Wednesday, June 2, 2010

Pelajaran dari kasus Temasek

http://web.bisnis.com/artikel/2id2941.html

Pada dasarnya, kepemilikan silang dan monopoli di industri telekomunikasi sudah terjadi sejak 1990-an. Pada saat itu, kepemilikan silang dan telekomunikasi malah diciptakan oleh pemerintah. Pada 1993, di sektor jasa telekomunikasi bergerak, sesuai dengan UU No. 3/1989, harus bekerja sama secara patungan dengan Telkom atau Indosat atau kedua-duanya.
Dari hal tersebut, lahirlah operator-operator seluler seperti Satelindo (patungan antara Indosat, Telkom, dengan operator GSM di Jerman DeTeMobil) dan Telkomsel (patungan antara Telkom, Indosat, PTT Telecom Netherlands dan Setdco Megacell Asia).
Hal yang berbeda dilakukan XL, karena operator tersebut lahir tanpa ada dua perusahaan incumbent baik Telkom dan Indosat di dalamnya, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 3/1989.
Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang menilai Temasek Holdings Pte Ltd telah melanggar UU Antimonopoli dan memiliki kepemilikan silang di dua perusahaan telekomunikasi Indonesia pada 19 November 2007 adalah suatu hal tersendiri, karena pada saat itu sudah berlaku UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Temasek merupakan grup perusahaan asal Singapura yang menguasai Telkomsel (melalui Singtel) sebesar 35% dan Indosat (melalui STT Telemedia) sekitar 42%.
Seperti diketahui, vonis KPPU terhadap Temasek yaitu grup perusahaan tersebut harus melepas saham di Telkomsel atau Indosat paling lambat 2009. Pelepasan saham dilakukan dengan cara masing-masing pembeli dibatasi pembeliannya 5% dari total saham yang dilepas.
Selain itu, Temasek juga dibebani membayar denda masing-masing terlapor Rp25 miliar dan harus melepas hak suara dan hak mengangkat direksi dan komisaris di Telkomsel atau Indosat. KPPU juga memvonis Telkomsel harus menurunkan tarif selular sekurang-kurangnya 15% dari tarif berlaku saat itu.
Pada saat itu, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) bahkan menilai tidak ada persaingan di industri telekomunikasi, karena dua operator yang menjadi bagian dari Temasek menguasai hampir 80% pasar telekomunikasi di Indonesia.
Adanya kesepakatan tarif atau pun kesepakatan strategi pemasaran atau infrastructure sharing tak pelak menjadi isu teknis utama di seputar kepemilikan silang pada saat itu.
Preseden negatif
Bagaimana kondisi saat ini? Anggota BRTI Heru Sutadi mengingatkan kasus yang menimpa Temasek bisa menjadi preseden negatif bagi industri telekomunikasi di Indonesia.
“Kepemilikan silang tidak berarti kepemilikan silang secara langsung, tetapi juga bisa dalam satu grup atau holding,” ujarnya kepada Bisnis.com.
Menurut dia, meski dimiliki secara silang, tetap harus ada kompetisi, dan jika tidak ada kompetisi seperti pengaturan tarif, maka KPPU bisa masuk untuk mengevaluasi dan menyelidiki.
Saat ini, telah terjadi konsolidasi atau merger tidak langsung antara PT Mobile-8 Telecom dengan PT Smart Telecom (melalui Sinar Mas Group).
Meski pada akhirnya yang membeli adalah induknya, tetap saja Sinar Mas Group (SMG) melalui PT Gerbangmas Tunggal Sejahtera (GTS) sebesar 5% tak bisa dilepaskan dari Smart Telecom.
Posisi Smart Telecom-meski tidak secara langsung-bakal mewarnai setiap langkah strategis yang dilakukan Mobile-8. Lisensi ganda yang dimiliki Mobile-8, berupa seluler dan fixed wireless access (FWA) juga diprediksi makin memperlincah langkah gerak Smart dalam industri telekomunikasi di Indonesia.
Apalagi, Mobile-8 menggunakan infrastruktur milik PT Moratelindo. Moratelindo sendiri merupakan mitra strategis bagi Smart Telecom yang juga merupakan penyedia jaringan serat optik Smart Telecom.
Dirut Moratelindo Galumbang Menak bahkan mengungkapkan pihaknya secara tidak langsung memiliki saham di Mobile-8 berupa jaringan infrastruktur yang juga dipakai oleh Smart Telecom.
Meski dibantah oleh Dirut Mobile-8 Merza Fachys, apabila regulator tidak mencermati hal ini, maka pola semikonsolidasi seperti ini bisa mengarah kepada kesepakatan tarif atau kartel karena adanya kepemilikan silang.
Merza menegaskan pihaknya tidak melanggar aturan kepemilkan silang karena kedua operator bukanlah pemimpin pasar dan tidak menguasai pangsa sampai lebih dari 50%.
Konsolidasi di segmen CDMA (code division multiple access) malah disebut-sebut akan berkembang ke pemain FWA (telepon tetap nirkabel) lainnya, yaitu PT Bakrie Telecom Tbk (Esia) dan PT Telkom Tbk (Flexi).
Meski dibantah oleh Direktur Layanan Korporasi PT Bakrie Telecom Tbk Rakhmat Junaidi, kabar tersebut cukup kencang. “Esia masih bisa tumbuh secara organik, tidak perlu melakukan aksi merger.”
Pola kerja sama dalam bentuk infrastruktur bersama juga dilakukan antara PT XL Axiata dengan Axis. Meski tidak bisa disebut sebagai kepemilikan silang, tetapi pola kerja sama tersebut harus tidak disertai dengan pengaturan tarif bersama atau pengaturan oleh operator tertentu.
Kasus Temasek mungkin bisa dijadikan pelajaran bagi operator dan regulator untuk menjaga iklim kompetisi supaya tetap sehat. Peluang untuk ke arah kartel, monopoli, dan kepemilikan silang masih terbuka lebar, apalagi seiring dengan era konvergensi dan konsolidasi dalam beberapa tahun ke depan.
Ditjen Postel dan BRTI yang bertanggung jawab dari sisi teknis atau lisensi jangan sampai kecolongan dalam hal-hal seperti kartel tarif dari pihak-pihak yang berafiliasi, lisensi yang diperjualbelikan, dan pola pemanfaatan infrastruktur terutama dalam kaitannya dengan lisensi modern. (api)

No comments: