Friday, July 22, 2011

Prita, dan wajah cyber law kita

Adanya kenyataan bahwa polisi Internet Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Indonesian Security Incident Response Team on Internet (ID-SIRTII) kekurangan dana untuk menjalankan fungsinya secara optimal sangat membuat kita prihatin.





Karena itu artinya, RI masih menafikan persoalan keamanan digital, di tengah sebagian besar negara di dunia sangat memberikan perhatian terhadapnya.





Betapa tidak, lembaga yang sebetulnya sangat diandalkan sebagai penjaga ruang cyber di Tanah Air ternyata sangat kesulitan untuk mempertahankan kehidupannya sendiri.





Meski tidak banyak bicara, saya rasa setiap negara sudah menyiapkan diri menghadapi cyberwar.

Cyber-Hankamrata mungkin sebuah ide yang tidak berlebihan, namun tetap perlu kekuatan central yang kuat, mengingat komunitas ini cenderung tertutup dan bergerak-maya, konsep intelijen keluar dan ke dalamnya lebih rumit.





Kalau negara seperti AS, wilayah pertahanannya (matra) ada lima. Selain yang tradisional (darat, laut, udara), ada tambahan yaitu outer space dan cyber space.





Saat ini, upaya ke arah pembentukan angkatan ke-4 cyber defense baik itu dilakukan Kementerian Pertahanan maupun Kementerian Komunikasi dan Informasi sudah terlihat dalam diri ID-SIRTII meski perkembangannya tidak seperti yang diharapkan.





Tentu proses ini membutuhkan waktu dan berjalan disesuaikan dengan skala prioritas serta kemampuan negara. Upaya ini masih ditambah perkuatan dari inisiatif intelijen yang berjalan terpisah.





Kehadiran Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebenarnya dapat meningkatkan keamanan dan kenyamanan, terutama nasabah bank saat melakukan kegiatan perbankan melalui sistem elektronik yang disediakan bank. Ada beberapa alasannya.



Pertama, UU ITE menegaskan bahwa bank, sebagai pihak yang menyelenggarakan

sistem elektronik dalam memfasilitasi pelayanan jasa bank via Internet (e-banking),

bertanggung jawab secara hukum terhadap kerugian yang dialami nasabah berkaitan dengan pemanfaatan layanan yang disediakannya.



Kedua, UU ITE mengharuskan bank untuk menyelenggarakan sistem elektronik yang andal dan aman, serta bertanggung jawab terhadap operasional sistem elektroniknya.



Bank juga wajib mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam UU ITE.



Ketiga, dalam UU ITE, ada pengakuan terhadap kontrak elektronik, yaitu perjanjian yang dibuat melalui sistem elektronik.



Laporan transaksi perbankan via e-mail, yang menunjukkan adanya penawaran dan persetujuan yang melibatkan nasabah, dapat juga dianggap sebagai kontrak elektronik.



Keempat, UU ITE menegaskan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Jika nasabah menggunakan e-banking untuk transaksi perbankannya, maka laporan

mutasi rekening miliknya pada sistem elektronik yang disediakan bank dan hasil cetaknya dapat menjadi alat bukti yang sah.



Kelima, UU ITE mengatur lebih jelas mengenai kejahatan terhadap sistem informasi, sehingga memudahkan aparat penegak hukum untuk menindaklanjutinya.



Selain itu, terdapat pula sanksi berat bagi orang yang mengganggu atau menerobos sistem pengamanan elektronik secara ilegal. Dengan demikian, siapa pun akan berpikir panjang untuk melakukan kejahatan terhadap e-banking.



Namun demikian, beberapa ketentuan dalam UU ITE masih perlu pengaturan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah, sperti misalnya Pasal 27 mengenai pencemaran nama baik, yang pekan ini kembali menjerat Prita Mulyasari, melalui keputusan kasasi Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan RS Omni International.



Di negara-negara maju yang beradab dan berbudaya, yang demokratis dan masyarakatnya saling menghormati, masalah pencemaran nama baik, dan atau fitnah diatur dalam UU.



Oleh karena itu, persoalan utama bukan hanya di kalimat pasal-pasal dalam UU,

melainkan dalam implementasi, penegakan hukumnya, juga di pemahaman masyarakat terhadap apa yang dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik, juga pada pemahaman masyarakat terhadap media baru (Internet) yang juga dapat digunakan sebagai alat untuk mencemarkan nama baik.



Dalam hal penyalahgunaan teknologi informasi tidak semuanya masuk dalam kategori pidana, karena harus dilihat konteks nya terlebih dahulu.



