Sunday, February 28, 2010

Dana USO jangan dibuang sayang


Oleh Arif Pitoyo




Dana USO (universal service obligation), atau lebih dikenal dengan pungutan USO, sudah dipungut Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak 2005. Sebelum tahun tersebut, anggaran USO diambil dari pos Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Pada 2004 saja Departemen Perhubungan (dulu Ditjen Postel masih di bawah Dephub) hanya mengajukan anggaran Rp75 miliar meski yang cair hanya sekitar Rp45 miliar.
Sejak 2005, dana USO diambil dari pungutan 0,75% pendapatan operator atau penyelenggara jaringan telekomunikasi. Pada periode 2005--2006, jumlah dana USO yang terkumpul diprediksi mencapai Rp550 miliar.
Saat ini pemerintah menarik pungutan USO sebesar 1,25% dan bukan hanya dari penyelenggara jaringan, tetapi juga penyedia jasa seperti Internet service provider (ISP) dan bahkan rencananya juga dipungut dari penyedia konten dan penyedia layanan teknologi seperti BlackBerry.
Mulai pelaksanaan USO pada 2007, meski diliputi kontroversi akan ketentuan dalam UU Telekomunikasi No. 36/1999, pemerintah menggelar tender pelaksanaan USO.
Sesuai dengan Pasal 16 Ayat 1 UU No.36/ 1999, kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi untuk pedesaan dibebankan pada penyelenggara jaringan telekomunikasi tetap yang telah mendapatkan izin dari pemerintah berupa jasa sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) dan atau jasa sambungan lokal.
Jika berpatokan pada pasal tersebut, maka pemilik lisensi jaringan tetap seperti Telkom, Indosat, Batam Bintan Telekomunikasi, Sampoerna Telekomunikasi Indonesia, dan Bakrie Telecom, seharusnya diperintahkan untuk membangun USO tanpa perlu ditenderkan.
Namun, pemerintah mengakalinya dengan cara memberikan lisensi jartap kepada pemenang USO yang pada akhirnya memicu obral lisensi.
Kembali ke soal pihak—pihak yang dipungut USO. Ternyata dalam pelaksanaan tender, baik dalam tender USO voice atau telepon perdesaan maupun USO Internet Kecamatan, pihak—pihak yang sudah dipungut USO tidak bisa serta merta bisa ikut tender penggelaran layanannya.
Sebut saja ISP yang terganjal aturan permodalan sehingga menuntut mereka saling bekerja sama membentuk konsorsium.
Belum lagi nanti kalau penyedia konten dan BlackBerry ikut dipungut juga yang tentu saja tidak bisa ikut tender penggelaran jaringan. Karena untuk ikut serta dalam tender USO, batas kepemilikan asing maksimal 49%.
Pemerintah nampaknya hanya ingin mendapatkan dana dari USO yang sebesar-besarnya, sementara para pihak yang telah membayarnya tidak diperlakukan secara equal level playing field.
Pada penggelaran tender USO 2008, Telkomsel keluar sebagai pemenangnya bersama Icon+ yang menggarap di wilayah timur Indonesia.
Namun, Icon ternyata gagal memenuhi target pembangunan proyek telepon perdesaan (universal service obligation/USO voice) di wilayah timur Indonesia dan terancam kena denda.
Padahal, Icon+ juga berpeluang besar menguasai proyek USO Internet Kecamatan di tujuh paket pekerjaan tender USO penyediaan layanan Internet kecamatan (PLIK) karena merupakan penawar terendah hingga 70% dari pagu. Anak usaha PLN itu juga memiliki nilai tertinggi di tujuh paket tersebut mengungguli Telkom.
Mengenai sanksi denda, pemerintah berjanji akan membahasnya secara internal mengenai besaran dan waktu penerapannya.
Paket pekerjaan USO voice yang dimenangi Icon+ meliputi wilayah Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Irian Jaya Barat.
Sama seperti keikutsertaannya dalam tender USO Internet kecamatan, pada USO voice Icon+ menawar harga sangat rendah hingga di bawah 80% dari harga penilaian sendiri (HPS) hingga menyisihkan Telkom dan Telkomsel.
Kegagalan Icon+ dalam menyelesaikan pembangunan USO voice membuat sejumlah pihak meragukan komitmen perusahaan tersebut dalam tender USO Internet Kecamatan.
Kegagalan Icon+ tentu saja sama dengan membuang anggaran dan dana USO yang dikumpulkan dari penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi, baik yang kecil atau pun yang besar.
Kini, masyarakat dan kalangan telekomunikasi tengah berharap—harap cemas menanti pengumuman pemerintah mengenai pemenang tender USO Internet Kecamatan.
Pemerintah jangan sampai salah dalam memilih pemenang tender karena yang benar—benar memiliki komitmen tinggi itu lah yang perlu diutamakan dan bukan hanya sekadar harga yang terendah.Karena dana USO sebaiknya jangan dibuang sayang.(arif.pitoyo@bisnis.co.id)

