Wednesday, July 9, 2008

Indonesia Kurang Menghargai Lulusan Luar Negeri

Arif Pitoyo

Dalam beberapa hari terakhir, saya merasa trenyuh melihat banyak mahasiswa Indonesia yang masih menjalani pendidikan di luar negeri dipanggil oleh instansi yang menaunginya ke Indonesia. Padahal hampir sebagian besar belum menyeelesaikan kuliahnya alias tidak lulus.

Selidik punya selidik, ternyata kepala instansi tersebut hanya berpendidikan S1, sehingga mungkin keki juga banyak anak buahnya yang sudah lulus kuliah s2 dan kini lagi melanjutkan pendidikan ke S3.

Seperti contohnya di LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), kakak saya dan beberapa temannya dipanggil oleh Deputi institusi tersebut, bahkan terkesan memaksa sekali. Menristek Kusmayanto Kadiman yang mendapat laporan tersebut dari saya pun tidak bisa berbuat banyak dan tidak bisa mencegah arus kepulangan mahasiswa Indonesia yang belum menamatkan pendidikannya di luar negeri.

Mungkin ini potret generasi saat ini dan bukti bahwa pemerintah kurang mempedulikan kualitas SDM yang lebih baik lagi...

fotoL campusaccess.com

Kampanye Semu Penggunaaan Produk Lokal


Arif Pitoyo

Akhir-akhir ini banyak terdengar baik dari seminar di hotel mewah, ruang kantor Menteri atau Dirjen, dan kantor-kantor operator mengenai penggunaan produk telekomunikasi lokal. Kampanye tersebut saya nilai hanyalah semu belaka, karena yang benar-benar lokal mungkin label mereknya saja, sementara semua komponennya berasal dari luar negeri.

Produk notebook, ponsel, dan lainnya tidak ada yang benar-benar lokal meski menggunakan merek Indonesia. Saya membayangkan, Indonesia benar-benar memiliki industri manufaktur dan pusat pengembangan software lokal yang komponen dan bahan-bahan lainnya sebagian besar dari lokal, pasti Microsoft pun enggan masuk ke Indonesia, produk Nokia, Siemens, Motorola, dan lainnya juga pasti malu untuk masuk ke Indonesia, karena..

Software buatan asli Indonesia jauh lebih bagus, mudah dan lengkap dan Microsoft, produk HP, notebook dan PC dari Indonesia jauh lebih murah dan bagus dari produk luar negeri.

foto: gameaxis.com

Thursday, July 3, 2008

Mengapa Harus Ada Tender SLJJ?

Arif Pitoyo

Layanan sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) atau lazim disebut long distance service sebenarnya bukanlah barang mewah untuk suatu operator telekomunikasi, apalagi seluler, di mana tanpa lisensi itu pun sebuah penyelenggara layanan bergerak tersebut bisa memberikan jasa panggilan dari satu kota ke kota lainnya, atau bahkan dari negara satu ke negara lainnya.

Di beberapa negara maju, SLJJ bukanlah merupakan suatu lisensi tersendiri yang mesti diperebutkan, karena operator fixed line bisa secara otomatis mendapatkannya.

Indonesia, yang masih menganut monopoli semu atau liberalisasi setengah hati nampaknya belum begitu terbiasa dengan era kebebasan berkomunikasi, di mana Telkom sebagai operator incumbent yang notabene milik pemerintah sendiri seakan takut dan khawatir pangsa pasarnya digerogoti pemain lain.

Padahal, apalah artinya 30 juta pelanggan FWA bagi lebih dari 230 juta penduduk Indonesia? Betapa masih melimpahnya pasar telekomunikasi tetap, kenapa juga harus diperebutkan atau ditakutkan?

Hanya operator telekomunikasi yang takut berkompetisi lah yang akan menghalangi pemberian lisensi SLJJ secara cuma-cuma kepada operator jaringan tetap. Tender yang sedianya digelar pun sangat jauh dari pelaksanaannya. Nyatanya, pemerintah memang seakan sengaja mengulur-ulur waktu pelaksanaan tender SLJJ tersebut yang dulunya dijadwalkan terselenggara Juni 2007, lalu mundur jadi awal tahun ini, dan sekarang... mundur lagi sampai Agustus. Ada apa gerangan? Apakah ada tekanan dari pihak tertentu? Jawabannya ada di pemerintah sendiri.