Betatapun UU-ITE baik sebagian besar atau hanya pasal 27 hendak diubah, atau dibuatkan PP yang menjabarkan pasal-pasal, bila akar permasalahan (the root of problems) tak pula dianjak pergi, dikikis habis, kasus-kasus semacam yang dialami Prita, dapat diramalkan kuat akan terjadi lagi, dan terus lagi.



Bila demikian silakan direnungkan apakah pencabutan UU-ITE, penghapusan pasal 27 UU-ITE, atau pembuatan PP akan menyelesaikan masalah atau bahkan menimbulkan masalah baru.

Menurut anggapan saya, bukan pasal 27-nya yang salah, tapi interpretasi aparat penegak hukum dan termasuk pihak pengacara Prita sendiri yang kurang memahaminya. Perkembangan teknologi informasi Internet memang terlalu cepat untuk diikuti oleh bidang keilmuan sosial atau hukum.



Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE yakni dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda 1 miliar rupiah. Pasal tersebut menyatakan: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.



Saya tidak sepakat dengan argumentasi bahwa pasal pencemaran sering digunakan untuk membungkam kritik masyarakat terutama di alam reformasi yang sangat terbuka selama ini.



Harus ada studi yang mendalam kasus per kasus menguji hipotesis ini. Jangan sampai kita mengambil kesimpulan keliru karena melakukan generalisasi hanya berdasarkan sekeping fakta dan sikap emosional.



Mari kita kritisi lagi secara obyektif, khususnya dalam kasus Prita. Apakah setelah itu keluhan masyarakat yang dirugikan oleh suatu layanan berhenti dan terbungkam?



Apakah milis kita lantas sepi dari curhat serupa? Di setiap media sosial, blog dan ruang jurnalisme masyarakat bahkan justru semakin marak kritik bahkan protes terbuka.



Apakah benar mereka takut? Terus terang saya tidak melihat ada bukti premise ini. Argumentasi, opini, kekhawatiran para pemerhati ya memang ada dan banyak serta terus menerus dieksploitasi terutama sebagai alat untuk menyudutkan dengan dalih kritik terhadap instansi dan pejabat tertentu walaupun sebenarnya masalah ini bukan menjadi tanggung jawab dan wewenang mereka.



Kemudian apakah semua kekhawatiran itu faktual atau baru sekedar "kalau"? Adakah riset yang mengujinya? Justru faktanya saya melihat kasus Prita semakin memotivasi masyarakat untuk berbicara bahkan berbalik melakukan intimidasi kepada aparat penegak hukum.



Kita masih ingat kelakar yang banyak beredar, polisi dan jaksa sekarang takut "di-koin-kan". Kita juga sebenarnya yang rugi kalau penegak hukum enggan bekerja dan sulit obyektif karena terlalu banyaknya sorotan serta komentar yang mempengaruhi.



Kalau melihat kasus Prita sesungguhnya adalah masuk kategori dispute konsumen.



Sejatinya prita mengeluhkan layanan kesehatan yang ruang lingkupnya adalah perdata, tidak ada hubungannya dengan kritik pada kekuasaan dan apalagi kebebasan berbicara atau berekspresi.



Saya justru heran mengapa arahnya jadi ke sana? Apa yang dilakukan oleh pihak korporasi dalam hal ini RS OMNI juga berada dalam ruang lingkup hak membela diri sebagai penyedia layanan.



Bahwa pasal yang digunakan kemudian adalah kriminalisasi (pidana) maka yang seharusnya dikritisi adalah para pengacara yang membawa dan mensikapi masalah itu kepada penegak hukum.



Pertanyaan besarnya justru tidak terjawab, mengapa para pengacara ini tidak menggunakan ketentuan di dalam UU Konsumen untuk menyelesaikan dispute antara penyedia layanan dengan penggunanya?



Seandainya sejak awal pengacara Prita menggunakan ketentuan dalam UU Konsumen, maka sudah jelas bahwa Prita tidak dapat disangkakan melakukan pencemaran karena apa yang dilakukannya adalah sesuai HAK sebagai konsumen.



Pasal 27 UU ITE justru melindungi siapapun yang menggunakan haknya tidak dapat dikenai persangkaan melakukan pencemaran yang mana itu justru tidak ada dalam KUHAP.