Dana USO jangan dibuang sayang

Oleh Arif Pitoyo

Dana USO (universal service obligation), atau lebih dikenal dengan pungutan USO, sudah dipungut Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak 2005. Sebelum tahun tersebut, anggaran USO diambil dari pos Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Pada 2004 saja Departemen Perhubungan (dulu Ditjen Postel masih di bawah Dephub) hanya mengajukan anggaran Rp75 miliar meski yang cair hanya sekitar Rp45 miliar.
Sejak 2005, dana USO diambil dari pungutan 0,75% pendapatan operator atau penyelenggara jaringan telekomunikasi. Pada periode 2005--2006, jumlah dana USO yang terkumpul diprediksi mencapai Rp550 miliar.
Saat ini pemerintah menarik pungutan USO sebesar 1,25% dan bukan hanya dari penyelenggara jaringan, tetapi juga penyedia jasa seperti Internet service provider (ISP) dan bahkan rencananya juga dipungut dari penyedia konten dan penyedia layanan teknologi seperti BlackBerry.
Mulai pelaksanaan USO pada 2007, meski diliputi kontroversi akan ketentuan dalam UU Telekomunikasi No. 36/1999, pemerintah menggelar tender pelaksanaan USO.
Sesuai dengan Pasal 16 Ayat 1 UU No.36/ 1999, kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi untuk pedesaan dibebankan pada penyelenggara jaringan telekomunikasi tetap yang telah mendapatkan izin dari pemerintah berupa jasa sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) dan atau jasa sambungan lokal.
Jika berpatokan pada pasal tersebut, maka pemilik lisensi jaringan tetap seperti Telkom, Indosat, Batam Bintan Telekomunikasi, Sampoerna Telekomunikasi Indonesia, dan Bakrie Telecom, seharusnya diperintahkan untuk membangun USO tanpa perlu ditenderkan.
Namun, pemerintah mengakalinya dengan cara memberikan lisensi jartap kepada pemenang USO yang pada akhirnya memicu obral lisensi.
Kembali ke soal pihak—pihak yang dipungut USO. Ternyata dalam pelaksanaan tender, baik dalam tender USO voice atau telepon perdesaan maupun USO Internet Kecamatan, pihak—pihak yang sudah dipungut USO tidak bisa serta merta bisa ikut tender penggelaran layanannya.
Sebut saja ISP yang terganjal aturan permodalan sehingga menuntut mereka saling bekerja sama membentuk konsorsium.
Belum lagi nanti kalau penyedia konten dan BlackBerry ikut dipungut juga yang tentu saja tidak bisa ikut tender penggelaran jaringan. Karena untuk ikut serta dalam tender USO, batas kepemilikan asing maksimal 49%.
Pemerintah nampaknya hanya ingin mendapatkan dana dari USO yang sebesar-besarnya, sementara para pihak yang telah membayarnya tidak diperlakukan secara equal level playing field.
Pada penggelaran tender USO 2008, Telkomsel keluar sebagai pemenangnya bersama Icon+ yang menggarap di wilayah timur Indonesia.
Namun, Icon ternyata gagal memenuhi target pembangunan proyek telepon perdesaan (universal service obligation/USO voice) di wilayah timur Indonesia dan terancam kena denda.
Padahal, Icon+ juga berpeluang besar menguasai proyek USO Internet Kecamatan di tujuh paket pekerjaan tender USO penyediaan layanan Internet kecamatan (PLIK) karena merupakan penawar terendah hingga 70% dari pagu. Anak usaha PLN itu juga memiliki nilai tertinggi di tujuh paket tersebut mengungguli Telkom.
Mengenai sanksi denda, pemerintah berjanji akan membahasnya secara internal mengenai besaran dan waktu penerapannya.
Paket pekerjaan USO voice yang dimenangi Icon+ meliputi wilayah Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Irian Jaya Barat.
Sama seperti keikutsertaannya dalam tender USO Internet kecamatan, pada USO voice Icon+ menawar harga sangat rendah hingga di bawah 80% dari harga penilaian sendiri (HPS) hingga menyisihkan Telkom dan Telkomsel.
Kegagalan Icon+ dalam menyelesaikan pembangunan USO voice membuat sejumlah pihak meragukan komitmen perusahaan tersebut dalam tender USO Internet Kecamatan.
Kegagalan Icon+ tentu saja sama dengan membuang anggaran dan dana USO yang dikumpulkan dari penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi, baik yang kecil atau pun yang besar.
Kini, masyarakat dan kalangan telekomunikasi tengah berharap—harap cemas menanti pengumuman pemerintah mengenai pemenang tender USO Internet Kecamatan.
Pemerintah jangan sampai salah dalam memilih pemenang tender karena yang benar—benar memiliki komitmen tinggi itu lah yang perlu diutamakan dan bukan hanya sekadar harga yang terendah.Karena dana USO sebaiknya jangan dibuang sayang.(arif.pitoyo@bisnis.co.id)