Perlu diketahui, sebelum 1999, Telkom sebagai BUMN menjadi penguasa di bidang layanan telepon tetap, baik lokal, sambungan langsung jarak jauh (SLJJ), maupun sambungan langsung internasional (SLI).

Keberadaan Telkom-sebagai perusahaan swasta zaman kolonial yang didirikan sejak 1882, hingga akhir 2003 hanya mampu membangun 8,7 juta SST kapasitas terpakai berdasarkan data dari Dephub pada 2003 atau teledensitas 4%.

Bandingkan dengan segmen seluler -yang sejak lahirnya pada 1995/ 1996 sudah dikompetisikan- yang hingga akhir 2002 atau hanya dalam tempo sekitar tujuh tahun, tiga operator GSM utama (Telkomsel, Satelindo dan Exelcomindo) sudah berhasil meraih 10,6 juta pelanggan.

Pemerintah mulai mancanangkan skema duopoli penyelenggaraan telepon saluran tetap antara Telkom dan Indosat pada 1999 hingga 2001. Indosat mengantongi izin penyelenggaraan telepon lokal untuk Jakarta dan Surabaya sejak awal Agustus 2002.

Akses SLJJ memang sudah banyak ditinggalkan pelanggan telekomunikasi. Pendapatan baik Telkom maupun Indosat dari tahun ke tahun selalu turun tergerus layanan seluler atau pun VoIP. Saat ini, layanan SLJJ lebih banyak diperlukan untuk menyalurkan akses SLI ke kota-kota di Indonesia. Karena tanpa lisensi SLJJ, maka biaya yang dibebankan oleh suatu operator di luar Telkom akan sangat besar.

Bila SLJJ diberikan secara otomatis kepada operator layanan tetap, mungkin bukan hanya penyelenggara telekomunikasi saja yang diuntungkan, tetapi juga masyarakat pengguna telekomunikasi yang menjadi pelanggan operator jaringan tetap di luar Telkom.

foto: zu.edu.eg

Quo Vadis Transportasi Angkutan Darat Indonesia



















Arif Pitoyo


Carut marut transportasi di Indonesia, khususnya di sektor darat, sangat jelas menggambarkan pemerintah tak punya visi ke depan. Pembenanahannya terkesan asal-asalan dan hanya mengejar proyek semata, sementara tujuan lain yang lebih besar, seperti adanya ketertiban yang tercipta, tidak adanya angkutan umum yang ngetem di sembarang tempat, angkutan yang menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat, dan buruknya pelayanan kereta api sangat memprihatinkan semua orang dan memalukan harga diri bangsa.

Contoh kecil, betapa susahnya orang asing yang ingin memesan tiket kereta api, atau turun dari busway di tempat yang ditujunya. Ini kan sangat memalukan bangsa Indonesia di mata negara lain?

Apalagi mental tenaga kerja di sektor transportasi darat kita teramat buruknya, bahkan amat sangat buruk. Apalagi pegawai PT Kereta Api. Rekruitmen karyawannya yang hanya berdasarkan kekeluargaan dan pertemanan membuat wajah BUMN Perkeretaapian tersebut terasa sangat memprihatinkan. Belum lagi ditambah dengan sarana dan prasarananya yang sangat jauh dari rasa aman. Pernah suatu ketika seorang ibu yang sedang hamil dimaki-maki oleh petugas loket kereta api dan menyuruhnya datangd I stasiun lainnya yang jaraknya sangat jauh dari stasiun tersebut. Alasannya hanya sepele, “lagi off line bu, ke stasiun Senen saja, disini tidak bisa,” ujar seorang petugas Stasiun Gambir.”

