grosir secara door to door, melainkan cukup ditawarkan melalui telepon ke beberapa tengkulak hingga mendapatkan harga yang baik.
Update harga berbagai hasil bumi dan ternak juga bisa selalu dipantau melalui hotline Dinas Pertanian Kabupaten Brebes sehingga bisa mendapatkan gambaran harga terendah untuk produk tertentu.
Meski kelihatannya tertinggal, tetapi di Salem terdapat sarana pendidikan dari tingkat SD hingga SLTA. Selain banyak yang merantau ke luar kota selepas lulus SLTA, anak-anak asli Salem banyak juga yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi ke berbagai daerah, ada yang ke Purwokerto, Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Ciamis, dan lainnya.
Melalui sarana telepon juga lah pemuda—pemuda Salem bisa mengetahui kondisi di luar desanya dengan menelpon saudara atau teman yang tengah berada di rantau, sehingga bisa mengetahui gambaran kehidupan di luar kota.
Melalui telekomunikasi juga pemuda Salem bisa memperoleh informasi lowongan kerja di tempat teman atau saudaranya bekerja, atau menemukan peluang usaha baru berupa pemasokan barang—barang kebutuhan yang sekiranya dibutuhkan di kota.
Tarmin misalnya, selepas lulus SLTA dia bekerja di sebuah hotel berbintang di Jakarta sebagai pembantu koki memasak di dapur. Dari situ Tarmin mengetahui kebutuhan mendesak dari hotel tempatnya bekerja berupa bahan baku pertanian dan peternakan seperti telur asin.
Tak segan—segan Tarmin pun mengontak rekannya di Salem yang memiliki sawah penghasil bawang merah, cabe, tomat, dan padi. Tarmin juga mengontak keluarganya yang peternak bebek untuk ikut mengirimkan telur asinnya ke Jakarta.
Dari situ lahirlah industri baru di Salem yang menelurkan lowongan pekerjaan bagi warga setempat, berupa industri pengolahan telur asin, pengangkutan sayur mayur, pengadaan sarana transportasi, dan pemasok dari petani-petani setempat.
Selain meningkatkan perekonomian setempat, keberadaan sarana telekomunikasi di Salem juga ikut mengangkat kehidupan sosial masyarakat yang tadinya cukup terbelakang.(arif.pitoyo@bisnis.co.id)




XL AWARD 2009
Daftar Pemenang
KATEGORI KARYA TULIS – WARTAWAN



1 Chandra Wirawan (Majalah Popular) Konsultasi Seks Nirkabel, Berani Bertanya tidak sesat di jalan

2 N Faizah Rozy (Majalah e-Indonesia) Ponsel di Jari Petani
3 Arif Pitoyo (Bisnis Indonesia) Ketika Telepon Mulai Berdering di Salem
4 Andy Zoeltom (Majalah e-Indonesia) Menggapai Sertifikat Tanah Lewat SMS
5 FX Bambang I (Majalah InfoKomputer Dan Gembel pun Bergaya Hidup Mobile
6 Odie Krisno (Majalah Broadband) Fitting Room Baru Bernama Broadband

Anugerah Telkomsel bagi Jurnalis dan Mahasiswa Indonesia 2010


Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno menyerahkan piala penghargaan kepada Juara Pertama Lomba Karya Tulis Jurnalistik Tingkat Nasional Telkomsel 2010 Arif Pitoyo dari Bisnis Indonesia pada Malam Anugerah bagi Jurnalis dan Mahasiswa Indonesia 2010 (30/6). Pemberian anugerah ini merupakan rangkaian perayaan ulang tahun Telkomsel yang ke-15 untuk mengapresiasi sekaligus memberi kesempatan kepada jurnalis media cetak dan on-line, serta para mahasiswa untuk mewujudkan karya tulis dan karya foto terbaiknya.