Ketidakcermatan dan ketidakcerdasan mereka yang ber-acara inilah yang menimbulkan polemik. Maka seharusnya mereka inilah yang dikoreksi oleh masyarakat. Tetapi mengapa justru berbelok menuding pemerintah dan pasal dalam UU yang bahkan sudah diputuskan sah oleh MK. Saya rasa kita sekarang ini memang hanya buang energi.(ea)

Thursday, July 21, 2011

Menyoal hilangnya potensi PNBP sektor telekomunikasi

Industri telekomunikasi berkembang sangat pesat di Indonesia, khususnya dalam lima tahun terakhir. Apabila di rata-rata, nilai bisnis industri tersebut dalam lima tahun terakhir mencapai Rp80 triliun setiap tahunnya.



Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada tahun lalu Kemenkominfo mencatat PNBP sebesar Rp12,1 triliun atau naik 10%-20% dari target semula. Adapun pada tahun ini, target yang dicanangkan Kemenkominfo adalah Rp11 triliun.



Namun, mengkilapnya industri telekomunikasi tak dirasakan sepenuhnya oleh Indonesia, karena minimnya kepemilikan perusahaan lokal di operator telekomunikasi kurang gregetnya regulasi dalam mendesak pelaku usaha menyelesaikan kewajibannya, termasuk kewajiban biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi yang masuk dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Kementerian Komunikasi dan Informatika.



Sehingga, pajak yang seharusnya dapat dinikmari negara, harus berkurang, bahkan terancam hilang sama sekali. PT Smart Telecom misalnya, yang tidak bersedia membayar BHP hingga tiga tahun. Bahkan, pemerintah atau regulator sampai rela menghitung ulang kembali besaran pajak biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi sejak Januari 2011 meski sampai sekarang juga tak kunjung selesai.



Perhitungan ulang besaran BHP frekuensi Smart Telecom pun molor hingga beberapa bulan sehingga terancam mengurangi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tahun ini.



Smart yang menguasai lima kanal di spektrum 1.900 Mhz memiliki utang BHP frekuensi kepada negara sebesar Rp484 miliar.



Selama ini terdapat perbedaan hitungan besaran BHP Smart antara pemerintah dan Smart. Smart mengklaim pihaknya seharusnya hanya membayar Rp242 miliar tetapi Ditjen Postel menarik Rp484 miliar sama seperti operator 3G di pita yang sama.



PT Smart Telecom meminta keringanan pembayaran biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi selama tiga tahun hingga 50% menjadi hanya Rp242 miliar.



Dirut Smart Telecom Sutikno Wijaya meminta pemerintah bersikap adil dan tidak memberlakukan BHP yang sama kepada Smart dengan operator 3G lainnya yang lebih mapan.



“Kami merupakan operator yang baru berkembang tetapi harus membayar up front fee dan BHP seperti operator 3G lainnya, sementara operator berteknologi CDMA lainnya seperti Mobile-8 membayar BHP jauh lebih murah karena masih menganut perhitungan ISR [izin stasiun radio],” katanya kepada Bisnis beberapa waktu yang lalu.



Sutikno mengungkapkan biaya pemakaian frekuensi yang dibebankan kepada Smart Telecom sesungguhnya tarif layanan komunikasi generasi ketiga (3G) milik operator seluler berbasis Global System for Mobile Communication (GSM).



Padahal Smart operator telepon berbasis Code Division Multiple Access (CDMA). Kanal frekuensi milik Smart Telecom pun, katanya, tidak berada di spektrum frekuensi 3G.



“Kami bukannya tidak mau membayar, tetapi perhitungan dari Kemenkominfo mengenai besaran BHP memang belum keluar hingga saat ini, padahal sudah ada evaluasi dari BKPM dan fatwa Kejaksaan Agung bahwa kami hanya membayar separuh dari BHP operator 3G,” tuturnya.



Pajak yang seharusnya dinikmati negara dari sektor telekomunikasi juga banyak hilang di pita frekuensi 2,5 GHz.



Potensi kehilangan pajak dari biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi di pita 2,5 Ghz adalah sebesar Rp2,4 triliun setiap tahun karena penguasaan yang besar untuk satelit broadcasting sebesar 150 MHz.



Sekjen Indonesia Wireless Broadband (Idwibb) Yohannes Sumaryo mengungkapkan di pita tersebut, terdapat PT Media Citra Indostar (Indovision) yang menguasai spektrum selebar 150 MHz dan hanya bayar BHP sebesar Rp300 juta setahun.

Sementara operator WiMax atau LTE sanggup membayar Rp2,4 triliun per tahun untuk lebar pita yang sama.