Belum lagi kalau bertanya-tanya kapan kereta datang, kenapa keretanya terlambat. “Tunggu saja disitu, pasti keretanya datang, jangan khawatir!” teriak seorang petugas penjaga stasiun Jatinegara. Calo-calo yang banyak bergentayangan di stasiun-stasiun sepertinya mengambil hak penumpang untuk naik kereta api, karena... mereka pastinya telah mengambil tiket cukup besar, sementara sisanya baru di jual di loket resmi.

Tunggu dulu, ternyata bukan hanya kereta api yang memiliki pelayanan teramat sangat memprihatinkan, angkutan umum, mikrolet, bus kota, dan sejenis minibus di berbagai kota juga terasa sangat tidak bersahabat. Saya membayangkan bila saja sarana transportasi kita maju, tentunya orang akan enggan menggunakan kendaraan pribadi. Jalan satu-satunya memang dengan menggalakkan busway di mana-mana, tapi harus dibarengi dengan penghilangan angkutan kota dan minibus secara bertahap, karena dua moda angkutan inilah yang selalu bikin macetnya kota jakarta. Dan bagusnya lagi, bisa ditambah dengan subway untuk angkutan kereta api, dengan lapangan parkir yang nyaman dan tingkat keamanan yang tinggi.

Sektor transportasi, bila ditata seapik mungkin bisa memberikan sumbangan nilai bisnis yang sangat besar, layaknya telekomunikasi. Pungutan liar dari berbagai oknum petugas yang kurang bertanggung jawab sangat membuat kita kesal. Saat ini saja nilai bisnis sektor telekomunikasi mencapai lebih dari Rp50 triliun, bandingkan dengan sektor angkutan darat yang hanya Rp5 triliun.

Tingginya laju inflasi Juni yang secara year on year (YoY) tercatat 11,03%, paling besar didorong oleh industri transportasi. Sektor industri tersebut, bersama telekomunikasi, dan jasa keuangan memberikan kontribusi kepada laju inflasi sebesar 8,72%.

foto: ocw.mit.edu

Wednesday, July 2, 2008

Temasek dan Sikap Pemerintah yang Ragu-ragu


Arif Pitoyo

Pemerintah diminta bersikap tegas terhadap kasus penjualan saham PT Indosat Tbk yang dimiliki Tamasek Holding kepada Qatar Telecom (Qtel) sebesar 40,8 persen melalui Asian Mobile Holding AMH pemilik Indonesia Communication Limited (ICL) yang tercatat sebagai pemegang saham Indosat. Pasalnya, dalam transaksi itu, Qtel membayar sebesar 2,4 miliar dolar Singapura atau 1,8 miliar dolar AS setara dengan Rp 16,74 triliun.

“Karena itu, saya minta Mahkamah Agung (MA) dan Bappepam sebagai benteng terakhir keadilan mampu menjaga keadilan. Penjualan saham Indosat milik Tamasek sudah melecehkan hukum kita, padahal putusan PN Jakpus sudah memerintahkan Tamasek membayar denda. Jadi, sebelum persoalan hukum selesai, kenapa Tamasek menjual sahamnya kepada Qtel,” ujar Direktur INDEF Fadil Hasan didampingi anggota DPD Marwan Batubara pada diskusi di DPD RI Jakarta, Rabu (2/7).

Menurut Fadil, dalam sidang Komisi Pengawas Persaingan
Usah (KPPU) pada tanggal 19 November 2007 lalu memutuskan Temasek Holdings bersalah melanggar UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. “Dalam keputusan KPPU itu, Temasek diminta untuk menghentikan kepemilikan sahamnya dengan cara melepas salah satu perusahaannya antara Telkomsel dan Indosat dalam waktu 12 bulan atau mengurangi kepemilikan masing-masing sahamnya di Telkom dan Indosat sebesar 50% dari jumlah saham dalam waktu 12 bulan.

Persoalannya, putusan pengadilan itu tidak diindahkan Tamasek, bahkan mengajukan banding ke MA atas putusan PN Jakpus. Kita bersyukur PN Jakpus telah menguatkan putusan KPPU. Tapi, dalam proses kasasi di MA, Temasek telah melakukan transaksi penjualan sahamnya sebesar 40,8 persen di Indosat kepada Qatar Telecom. “Proses penjualan saham ini membuktikan Tamasek telah melecehkan proses hukum di Indonesia . Apalagi transaksi itu dilakukan di luar wilayah hukum Indonesia . Jadi, wajar saja kalau kita mempertanyakan motivasi transaksi itu. Itikadnya sudah tidak baik. Temasek telah melecehkan proses hukum di Indonesia,” ujar dia.