Jakarta, 30 Juni 2010
Telkomsel hari ini menggelar malam anugerah bagi jurnalis dan mahasiswa se-Indonesia. Pemberian anugerah ini merupakan rangkaian perayaan ulang tahun Telkomsel yang ke-15. Melalui acara ini, Telkomsel memberi kesempatan pada jurnalis media cetak dan on-line, serta para mahasiswa untuk mewujudkan karya tulis dan karya foto terbaiknya.
Kegiatan ini merupakan yang pertama kalinya dilakukan untuk jurnalis dan mahasiswa di tingkat nasional. Program yang berlangsung sejak Mei hingga 20 Juni 2010 ini, telah menerima tak kurang dari 500 karya tulis dan 250 karya foto. Hal tersebut menunjukkan tingginya apresiasi dari para jurnalis dan mahasiswa terhadap program ini, sekaligus menjadikan momentum HUT Telkomsel ke-15 menjadi lebih bermakna. Acara ini diperkaya dengan pemaparan materi dunia tulis-menulis dari salah seorang penyair terkemuka Indonesia, esseis, dan intelektual publik Goenawan Mohamad.
Arif Pitoyo dari Bisnis Indonesia, Dahri Maulana dari Koran Peduli, dan Rizagana Tamim dari Investor Daily memperoleh penghargaan jurnalistik tulis tingkat naTambah Videosional, sementara Dede Sudiana dari pewartaindonesia.com, Vidayyub Ahmad dari Seputar Indonesia (Makassar), dan Ruht Semiono dari Suara Pembaruan memperoleh penghargaan jurnalistik foto tingkat nasional. Dari kelompok mahasiswa, Cucun Hendriana dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jonas Klemens dari UGM Yogyakarta, dan Mujahid Zulfadli dari Universitas Negeri Makassar memperoleh nilai tertinggi. Sedangkan Jessica Susanto dari Universitas Kristen Maranatha Bandung, Farida Zalliy dari Universitas Muslim Indonesia Makassar, dan Benedictus Yanuarto dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta tampil sebagai pemenang karya foto kategori mahasiswa.

Keberhasilan Telkomsel dalam melayani masyarakat Indonesia hingga saat ini tidak lepas dari dukungan yang diberikan rekan-rekan pers dan mahasiswa. Menurut Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno, “Pers merupakan tulang punggung bagi penyampaian informasi yang akurat dan aktual, serta kritik yang membangun. Sedangkan para mahasiswa merupakan sumber bakat yang tiada habisnya untuk berbagai inovasi kreatif yang selama ini menjadi platform Telkomsel dalam melayani Indonesia.”
Anugerah Telkomsel bagi jurnalis dan mahasiswa Indonesia ini merupakan bentuk apresiasi Telkomsel atas peran jurnalis dan mahasiswa yang senantiasa ikut memberi dukungan bagi perjalanan 15 tahun Telkomsel. Dengan sinergi yang baik inilah Telkomsel selalu melahirkan beragam inovasi, baik produk maupun layanan hingga dipercaya oleh lebih dari 86 juta pelanggan di seluruh Indonesia.