Corporate Secretary Indovision Arya Mahendra mengungkapkan penataan frekuensi, terutama pita 2,5 GHz, hanyalah permainan vendor yang ingin dagangannya laku. "Pemerintah jangan sampai mau diintervensi vendor asing.

“Industri penyiaran bukan hanya sekadar mencetak laba seperti telekomunikasi, tetapi ada juga unsur pendidikan dan sosialnya,” tegasnya.


Selain masalah pita frekuensi 2,5 GHz tersebut, pemerintah juga kehilangan potensi BHP frekuensi yang seharusnya dibayarkan operator satelit asing yang bekerja di slot orbit milik Indonesia, yaitu Mabuhay asal Filipina dan SES SA asal Prancis.



Jangan lupa juga, pemerintah juga sepertinya kecolongan dengan operasional Research in Motion melalui BlackBerry di Indonesia yang tidak membayar biaya hak penyelenggaraan (BHP) Jasa Telekomunikasi.



Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mendesak pemerintah untuk mewajibkan RIM mengurus lisensi Internet service rovider (ISP) apabila ingin memberikan layanan Internet BlackBerry (BIS) di Indonesia.

Operator hanyalah pemilik jaringan 3G yang hanya mengoperasikan last miles tapi yang mengoperasikan sepenuhnya atas layanan BIS itu murni RIM. Identik dengan model bisnis dan kerja sama pemanfaatan jaringan seperti hal ini adalah antara Indosat dengan anak usahanya IndosatM2.



Dengan menerapkan lisensi ISP kepada RIM atas layanan BIS, maka RIM wajib menempatkan exchange point/router/gateway dan server di dalam negeri, dikenakan pajak layanan jasa Internet seperti halnya ISP lain, kewajiban yang equal dengan ISP lain saat diberlakukan filtering, membuka lapangan kerja, karena BIS RIM itu layanannya identik dengan BROOM IM2, maka akan ada perusahaan lokal BIS RIM sekelas IM2 dengan jumlah pegawai ratusan bahkan ribuan orang





RIM sendiri diklaim sudah memenuhi pembayaran biaya hak penyelenggaraan (BHP) jasa telekomunikasi lewat operator seluler yang menjadi mitranya di Indonesia.

“Seperti halnya content provider [CP], jatah pembayaran untuk RIM dari operator juga dilakukan setelah perhitungan pembayaran BHP, jadi sudah termasuk di dalamnya, seperti waktu saya masih di Indosat,” ujar mantan Direktur Marketing Indosat Guntur S. Siboro yang kini menjabat sebagai Managing Director Aora TV.



Pemerintah seharusnya memeriksa detil perjanjian kerja sama (PKS) antara operator telekomunikasi dengan RIM dan PKS antara operator satelit lokal dengan asing sehingga bisa diketahui bahwa kewajiban membayar pajak sudah dipenuhi atau belum.(arif.pitoyo@bisnis.co.id)

Wednesday, July 20, 2011

Telekomunikasi RI dikepung asing


Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya, Indonesia sejak dulu kala, slalu di puja puja bangsa..







Itulah penggalan lagu Indonesia Pusaka yang pada zaman kemerdekaan sangat menggugah rasa nasionalisme setiap orang.



Kemerdekaan yang dimaksud bukan hanya di daratan dan laut saja, tetapi juga di dalam bumi, di udara, bahkan di ruang angkasa Indonesia.



Berbagai pernyataan para pemimpin kita di zaman revolusi sifatnya memang untuk membangkitkan semangat berkorban bagi kepentingan bangsa, dan itu telah berhasil mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat.



Sejalan dengan bergulirnya waktu, bangsa Indonesia telah mengalami pasang surut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik secara politik maupun ekonomi.



Kalau pada saat pemerintahan Orde Lama, bangsa Indonesia didorong untuk benar-benar mampu berdiri di atas kaki dan kemampuan sendiri, dan bersifat protektif dari intervensi dan pengaruh asing, hal itu berbanding terbalik dengan masa pemerintahan Orde Baru.



Salah satu penggerak rode perekonomian Orde Baru adalah didorongnya paket kebijakan untuk mendatangkan investasi asing di Indonesia.



Salah satu kebijakan yang pertama kalinya diluncurkan adalah perubahan tentang pengelolaan bahan galian dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.



Kebijakan mengundang investasi asing bidang pertambangan bahan galian golongan strategis dan vital, merupakan kebijakan antitesis dari kebijakan pemerintahan Orde Lama.