Seharusnya, lanjut dia, pemeritah mempunyai pandangan yang sama terhadap masalah ini, yaitu harus menghormati hukum kita sendiri. Tetapi justru pejabat pejabat kita memberikan reaksi membiarkan dan bahkan mendorong dan menyetujui transaksi tersebut sehingga Temasek merasa di atas angin,” ujar Fadil.

Seperti diketahui, masuknya Qatar Telecom (Qtel) ke PT Indosat Tbk dengan mengambilalih 40,8% saham Singapore Technologies Telemedia (STT) dinilai tidak terlalu berdampak besar bagi industri telekomunikasi di Tanah Air. Pasalnya, peta persaingan pada industri telekomunikasi tidak melulu dilihat dari siapa pemegang sahamnya, memiliki dana besar atau tidak.

Berdasar aturan lama Bapepam, tender offer bisa dilakukan oleh pemegang minimal 25% saham perusahaan yang tercatat di BEI. Namun aturan baru tender offer yang akan dikeluarkan Bapepam LK pekan ini, akan menaikkan batas kepemilikan saham dengan hak tender offer, dari 25% menjadi 35-50%. Qtel, sesuai undang-undang pasar modal, wajib melakukan tender offer selaku pemilik 40,8% saham PT Indosat Tbk yang diakuisisi dari ST Telemedia dengan harga Rp 7,388 per lembar sahamnya.

Sedangkan Marwan Batubara menyesalkan, sikap pemerintah yang tidak konsisten dalam menyikapi kasus Temasek itu. “Ketika putusan KPPU keluar, Wapres Jusuf Kalla pemerintah akan membeli kembali saham Tamasek. Tapi, belakangan Menneg BUMN Sofyan Jalil menyatakan pemerintah tidak akan membeli kembali saham milik Tamasek. Jadi, pejabat kita memang tidak konsisten dengan pernyataannya,” ujar Marwan.

foto:21stcenturysocialism.com

Apa Kabar Satelit Indonesia?













Oleh: Arif Pitoyo

Industri satelit, memang tak secemerlang seluler. Gaungnya tak terdengar sampai kepada pelosok dan penjuru Tanah Air. Maklum, industri yang sarat teknologi dan investasi itu hanya melayani konsumen perusahaan telekomunikasi, penyiaran/broadcasting, dan Internet.

Pada sudut pandang yang berbeda, konsumen dari satelit bisa juga datang dari kalangan militer atau lembaga penelitian sejenis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Meski tak secemerlang seluler, tetapi keberadaan satelit merupakan jaminan identitas suatu bangsa, dan sedikit di atasnya, satelit merupakan pertanda adanya suatu negara dan bangsa yang berdaulat.

Satelit Indonesia merupakan satelit yang didaftarkan ke ITU atas nama administrasi telekomunikasi Indonesia. Dalam eksistensinya, satelit-satelit Indonesia tersebut diselenggarakan oleh para penyelenggara satelit Indonesia yang meliputi PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Media Citra Indostar, PT Pasifik Satelit Nusantara, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

Sementara itu, daftar satelit Indonesia terdiri dari Palapa Telkom-1 (108oBT), Telkom-2 (118oBT), Palapa C-1 (113oBT), Palapa Pacific 146oBT, Cakrawarta-1 (107,7oBT), Garuda-1 (123oBT), dan satelit Lapan Tubsat.

Kita pernah mencatat sejarah manis setelah berhasil meluncurkan satelit komunikasi domestik Palapa A-1 ke angkasa pada 9 Juli 1976, di saat angkasa Indonesia masih kosong dari satelit-satelit asing.

Peluncuran satelit Palapa A-1 juga menandai Indonesia layak disejajarkan dengan empat negara besar lainnya di dunia yaitu Kanada, Amerika Serikat, dan Jepang yang telah mengoperasikan satelit sendiri.