Wednesday, June 2, 2010

Pelajaran dari kasus Temasek

http://web.bisnis.com/artikel/2id2941.html

Pada dasarnya, kepemilikan silang dan monopoli di industri telekomunikasi sudah terjadi sejak 1990-an. Pada saat itu, kepemilikan silang dan telekomunikasi malah diciptakan oleh pemerintah. Pada 1993, di sektor jasa telekomunikasi bergerak, sesuai dengan UU No. 3/1989, harus bekerja sama secara patungan dengan Telkom atau Indosat atau kedua-duanya.
Dari hal tersebut, lahirlah operator-operator seluler seperti Satelindo (patungan antara Indosat, Telkom, dengan operator GSM di Jerman DeTeMobil) dan Telkomsel (patungan antara Telkom, Indosat, PTT Telecom Netherlands dan Setdco Megacell Asia).
Hal yang berbeda dilakukan XL, karena operator tersebut lahir tanpa ada dua perusahaan incumbent baik Telkom dan Indosat di dalamnya, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 3/1989.
Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang menilai Temasek Holdings Pte Ltd telah melanggar UU Antimonopoli dan memiliki kepemilikan silang di dua perusahaan telekomunikasi Indonesia pada 19 November 2007 adalah suatu hal tersendiri, karena pada saat itu sudah berlaku UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Temasek merupakan grup perusahaan asal Singapura yang menguasai Telkomsel (melalui Singtel) sebesar 35% dan Indosat (melalui STT Telemedia) sekitar 42%.
Seperti diketahui, vonis KPPU terhadap Temasek yaitu grup perusahaan tersebut harus melepas saham di Telkomsel atau Indosat paling lambat 2009. Pelepasan saham dilakukan dengan cara masing-masing pembeli dibatasi pembeliannya 5% dari total saham yang dilepas.
Selain itu, Temasek juga dibebani membayar denda masing-masing terlapor Rp25 miliar dan harus melepas hak suara dan hak mengangkat direksi dan komisaris di Telkomsel atau Indosat. KPPU juga memvonis Telkomsel harus menurunkan tarif selular sekurang-kurangnya 15% dari tarif berlaku saat itu.
Pada saat itu, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) bahkan menilai tidak ada persaingan di industri telekomunikasi, karena dua operator yang menjadi bagian dari Temasek menguasai hampir 80% pasar telekomunikasi di Indonesia.
Adanya kesepakatan tarif atau pun kesepakatan strategi pemasaran atau infrastructure sharing tak pelak menjadi isu teknis utama di seputar kepemilikan silang pada saat itu.
Preseden negatif
Bagaimana kondisi saat ini? Anggota BRTI Heru Sutadi mengingatkan kasus yang menimpa Temasek bisa menjadi preseden negatif bagi industri telekomunikasi di Indonesia.
“Kepemilikan silang tidak berarti kepemilikan silang secara langsung, tetapi juga bisa dalam satu grup atau holding,” ujarnya kepada Bisnis.com.
Menurut dia, meski dimiliki secara silang, tetap harus ada kompetisi, dan jika tidak ada kompetisi seperti pengaturan tarif, maka KPPU bisa masuk untuk mengevaluasi dan menyelidiki.
Saat ini, telah terjadi konsolidasi atau merger tidak langsung antara PT Mobile-8 Telecom dengan PT Smart Telecom (melalui Sinar Mas Group).
Meski pada akhirnya yang membeli adalah induknya, tetap saja Sinar Mas Group (SMG) melalui PT Gerbangmas Tunggal Sejahtera (GTS) sebesar 5% tak bisa dilepaskan dari Smart Telecom.
Posisi Smart Telecom-meski tidak secara langsung-bakal mewarnai setiap langkah strategis yang dilakukan Mobile-8. Lisensi ganda yang dimiliki Mobile-8, berupa seluler dan fixed wireless access (FWA) juga diprediksi makin memperlincah langkah gerak Smart dalam industri telekomunikasi di Indonesia.
Apalagi, Mobile-8 menggunakan infrastruktur milik PT Moratelindo. Moratelindo sendiri merupakan mitra strategis bagi Smart Telecom yang juga merupakan penyedia jaringan serat optik Smart Telecom.
Dirut Moratelindo Galumbang Menak bahkan mengungkapkan pihaknya secara tidak langsung memiliki saham di Mobile-8 berupa jaringan infrastruktur yang juga dipakai oleh Smart Telecom.
Meski dibantah oleh Dirut Mobile-8 Merza Fachys, apabila regulator tidak mencermati hal ini, maka pola semikonsolidasi seperti ini bisa mengarah kepada kesepakatan tarif atau kartel karena adanya kepemilikan silang.
Merza menegaskan pihaknya tidak melanggar aturan kepemilkan silang karena kedua operator bukanlah pemimpin pasar dan tidak menguasai pangsa sampai lebih dari 50%.
Konsolidasi di segmen CDMA (code division multiple access) malah disebut-sebut akan berkembang ke pemain FWA (telepon tetap nirkabel) lainnya, yaitu PT Bakrie Telecom Tbk (Esia) dan PT Telkom Tbk (Flexi).
Meski dibantah oleh Direktur Layanan Korporasi PT Bakrie Telecom Tbk Rakhmat Junaidi, kabar tersebut cukup kencang. “Esia masih bisa tumbuh secara organik, tidak perlu melakukan aksi merger.”
Pola kerja sama dalam bentuk infrastruktur bersama juga dilakukan antara PT XL Axiata dengan Axis. Meski tidak bisa disebut sebagai kepemilikan silang, tetapi pola kerja sama tersebut harus tidak disertai dengan pengaturan tarif bersama atau pengaturan oleh operator tertentu.
Kasus Temasek mungkin bisa dijadikan pelajaran bagi operator dan regulator untuk menjaga iklim kompetisi supaya tetap sehat. Peluang untuk ke arah kartel, monopoli, dan kepemilikan silang masih terbuka lebar, apalagi seiring dengan era konvergensi dan konsolidasi dalam beberapa tahun ke depan.
Ditjen Postel dan BRTI yang bertanggung jawab dari sisi teknis atau lisensi jangan sampai kecolongan dalam hal-hal seperti kartel tarif dari pihak-pihak yang berafiliasi, lisensi yang diperjualbelikan, dan pola pemanfaatan infrastruktur terutama dalam kaitannya dengan lisensi modern. (api)