Wednesday, February 24, 2010

Internux akan angsur biaya WiMax


Oleh Arif Pitoyo


PT Internux meminta kelonggaran pembayaran WiMax kepada pemerintah dengan cara mengangsur.
Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Basuki Yusuf Iskandar mengungkapkan pihaknya akan membicarakan hal tersebut dalam rapat pleno BRTI pekan ini.
“Internux sendiri sudah mengajukan usulan kepada Menkominfo untuk melakukan pembayaran secara mencicil,” ujarnya.
Dirut Internux Adnan Nisar menegaskan pihaknya bukannya tidak mau membayar biaya WiMax yang terdiri dari biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi tahun pertama dan up front fee dengan total Rp220,06 miliar.
“Kami akan membayar semuanya, termasuk denda pada April. Saat ini dana sudah tersedia, tetapi sebagai perusahaan yang baru berinvestasi cukup besar di telekomunikasi, kami butuh waktu untuk mengumpulkan dokumentasi dan perencanaan lainnya,” tuturnya.
Internux sendiri mengaku sudah membayar 10% dari kewajiban pembayaran WiMax sehingga sesuai PP yang berlaku, perusahaan itu merasa sudah memenuhi kewajiban minimal sehingga pemerintah tidak bisa mencabut lisensi WiMax-nya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah melakukan verifikasi dan investigasi sebelum mencabut lisensi WiMax milik Internux karena mangkir dari pembayaran WiMax.(api)