Pada 10 Maret 1977, Indonesia pun berhasil meluncurkan satelit berikutnya yang diberi nama Palapa A-2 yang memiliki 12 transponder seperti yang dimiliki Palapa A-1.

Kedua satelit komunikasi Indonesia itu memiliki umur yang relatif pendek, yaitu tujuh tahun di mana Palapa A-1 berakhir masa operasinya pada 1983, sedangkan Palapa A-2 berakhir pada 1984.

Namun, saat itu pemerintah Indonesia melalui Perumtel yang kini bernama Telkom telah mengantisipasi umur satelit tersebut jauh-jauh hari dan sudah memikirkan penggantinya yaitu Palapa B-1 yang diluncurkan pada 17 Juni 1983.

Karena suatu masalah, maka satelit Palapa B1 berumur pendek yaitu hanya dua tahun, untungnya pemerintah sudah menyiapkan Palapa B-2 yang kemudian diluncurkan pada 2 Februari 1984.

Namun, satelit tersebut bermasalah lagi, sehingga tidak masuk pada orbitnya dan kemudian hilang.

Pemerintah pun segera meluncurkan satelit pengganti Palapa B2P pada 21 Maret 1987 dan masuk pada slot orbit 113 derajat Bujur Timur (BT). Satelit B2 yang hilang kemudian ditemukan kembali, kemudian diluncurkan dengan nama Palapa B2R menempati slot orbit 108 derajat BT pada 14 April 1990.

Guna memenuhi kebutuhan nasional, maka pada 14 Mei 1992, diluncurkan juga satelit Palapa B4 dan berada pada slot 118 derajat BT. Setelah itu, Indonesia berturut-turut meluncurkan satelit Palapa C-1 pada 31 Januari 1996 dan langsung menempati slot 113 derajat BT yang kemudian digantikan Palapa C-2 pada Mei 1996.

Selanjutnya karena kebutuhan dan permintaan pasar yang tinggi terhadap akses data dan komunikasi, maka Telkom meluncurkan satelit Telkom-1 pada 13 Agustus 2005 menyusul kemudian satelit Telkom-2 yang diluncurkan dari tempat yang sama pada Februari 2006 pada slot 118 derajat BT.

Bicara masalah satelit dalam kaitannya dengan harga diri suatu bangsa, Indonesia pernah kehilangan salah satu aset yang sangat berharga, yaitu slot satelit yang dinotifikasikan ke International Telecommunication Union (ITU). Tak tanggung-tanggung, kita sempat kehilangan 3 slot satelit!

Sebenarnya tidak perlu diperdebatkan siapa sesungguhnya yang harus beratnggung jawab, apakah pemerintah yang lalai mengingatkan operator penyelenggara satelit, atau kah operator itu yang memang nyata-nyata lalai dan tidak mau bertanggungjawab.

Indosat misalnya, merupakan pengelola dua slot satelit yangs empat hilang, yaitu 113 derajat BT dan 150,5 derajat BT. Terakhir kita mendengar ke-3 slot tersebut sudah dapat diselamatkan lagi oleh pemerintah.

Dan yang menjadi masalah adalah, akankah pemerintah kembali menyerahkan slot yang membawa identitas dan harga diri bangsa di dunia internasional itu kepada operator yang telah gagal mengelolanya dan akhirnya terlepas?

Pertanyaan ini kembali muncul karena sejak diselamatkan kembali pada November 2007, janji pemerintah yang akan melaksanakan tender pengelolaan slot tersebut tak kunjung terlaksana. Indosat sebagai pengelola dua slot itu sebaiknya tidak diizinkan mengikuti tender tersebut.

Pemerintah jangan sampai melakukan kesalahan yang sama dengan menyerahkan pengelolaan slot kepada operator yang tidak mampu melakukannya. Indosat mengaku tak lagi mampu menginvestasikan pengadaans atelit baru yang relatif cukup mahal.

