Thursday, November 27, 2008

Tender USO, apkah sekadar basa basi?




Oleh Arif Pitoyo


Pasca kemenangan Ditjen Postel atas PT Asia Cellular Satellite (ACeS) di Pengadilan Tata Usaha Negara, instansi tersebut cepat-cepat menggelar proyek telepon perdesaan atau universal service obligation (USO). Begitu cepatnya penggelarannya sampai-sampai hal-hal yang menjadi masalah krusial dan pangkal persoalan pada tender akhir tahun lalu pun minim perbaikannya.
Kali ini, USO digelar di tujuh blok meliputi Blok 1 yang mencakup NAD, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, Blok 2 Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung, Blok 3 Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, Blok 4 Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara, Blok 5 Papua dan Irian Jaya Barat, Blok 6 Bali, NTB, dan NTT, dan Blok 7 Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Propinsi DIY, dan Jawa Timur.
Masalah penomoran dan teknologi yang bisa dipakai untuk USO hingga persoalan Fundamental Technical Plan (FTP) masih belum terselesaikan. Pemerintah sepertinya sengaja mengebut sebelum periode masa kabinetnya berakhir. Image 'kejar setoran' pun tak terhindarkan lagi, bahkan sekadar mempertanyakan alasan mengapa ACeS tidak mengajukan banding ke tingkat Mahkamah Agung pun hanya sekadar angin lalu saja, dan sudah tidak perlu lagi.
Seperti diketahui, pemerintah pernah mengungkapkan pemenang USO harus membangun jaringan tetap kabel hingga ke perdesaan. Namun kali ini, sebagaimana peserta yang lolos seleksi, terlihat dengan teknologi seluler dan satelit pun, peserta diloloskan tahapan prakualifikasi.
“Pemenang USO nantinya bisa memanfaatkan jaringan dan teknologi yang dimilikinya. Bila punyanya seluler ya pakai seluler, bila satelit ya pakai satelit,” ujar Santoso Serad, Kepala Badan Telekomunikasi dan Informasi Pedesaan (BTIP).
Sebagaimana ACeS dahulu, yang diloloskan hingga ke tahapan pemberian penawaran harga, tetapi tiba-tiba terganjal masalah teknologi di tengah jalan.
Selanjutnya masalah penomoran juga memicu pertanyaan tersendiri, karena antara seluler, satelit, dan jaringan tetap memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Sementara tender-tender USO sebelumnya tak pernah mempermasalahkan hal tersebut, padahal UU Telekomunikasi No. 36/1999 sudah berlaku pada tender USO 2003 dan 2004.
Hal tersebut dijawab pemerintah dan panitia seleksi dengan rencana pemberian lisensi jaringan tetap kabel bagi pemenang USO.
Masalah datang lagi, karena sesuai dengan lisensi modern, pemberian sebuah lisensi telekomunikasi harus melalui pemberian komitmen pembangunan jaringan tetap setiap tahunnya.
Bila pemenangnya datang dari operator seluler, maka lisensi tersebut akan sia-sia saja, karena dana USO tentunya hanya untuk memperkuat dan melanjutkan jaringan yang sudah ada saja.
Dominasi Telkom
Masalah teknologi, penomoran, dan hal-hal teknis lainnya mungkin bisa diselesaikan sambil jalan saja. Namun munculnya dominasi Grup Telkom di hampir semua blok yang ditenderkan menimbulkan banyak pertanyaan. Bahkan di Blok 6 yang meliputi Bali, NTB, dan NTT semua peserta tender yang lolos merupakan anggota grup perusahaan tersebut.
Mungkin ini merupakan era monopoli gaya baru, meski berulangkali Ketua Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan Santoso Serad menampik hal tersebut karena bisa menjadi tidak monopoli bila Telkom tidak menang di semua blok.
Nyatanya, hanya ada satu perusahaan, yaitu PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia yang tidak memiliki afiliasi dengan BUMN telekomunikasi tersebut.
Melihat hal tersebut, maka kecil kemungkinannya tidak terjadi monopoli di USO. Dana USO sendiri berasal dari 1,25% pendapatan kotor penyelenggara jaringan, baik yang besar maupun yang kecil. Dengan hadirnya raksasa Telkom di tender USO, maka bisa dikatakan operator kecil mensubsidi Telkom untuk membangun jaringannya di seluruh Indonesia. Padahal sesuai dengan amanat UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi, maka sudah kewajiban Telkom lah membangun infrastruktur di seluruh pelosok negeri dengan biaya sendiri.
Sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda, Telkom sudah banyak dibantu dalam hal pengadaan jaringan. Bahkan mungkin hampir seluruh jaringan Telkom yang tertanam datang dari permodalan pemerintah zaman kolonial hingga pemerintah RI sampai awal 1990-an.
Karena keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah maupun operator telekomunikasi, maka mulai 1993, pembangunan infrastruktur telekomunikasi khususnya jaringan telekomunikasi tetap (fixed wireless) lokal saat itu dilakukan melalui pengikutsertaan modal asing.
Sekarang, grup tersebut mencoba mencari subsidi lain dalam membangun infrastruktur di daerah dengan mengikuti USO, dan sayangnya, panitia sepertinya tidak peka bahwa industri telekomunikasi pernah mengalami masa monopoli yang begitu kuat, saat di mana interkoneksi dipersulit, sistem kliring dikuasai, hingga masyarakat lah yang dikorbankan akibat dikenai tarif tinggi karena operator di luar Telkom harus membayar biaya terminasi dan transit yang tidak kecil.
Masyarakat berharap saat kelabu tersebut tidak terulang kembali dan keran liberalisasi benar-benar dibuka selebar-lebarnya.
Masalah juga timbul saat dibukanya penawaran tender karena pengaturan masalah harga pasti terjadi pada saat dalam satu blok berisi Grup Telkom. Yang paling signifikan adalah bila Telkom bertarung dengan Telkomsel dalam satu blok, karena Dirut Telkom Rinaldi Firmansyah juga menjabat sebagai komisaris utama di Telkomsel.
Apalagi, akhirnya pemennag tender USO di .lima blok adalah melalui penunjukkan langsung, yang artinya dapat dipastikan Grup Telkom lah pemenangnya.
Bila pada akhirnya Telkom sebagai entitas maupun grup yang memenangi semua blok, maka saya hanya bisa berfikir, “Buat apa ada tender USO? Apakah ini hanya sekadar basa-basi?”(arif.pitoyo@bisnis.co.id)