BRTI kurang tegas soal telepon umum


Oleh: Arif Pitoyo


JAKARTA: Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) kurang tegas dalam menerapkan kewajiban penyediaan telepon umum meski hal itu tercantum dalam Peraturan Menkominfo No. 1/2010 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi.
Anggota BRTI Heru Sutadi mengatakan pihaknya sudah memanggil operator jaringan tetap atau fixed wireless access (FWA) pada 2007 mengenai pemenuhan kewajiban telepon umum tersebut dan saat ini belum dievaluasi lagi.
“Saat ini ada masukan dari operator untuk menurunkan kewajiban umum dari jumlah saat ini 3% dari total kapasitas jaringan,” ujarnya.
Menurut dia, telepon umum bisa di konversikan dengan program telepon perdesaan (universal service obligation/USO) karena meski pelaksana pembangunannya dilakukan oleh Telkomsel, tetapi dananya dari seluruh operator telekomunikasi, termasuk operator jaringan tetap.
Konsep USO sendiri merupakan wartel. Sementara berdasarkan Kepmenhub No. 46/2002 tentang Penyelenggaraan Wartel, antara wartel dengan telepon umum merupakan dua hal yang berbeda.
Padahal dalam Kepmenhub No. 21/2001 mengenai Penyelenggaraan Jaringan Tetap Kabel disebutkan bahwa regulator telah mewajibkan kepada penyelenggara saluran telepon tetap (pontap) untuk mengalokasikan sekitar 3% dari kapasitasnya untuk membangun telepon umum.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia Srijanto Tjokrosudarmo menuturkan antara wartel dan telepon umum terdapat perbedaan tarif yang cukup signifikan.
"Wartel lebih kepada aspek komersial, sementara telepon umum lebih ditujukan untuk kepentingan masyarakat luas. Namun, keduanya tidak ada persaingan, malah saling melengkapi," ujarnya.
Terkait dengan pemenuhan kewajiban telepon umum, Indosat mengungkapkan baru membangun sekitar 11.000 sambungan telepon umum dari total kapasitas StarOne 3 juta sambungan atau hanya 0,36%.(api)

Sunday, February 21, 2010

Sebenarnya vendor lokal mampu produksi perangkat WiMax



Oleh Arif Pitoyo
Salah besar apabila vendor lokal tidak bisa memproduksi WiMax, bahkan mungkin sejak 2007. Perusahaan seperti Hariff, Inti, dan lainnya bukannya tidak bisa memproduksi perangkat WiMax, tetapi pengaruh dari operator 3G besar diketahui menjadi penyebab mandeknya produksi perangkat WiMax oleh vendor lokal.
Sebagai imbalannya, vendor lokal diberi banyak proyek oleh operator besar, terutama di perangkat-perangkat yang bersifat sekunder. Hariff misalnya, diberi proyek cukup banyak oleh Telkomsel, asalkan menghentikan pengembangan perangkat WiMax.
Hebatnya lagi, regulasi mengenai WiMax molor sampai 2 tahun dan untuk WiMax Mobile bahkan belum pernah dibahas sampai sekarang.
Kini, setelah vendor lokal diberi kesempatan untuk memproduksi WiMax, standardisasi perangkatnya dibuat sedemikian rupa hingga tingkat kandungan lokal sampai 40%. hal tersebut sangat susah untuk direalisasikan karena harga perangkat malah semakin mahal.
Untuk memodifikasi perangkat WiMax asing, vendor lokal tetap saja mengimpor komponennya dari luar negeri sehingga produksi perangkat malah makin mahal. Masalah kandungan lokal juga banyak dimanipulasi oleh sejumlah vendor lokal dan herannya juga didukung oleh Ditjen Postel.
Hariff misalnya, sejak awal mereka bekerja sama dengan Trenzeo sudah memperoleh sertifikasi perangkat dari Surveyor Indonesia soal tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dan Ditjen Postel (Type of Approval). Namun, mereka ternyata mengganti komponen perangkatnya dengan milik Harris Telsima tanpa melakukan tes TKDN baru.
Dan yang sangat mengherankan, Hariff sudah mendapatkan TA dari Postel meski belum mendapatkan sertifikasi TKDN dari Deperin atau Surveyor Indonesia.
Dan seminggu setelah diributkan, Hariff seperti mendapatkan sertifikasi TKDN dari langit karena tiba-tiba sudah mengantongi sertifikasi tersebut.
TKDN semua malah melahirkan banyak reseller perangkat WiMax asing. Dan akibatnya, perkembangan WiMax pun menjadi terhambat. Dan inilah sebenarnya yang diinginkan operator 3G. Wallohu a'lam..