Indostar 2, dari menumpang hingga direcoki BWA



Sempat terbersit kebanggaan saat peluncuran satelit Indostar 2 pada 16 Mei 2009 dari Boikonur, Kazakhstan. Karena sejak awal sudah dibangun paradigma bahwa satelit tersebut 100% milik Indonesia dan merupakan kelanjutan dari Indostar 1 (Cakrawarta 1)
Satelit yang diklaim PT Media Citra Indostar itu menjadi satu-satunya satelit yang kami tujukan untuk penyiaran (broadcasting) di Indonesia itu memiliki kapasitas dua kali lipat dibandingkan sebelumnya.
Satelit itu diperkirakan mampu melayani sekitar 120 kanal dengan teknologi MPEG-2 dan 140 kanal dengan teknologi MPEG-2 dan MPEG-4, akan melayani dua televisi berbayar, televisi lokal dan televisi berjaringan serta radio-radio berjaringan.
Indostar II akan diluncurkan menggunakan Roket Brezze M yang dibuat oleh Khrunichev State Research di Moskwa.
Satelit buatan Boeing model BS 601 HP ini menyediakan layanan komunikasi dua arah dengan kecepatan tinggi untuk jasa Internet, data, suara, video dan multimedia yang dapat menjangkau Indonesia, India, Filipina, dan Taiwan.
Namun, tak sampai lama rasa bangga itu menghinggapi, langsung sirna seiring dengan diketahuinya bahwa satelit tersebut merupakan milik Protostar Ltd dan PT MCI hanya menjalin kerja sama dengan perusahaan asal AS tersebut yang belakangan diketahui merupakan penyewa transponder S-band.
Corporate Secretary PT MCI Arya Mahendra membantah keras bahwa satelit Indostar II yang baru saja diluncurkan merupakan milik AS. "Tidak benar. Semua kontrol ada di Indovision, bagaimana bisa jadi milik AS?" tegasnya.
Menurut dia, yang benar adalah satelit tersebut bekerja pada dua band, yang satu adalah Ku-band yang dikontrol oleh Protonstar (perusahaan asal AS) untuk keperluan telekomunikasi, dan satunya adalah S-Band untuk keperluan penyiaran yang dikontrol penuh oleh Indovision.
Praktik kepemilikan satelit campur asing sebenarnya lazim terjadi di Indonesia, seperti satelit Palapa Pacific 146 yang merupakan kerja sama antara PT Pasifik Satelit Nusantara dan Mabuhay Philippines Satellite Corporation (MPSC) bersama induknya, Philippine Long Distance telephone Company (PLDT).
Pemerintah membebankan biaya hak pengelolaan slot orbit satelit kepada PSN dan Mabuhay karena menggunakan slot orbit di Indonesia, sementara untuk persoalan Indostar, Depkominfo belum menegaskan kewajiban BHP tersebut kepada perusahaan AS.
Satelit Indonesia merupakan satelit yang didaftarkan ke International Telecommunication Union (ITU) atas nama administrasi telekomunikasi Indonesia.
Dalam eksistensinya, satelit-satelit Indonesia tersebut diselenggarakan oleh para penyelenggara satelit Indonesia yang meliputi PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Media Citra Indostar, PT Pasifik Satelit Nusantara, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Sementara itu, daftar satelit Indonesia terdiri dari Palapa Telkom-1 (108oBT), Telkom-2, Telkom-3, (118oBT), Palapa C-2 (113oBT), Palapa Pacific 146oBT, Indostar II (107,7oBT), Garuda-1 (123oBT), dan satelit Lapan Tubsat.
Kembali ke satelit Indostar 2. Permasalahan mengemuka pada saat pemilik satelit Indostar 2 (Protostar 2), yaitu Protostar Ltd mengalami kesulitan keuangan dan akhirnya menjual satelit tersebut melalui lelang terbuka.
Dalam siaran pers di website resminya, Protostar mengungkapkan Pengadilan Amerika Serikat memberikan batas waktu hingga 17 Sepetember 2009 bagi pihak yang tertarik memiliki aset perusahaan tersebut. Protostar terbelit persoalan keuangan.
Protostar adalah perusahaan yang berdiri pada 2005 dengan kepemilikan dua satelit, yakni satelit ProtoStar II diluncurkan pada 16 Mei 2009 dan operasional pada 17 Juni 2009. Satelit ini memberikan layanan kepada PT Media Citra IndoStar (MCI) dan PT MNC Skyvision.
MCI selama ini selalu mengklaim memiliki investasi sepertiga dari total US$300 juta nilai satelit Protostar II atau Indostar II tersebut. Namun, anehnya, rencana penjualan aset tersebut tidak diketahui oleh operator Indovision itu.