Lalu, mengapa tender tak kunjung dilaksanakan? Lalu selama periode November sampai sekarang siapa sebenarnya yang mengelola slot tersebut? Apakah pemerintah atau pengelola slot lama? Lalu bagaimana pendapatan yang diperoleh dari penyediaan jasa dari satelit yang berada di ketiga slot tersebut? Karena bila pemilik lama masih memanfaatkannya untuk bisnis jelas itu illegal.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tak pernah dapat dijawab pemerintah sampai sekarang. (arif.pitoyo@bisnis.co.id)

foto:www.itc.nl

Tuesday, July 1, 2008

TI Indonesia di Persimpangan Jalan

Arif Pitoyo

Wacana mengenai penerapan e-government di Indonesia seakan tidak ada habisnya. Wacana itu sudah mulai digelontorkan sejak 2002 dan sampai sekarang belum terimplementasi secara penuh di semua sektor, apalagi sampai terintegrasi. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang tadinya diharapkan menjadi salah satu pemicu digitalisasi pemerintahan RI ternyata hanyalah sebatas di atas kertas saja.

Hal itu lebih disebabkan budaya atau kultur pejabat di Indonesia yang enggan menerima perubahan. Mungkin, dengan digitalisasi maka mereka gak bisa lagi memanipulasi data. Mungkin, dengan digitalisasi, mereka jadi gak bisa manipulasi keuangan, korupsi, penyelewengan proyek-proyek, dan lainnya.

Teknologi informasi di Indonesia kini sepertinya hanya layak diperdebatkan dan diperbioncangkan di kafe-kafe, hotel-hotel, dan seminar-seminar, tetapi sangat jauh dari penerapan nyata di lapangan. Sistem tersebut pernah diujicobakan pada Pemilu 2004 yang lalu, tetapi sangat jauh dari yang diharapkan. Justru metode quick account yang relatif masih manual malah sangat diminati dan jadi acuan utama.

TI di Indonesia seakan berada di persimpangan jalan, seakan tak ada yang perduli lagi. Para pakar dan kalangan akar rumput yang diharapkan mampu mengubah wajah dunia TI di Indonesia malah seakan saling berseberangan. Antara Budi Rahardjo, Onno W. Purbo, Bob Hardian, Heru Sutadi, Eko Indrajit, Sammy Pangerapan, dan Heru Nugroho, mana pernah duduk dalam satu meja?

Saya berfikir, bila suatu saat mereka bahu-membahu membangun citra TI Indonesia di dalam negeri dan dunia internasional, maka alangkah besarnya bangsa ini suatu hari kelak.

Bila itu terjadi, Microsoft pun akan segan masuk ke Indonesia, vendor Ti juga malu-malu untuk memasarkan produknya. Sebab.... produk TI dari Indonesia lebih berkualitas dan berdaya saing, software open source di Indoensia juga lebih baik dan lengkap dari produk Windows, dan Sdm dari Indonesia jauh lebih bermutu dari SDM dari AS, India, dan lainnya.

Kembali kepada UU ITE, pemerintah sepertinya hanya terpaku pada masalah-masalah pornografi, di mana hal itu sudah diatur dalam KUHP dan hukum positif di negeri ini. Mengurusi masalah pornografi yang sudah jelas dilarang hanyalah membuang-buang waktu. Pemerintah seakan lupa bahwa mengurusi masalah pemblokiran kartu kredit dari Indonesia dan perjuangan pembukaan transaksi e-commerce dari Indonesia jauh lebih berguna bagi masyarakat Indonesia.

Sebab, sudah lima tahun belakangan ini, transaksi dari Indonesia selalu ditolak oleh PayPal di AS dan negara-negara di Eropa. UU ITE juga sebenarnya sangat bermanfaat untuk membentuk e-government dan e-Indonesia. Teknologi Informasi mungkin hanya menyentuh beberapa kalngan saja, itu karena sikap konsumtif kebanyakan masyarakat dan kekurangpedulian akan kemajuan TI, atau malah bahkan

Pelaku usaha AS masih menolak perdagangan online (e-commerce) dengan Indonesia meski pemerintah sudah melakukan lobi dengan pengelola PayPal dan sudah memiliki UU ITE.

Kredit foto: www.gov.ns.ca