Persaingan industri lokal mulai tidak sehat


Pada periode 2008—2009, persaingan sengit memperebutkan pasar perangkat telekomunikasi nasional terjadi antara penyedia lokal dengan asing. Namun, saat ini peta persaingan berubah drastis karena industri lokal saling menggerus pasar industri lokal lainnya.
Berubahnya peta persaingan antar-penyedia perangkat telekomunikasi terutama dipicu oleh kebijakan pemerintah yang mendorong peningkatan kandungan lokal pada infrastruktur yang digunakan operator, seperti dalam penyelenggaraan telekomunikasi seluler generasi ketiga (3G) dan Internet pita lebar WiMax.
Alih—alih memberdayakan industri lokal, operator WiMax malah kesulitan untuk mulai membangun infrastruktur yang menjadi komitmennya sesuai dengan lisensi modern mengingat penyedia lokal ternyata belum benar—benar siap menyediakan perangkat dengan spesifikasi yang sesuai dan diproduksi massal.
Bahkan pada awal Juni 2009, Kementerian Ristek menyatakan PT Hariff Daya Tunggal Engineering dan PT Teknologi Riset Global (TRG) belum siap menyediakan perangkat WiMax di pita 2,3 GHz.
Ketidaksiapan kedua perusahaan lokal itu juga terlihat pada saat uji coba perangkat WiMax di Puspitek Serpong, pekan lalu. Perangkat base station dari Hariff dan TRG hanya bisa menjangkau 15 CPE (customer premises equipment) dengan daya jangkau sampai 6 km. Adapun WiMax Forum mensyaratkan dalam satu base station bisa menjangkau minimal 100 CPE.
Staf Ahli Menristek Engkos Koswara mengungkapkan untuk menyiapkan industri manufaktur nasional perlu pengembangan riset dan pengembangan, baik hardware maupun software yang sesuai dengan regulasi nasional dan WiMax Forum.
Namun, tak sampai menunggu lama, Hariff sudah mengantongi Type Approval (TA) pada 5 Oktober 2009 dari Direktorat Pos dan Telekomunikasi dan telah menjual ribuan perangkatnya, HiMAX331-BS versi 2 dan HiMAX331-SS versi 2 kepada PT Aplikanusa Lintasarta dengan harga sangat murah.
Sebagian kalangan vendor lokal menilai harga tersebut dinilai tidak masuk akal bila mereka benar-benar melakukan investasi TKDN (tingkat kandungan dalam negeri) karena menelan cost yang besar.
Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, sejumlah vendor lokal yang bekerja sama dengan asing malah mengeluarkan investasi yang besar, terutama dalam pengembangan aplikasi atau software, dan material yang dibeli di dalam negeri yang harganya malah tinggi.
Direktur Pengembangan Bisnis PT Lintasarta Yudi Rulanto Subyakto mengungkapkan dalam memilih perangkat WiMax yang akan digunakan, pihaknya memperhitungkan spesifikasi teknis dan harga yang murah. “Saat ini sudah ada 3 produk lagi yang sedang di tes, di luar produk Hariff,” ujarnya.
Adapun GM Pengembangan Bisnis Indosat M2 Hermanuddin mengatakan dalam memilih vendor lokal yang dipertimbangkan adalah sertifikasi, sepsifikasi teknis, dan harga.
//Survei TKDN//
Waktu yang dibutuhkan bagi Surveyor Indonesia (Departemen Perindustrian) untuk meneliti kandungan lokal hingga mengeluarkan sertifikasi TKDN juga memakan waktu lama, hingga 3,5 bulan.
Sebagaimana diketahui, Hariff belum mengantongi sertifikasi TKDN pada Januari 2010 meski sudah mengantongi sertifikat dari Ditjen Postel, yaitu Sertifikat No. 12771/2009 untuk perangkat base station dan Sertifikat No. 12772/2009 untuk perangkat subscriber terminalnya. Hariff bekerja sama dengan vendor AS Harris Stratex Telsima.
Padahal prosedur yang sebenarnya adalah untuk mendapatkan TA harus memenuhi sertifikasi TKDN terlabih dahulu.(Bisnis, 11 Januari 2010).
Namun, hanya dalam waktu singkat, vendor lokal tersebut sudah berhasil mengantongi sertifikasi TKDN, yaitu pada 21 Januari 2010.