Sejumlah kalangan di lingkungan Asosiasi Satelit Indonesia (Assi) menilai apabila MCI tidak diikutsertakan dalam rencana penjualan satelit berarti perusahaan tersebut tidak memiliki saham di perusahaan asal AS tersebut dan hanya sebagai penyewa saja.
Rencana penjualan Protostar juga secara otomatis membahayakan slot satelit milik Indonesia di orbit 107,7 oBT. Karena siapa pun pemiliknya, berarti mereka menempati slot Indonesia, kecuali ada operator satelit lokal yang mau mengucurkan dana meski itu sangat sulit sekali.
Pemerintah dan regulator agaknya juga gerah dengan perkembangan yang terjadi di seputar kepemilikan Indostar 2. Bahkan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengusulkan mengusir satelit Protostar 2/Indostar 2 dari slot Indonesia yang sekarang digunakan jika satelit tersebut terbukti milik Protostar Ltd., bukan PT Media Citra Indostar (MCI) seperti yang selama ini diklaim.
Heru Sutadi, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), mengatakan pihaknya terus memantau masalah satelit yang tadinya hanya bernama Protostar ini, siapakah pemilik sesungguhnya, apakah milik MCI atau murni Protostar Ltd.
“Kalau murni milik Protostar, ya tidak seharusnya mereka ada di slot orbit Indonesia. Ibaratnya ada truk besar milik orang lain parkir di halaman rumah kita begitu saja, pasti diusir,” ujarnya.
MCI merupakan salah satu pengguna satelit tersebut, yaitu pada S-Band yang diberi nama satelit Indostar II. Satelit tersebut digunakan untuk layanan broadcasting Indovision.
Masalah frekuensi
Selain dikuliti dari sisi kepemilikan, satelit yang sudah tidak murni lagi milik Indonesia juga menempati pita frekuensi 2,5 GHz yang oleh sebagian kalangan operator BWA dianggap sebagai hak nya sesuai dengan ketentuan International Telecommunication Union (ITU).
Selama ini satelit Indostar 2 menguasai frekuensi selebar 150 MHz di pita 2,5 GHz.
Forum Komunikasi Broadband Wireless Indonesia (FKBWI) mengungkapkan penguasaan frekuensi oleh MCI di pita tersebut dirasakan sangat besar.
Jika penguasaan ini tetap berlangsung, terdapat unsur penguasaan frekuensi oleh satu pihak dan hal ini berpotensi merugikan masyarakat untuk mendapatkan alternatif layanan yang lebih baik.
Sebagaimana diketahui, frekuensi 2,5 GHz adalah frekuensi yang telah diidentifikasi oleh International Telecommunication Union (ITU) dapat digunakan untuk international mobile telecommunications (IMT 2000) baik untuk WiMax, akses terestrial, maupun IMT Advance.
FKBWI menilai kalaupun MCI tetap menggunakan frekuensi ini untuk keperluan satelit broadcasting, dengan kemajuan teknologi digital (MPEG4) seharusnya alokasi 50 MHz pun sudah lebih dari cukup sehingga sisanya bisa digunakan untuk kepentingan teresterial baik untuk WiMax maupun LTE.
FKBWI menilai apabila pemerintah membiarkan penguasaan sedemikian besar oleh MCI membuat terjadinya pemborosan penggunaan frekuensi.
"Hal ini karena dengan teknologi teresterial spektrum tersebut bisa digunakan untuk melayani 10 juta pengguna, sedangkan dengan teknologi satelite broadcast hanya melayani 500.000 pengguna," ungkap organisasi itu.
Seorang eksekutif operator satelit menilai adanya kalangan BWA yang merecoki frekuensi yang digunakan Indostar adalah lebih karena adanya kepentingan vendor WiMax di belakangnya.
“Mereka memiliki produk di pita 2,5 GHz, tetapi kurang laku di dunia, sehingga kini menembak Indonesia agar bisa menjadi ladang pemasaran mereka,” tuturnya.
Namun, apapun itu, setelah operator satelit global SES SA dari Prancis memenangkan lelang terbuka atas satelit Protostar 2 senilai US$184 juta, dan pihak MCI juga belum melaporkan mengenai bentuk kerja sama dengan pemilik baru tersebut, kini satelit itu direncanakan pindah ke slot asing.
Bukan saja satelit Indostar terancam menjadi satelit asing, slot Indonesia di 107,7o BT juga terancam tanpa penghuni dan bila dalam 2 tahun tidak diisi akan hilang.Konsekuensi sebagai satelit asing adalah harus mengajukan landing right (hak labuh) apabila ingin memberikan layanannya di Indonesia.(arif.pitoyo@bisnis.co.id)