Hal yang hampir sama juga terjadi di sektor telekomunikasi. Bedanya, sejak zaman kolonial industri telekomunikasi telah dikuasai asing di mana Telkom baru berdiri.



Indosat pun sejak awal lahirnya pada 1967 tak luput dari peran pemodal asing. Baru pada 1980 pemerintah Indonesia mengambil alih seluruh saham Indosat, sehingga menjadi BUMN.



Namun, ternyata asing kembali lagi bermain pada 1993. Saat itu, kebijakan pemerintah RI menempatkan Telkom dan Indosat sebagai dua penyelenggara telekomunikasi lokal yang melakukan praktik monopoli.



Karena keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah maupun operator telekomunikasi, maka pembangunan infrastruktur telekomunikasi khususnya jaringan telekomunikasi tetap (fixed wireless) lokal saat itu dilakukan melalui pengikutsertaan modal asing.



UU No. 3/1989 tentang Telekomunikasi dan PP No. 8/1993 serta Kepemenparpostel No. 39/1993 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi Dasar memungkinkan kerja sama antara Telkom atau Indosat dengan perusahaan lain dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi dasar.



Ketiga regulasi itu menetapkan bahwa kewajiban kerja sama antara badan penyelenggara dan badan lain dalam penyelenggaraan telekomunikasi dasar dapat berbentuk usaha patungan (join venture), kerja sama operasi (KSO) atau kontrak manajemen (KM).



Memang benar seperti dinyatakan dalam PP No. 20/1994 tentang pemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka PMA: penanaman modal bidang usaha telekomunikasi dapat dilakukan oleh penanam modal asing patungan asal kepemilikan peserta Indonesia minimal 5% dari seluruh modal yang disetor.



Akan tetapi, dalam schedule of commitment traktat multilateral WTO, Indonesia menyatakan bahwa kepemilikan asing atas saham penyelenggara jasa telekomunikasi dasar dapat sampai 35%. Adapun aturan DNI (Daftar Negatif Investasi) di sebutkan bahwa asing dibatasi hingga 49% pada penyelenggara jaringan tetap dan 65% pada penyelenggara seluler.



Saat ini, kepemilikan asing di Smartfren Telecom mencapai 23,91%, Telkomsel 35%, Hultchinson 60%, Indosat 70%, XL Axiata 80%, dan Natrindo 95% dimiliki asing.



Lihat saja angka-angka tersebut. Wajar logikanya kalau disebutkan bahwa telekomunikasi di Indonesia sudah tidak berbendera Merah Putih lagi.



Kalau boleh diambil rata-ratanya, maka kepemilikan asing akan saham perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia mencapai angka 65%. Kepemilikan saham yang hampir mencapai 65% inilah celah keamanan yang tidak diperhatikan oleh aparat-aparat yang berkepentingan dalam hal ini.



Dengan angka rata-rata penguasaan saham hampir 65%, bisa dikatakan kekuatan bangsa ini di bidang telekomunikasi sudah mengkhawatirkan. Tidak perlu bicara mengenai perang intelijen dalam masalah penyadapan, berbicara masalah aturan main dan regulasi-kebijakan saja, tentunya kita sudah kalah, karena dalam konsep kapitalisme global, pemegang modal adalah penguasa.



Kedaulatan di angkasa



Sedikit diatasnya adalah aangkasa luar, yang sejatinya juga masih termasuk kedaulatan RI, yaitu tergambar dari sebuah infrastruktur yang disebut satelit.



Industri satelit, memang tak secemerlang seluler. Gaungnya tak terdengar sampai kepada pelosok dan penjuru Tanah Air. Maklum, industri yang sarat teknologi dan investasi itu hanya melayani konsumen perusahaan telekomunikasi, penyiaran/broadcasting, dan Internet.



Pada sudut pandang yang berbeda, konsumen dari satelit bisa juga datang dari kalangan militer atau lembaga penelitian sejenis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.



Meski tak secemerlang seluler, tetapi keberadaan satelit merupakan jaminan identitas suatu bangsa, dan sedikit di atasnya, satelit merupakan pertanda adanya suatu negara dan bangsa yang berdaulat.



Satelit Indonesia merupakan satelit yang didaftarkan ke ITU atas nama administrasi telekomunikasi Indonesia.



Dalam eksistensinya, satelit-satelit Indonesia tersebut diselenggarakan oleh para penyelenggara satelit Indonesia yang meliputi PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Media Citra Indostar, PT Pasifik Satelit Nusantara, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).