Seperti diketahui, pada awalnya dulu Hariff melakukan pengembangan produk WiMax versi 1 nya dengan menggunakan chipset dari WaveSat yang kemudian ternyata tidak berhasil dijual karena produk tersebut tidak lulus tes teknis Ristek dan para operator BWA.
Hal ini menimbulkan kesan bahwa proses yang dilakukan oleh Departemen Perindustrian atau Surveyor Indonesia hanyalah formalitas belaka.
Seorang eksekutif vendor lokal menyatakan kemungkinan Hariff tidak melakukan investasi yang sesungguhnya seperti yang dilakukan oleh para industri lokal pesaingnya namun ditolerir oleh pemerintah. Tanpa investasi, mereka bisa dikategorikan hanyalah sebagai pedagang yang dengan waktu singkat bisa menjual ribuan produk barunya tersebut dengan harga murah.
Hariff diketahui hanya melakukan perubahan sedikit atas produk Harris Telsima kemudian dijual lagi sehingga harganya jauh lebih murah dari vendor lokal lainnya. Sementara kandungan TKDN nnya sudah pasti jauh di bawah yang disyratakan pemerintah.
Pemerintah seharusnya tegas dan tidak melakukan manipulasi data seperti itu karena vendor lokal bukan hanya Hariff dan peraturan juga sebaiknya ditaati oleh Dirjen Postel sendiri.
PT LEN Industri menyampaikan bahwa investasi mereka untuk membuat produk cukup besar dan pihaknya sangat prihatin dengan kondisi persaingan yang tidak sehat tersebut.
Direktur Direktur Teknologi PT. LEN Industri Darman Mappangara mengungkapkan untuk mengejar TKDN ada investasi yang cukup besar dan minimal harusnya sama karena ada lokalisasi komponen atau jasa.
“Tetapi karena di Indonesia tidak didukung industri hulu [komponen] yang memadai, maka tetap saja komponen harus diimpor sehingga usaha TKDN tidak maksimal dan harga malah naik,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Adapun GM Production Unit Tarmizi Kemal mengatakan titik lemah TKDN adalah lemahnya pengawasan di lapangan terhadap pelanggaran penyedia maupun pengguna barang dan jasa.
“Penegakan hukum masih kurang. Selama pengawasan dan penegakan hukumnya masih kurang, TKDN tidak akan banyak membawa manfaat bagi industri dalam negeri,” ujarnya.
LEN dan sejumlah vendor lainnya menyoroti Hariff yang mengubah spesifikasi produknya tanpa mengurus sertifikasi TKDN yang baru.
PT Abhimata dan PT Teknologi Riset Global (TRG) juga menyatakan mendapatkan kesulitan yang sama karena persaingan yang tidak sehat ini.
Bahkan PT TRG, PT LEN Industri, dan PT Abhimata, yang telah melakukan investasi terancam tidak dapat menjual produknya karena persaingan yang tidak sehat, yaitu rendahnya harga yang ditawarkan Hariff.
Direktur Standardisasi Ditjen Postel Azhar Hasyim mengatakan makin murah harga yang ditawarkan vebdor lokal justru makin bagus karena bisa bersaing dengan asing.
Mochammad Syaban, Direktur Marketing PT Hariff mengungkapkan berita mengungkapkan tidak benar bahwa Hariff hanya berperan sebagai penjual saja, bukan pengembang.
“Berita yang beredar cenderung simpang siur. Saat ini kami sedang sibuk mempersiapkan tender dis ejumlah operator WiMax,” tegasnya.
Sebaiknya pemerintah memperhatikan hal ini, harga produk TKDN hanya bisa murah atau paling tidak sama dengan harga produk impor apabila pemerintah bisa memberikan subsidi kepada para industri lokal pada awal masa produksi mereka.
Pemerintah sebaiknya tidak perlu mengeluarkan dana penelitian lagi untuk 16e. Pada 2008 pemerintah menurunkan dana penelitian untuk WiMax 2,3 GHz 16 d sebesar Rp18 miliar.
Lebih bermanfaat apabila dana tersebut diberikan saja sebagai insentif kepada industri lokal agar mereka terbantu. Contohlah pemerintah China yang memberikan subsidi penuh atau insentif kepada produsen dalam negeri mereka dan terbukti produk China saat ini menjadi menguasai perdagangan di seluruh dunia.(Roni Yunianto/Muhammad Sufyan)(arif.pitoyo@bisnis.co.id)