Wednesday, May 26, 2010

Vendor asing dinilai intervensi pita LTE



JAKARTA (Bisnis.com): PT Media Cita Indostar—operator Indovision-- menilai wacana penggunaan pita 2,5 GHz untuk teknologi long term evolution (LTE) merupakan ulah vendor asing yang ingin menjual produknya.
“Pemerintah harus berhati—hati, jangan sampai diintervensi oleh vendor asing tersebut. Dulu desakan pita 2,5 GHz untuk WiMax juga karena ulah vendor Internet pita lebar, sekarang giliran vendor LTE yang berharap produknya laku di Indonesia,” ujar Corporate Secretary PT MCI Arya Mahendra kepada Bisnis.com hari ini.
Menurut dia, di negara lain belum ada yang menggunakan LTE, sementara di Indonesia, operator belum mengoptimalkan layanan seluler generasi ketiga (3G) dan belum balik modal.
PT MCI menguasai 150 MHz spektrum pita 2,5 GHz yang digunakan untuk penyelenggaraan layanan broadcasting Indovision melalui satelit Indostar 2/Protostar 2.
Pemerintah mempertimbangkan opsi mengganti rencana pengembangan teknologi pita lebar bergerak dari mobile WiMax ke long term evolution (LTE) dengan menyiapkan pita 2,5 GHz.
Plt Dirjen Kementerian Kominfo Muhammad Budi Setiawan mengatakan pihaknya sedang mempertimbangkan opsi membatalkan mobile WiMax dan memilih teknologi LTE untuk menggelar layanan pita lebar bergerak (mobile broadband). Pemerintah telah mengalokasikan pita 2,3 GHz untuk teknologi fixed WiMax berteknologi 16d.
Arya menilai teknologi LTE sebaiknya ditempatkan pada pita 3G yang sudah ada sehingga tinggal meng-upgrade teknologinya saja.
“Sebaiknya industri telekomunikasi tidak terus menerus merecoki industri broadcasting dan sebaiknya berjalan bersama di frekuensi masing—masing. Penataan frekuensi pada dasarnya merupakan ulah vendor asing yang ingin memasarkan produknya di Indonesia,” ujarnya.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi menilai LTE seperti WiMax yang bisa dibeberapa rentang frekuensi seperti di 800 MHz, 2,1 GHz, dan 2,5 GHz. “Tidak benar kalau ada intervensi seperti itu,” ujarnya.(api)