Kita pernah mencatat sejarah manis setelah berhasil meluncurkan satelit komunikasi domestik Palapa A-1 ke angkasa pada 9 Juli 1976, di saat angkasa Indonesia masih kosong dari satelit-satelit asing.



Bicara masalah satelit dalam kaitannya dengan harga diri suatu bangsa, Indonesia pernah kehilangan salah satu aset yang sangat berharga, yaitu slot satelit yang dinotifikasikan ke International Telecommunication Union (ITU). Tak tanggung-tanggung, kita sempat kehilangan 3 slot satelit!



Indosat misalnya, merupakan pengelola dua slot satelit yang sempat hilang, yaitu 113 derajat BT dan 150,5 derajat BT. Terakhir kita mendengar ke-3 slot tersebut sudah dapat diselamatkan lagi oleh pemerintah.



Kini, entah disadari pemerintah atau tidak, sejumlah pihak memberikan begitu saja filing satelit milik Indonesia ke pihak asing dan mengarahkan pancaran sinyal satelitnya (beam) ke negara lain, bukan ke Indonesia.



Sebut saja Satelit Garuda, yang ternyata lebih banyak dimiliki oleh Mabuhay Philippines Satellite Corporation (MPSC) daripada operator satelit Indonesia PT Pasifik Satelit Nusantara.



Kabarnya, menurut data dari Ditjen Postel dan Center for Indonesia Telecommunications Regulation Study (Citrus), malah PSN hanya memiliki 5% dalam satelit itu. Namun dalam konfirmasinya, Komisaris Utama PT PSN Adi Rahman Adiwoso mengatakan pihaknya memiliki 35% dalam satelit Garuda.



Beam dari satelit Garuda sendiri mengarah ke Indonesia, dan yang menyedihkan, operator satelit Filipina tersebut tidak dibebani biaya hak penggunaan (BHP) satelit atau universal service obligation (USO). Adiwoso berjanji akan mengecek hal itu.



Angkasa Indonesia makin teracak-acak dengan adanya peluncuran satelit Protostar yang diklaim Indovision merupakan satelit miliknya. Padahal, menurut situs resmi Protostar dan SES SA, status mereka adalah payload atau menyewa selama 15 tahun atau seumur dengan satelit tersebut di S-Band.



Entah kenapa, keberadaan satelit yang merupakan satelit asing tersebut sama sekali “tidak diganggu” pemerintah. Bahkan, Kemenkominfo terkesan melindunginya dengan memperjuangkan filing satelit baru untuk satelit asing tersebut di 108,2 oBT, meski Indonesia sebenarnya sudah memiliki filing di 107,7 oBT.



Sangat janggal apabila pemerintah melepas 107,7oBT dan memperjuangkan 108,2 oBT yang mungkin baru bisa dimiliki setelah 7 tahun. Dan selama itu lah, satelit asing milik Protostar yang kemudian dibeli oleh SES SA bebas memberikan layanan di Indonesia melalui Indovision tanpa mengurus hak labuh, apalagi dikenai BHP satelit atau USO.



Slot orbit 107,7 oBT secara otomatis tidak bisa digunakan karena akan berinterferensi dengan slot di dekatnya, yaitu 108,2 oBT. Apabila praktik semacam ini terus dilanggengkan, maka Indonesia sebenarnya kehilangan pajak satelit dan dana USO yang lumayan besar. Apalagi, kinerja satelit tersebut tanpa hak labuh sehingga angkasa Indonesia seakan teracak-acak.



Sekretaris Perusahaan Indovison Arya Mehendra berulang kali mengungkapkan pihaknya memegang kendali satelit Indostar 2/SES 7 pada S-Band dan memilikis atelit bumi di Indonesia.



Penanganan kehadiran operator satelit asing yang memenuhi angkasa Indonesia memerlukan koordinasi dari Kementerian Kominfo, Kemenhuk dan HAM, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di bawah Koordinasi Kementerian Perekonomian.



Kementerian Kominfo harus fokus pada pemanfaatan dan optimalisasi filing slot orbit satelit, BKPM akan menangani persoalan PMA, dan Kemenhuk dan HAM menangani soal badan hukum.



Selama ini operator satelit asing yang bekerja sama dengan operator satelit lokal bebas menjalankan bisnisnya menggunalan filing Indonesia dan memancarkan satelit ke negaranya. Selama BKPM belum menetapkan status PMA dan Kemenhuk dan HAM belum menetapkan badan hukum kepada mereka, maka selamanya mereka bebas menggunakan filing satelit kita, padahal filing dan slot orbit merupakan sumber daya yang terbatas.