Thursday, November 6, 2008

Ditjen Postel jamin tak curangi tender USO


Oleh Arif Pitoyo

sudah dimuat di http://www.bisnis.com/


JAKARTA (bisnis.com): Pemerintah menjamin penggelaran tender universal service obligation/USO dilaksanakan secara transparan dan membantah telah mengantongi perusahaan tertentu untuk menjadi pemenangnya.
Kabag Umum dan Humas Ditjen Postel Gatot S. Dewa Broto mengatakan panitia tender tidak mengantongi nama operator tertentu untuk jadi pemenangnya karena penyelenggaraan telepon perdesaan melibatkan dana yang besar.
“Ditjen Postel berusaha sedapat mungkin terhindar dari kejaran KPK [Komisi Pemberantasan Korupsi] dengan melaksanakan tender USO seadil dan setransparan mungkin,” ungkapnya kepada bisnis.com, hari ini.
Ditjen Postel meloloskan enam perusahaan dalam prakualifikasi tender USO, di mana tiga diantaranya merupakan Grup Telkom meliputi PT Telkom Tbk, PT Telkomsel, dan Pt Citra Sari Makmur.
Gatot mengungkapkan pihaknya sudah berkonsultasi dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait banyaknya perusahaan dari satu grup yang lolos prakualifikasi tender.
Seorang eksekutif perusahaan yang menolak melanjutkan tender USO mengungkapkan pemerintah sepertinya akan mengarahkan tender pada satu pemenang tertentu.
“Pemerintah juga tidak konsisten dengan aturan USO yang dulunya harus penyelenggara jaringan tetap,” katanya.(api)

Wednesday, November 5, 2008

Telkom diduga paksa diler aktifkan Flexi


Oleh Arif Pitoyo

telah dimuat di http://www.bisnis.com/


JAKARTA (bisnis.com): PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk diduga memaksa authorized dealer untuk melakukan aktivasi nomor Flexi dengan insentif tertentu untuk mendongkrak jumlah pelanggan dan pangsa pasarnya.
Praktisi telekomunikasi dari PT Emslanindo Pratista Mahardika—distributor kartu prabayar-- S. Teguh, mengatakan berdasarkan pengakuan dari sejumlah diler Flexi, terdapat program aktivasi paksa terhadap 3,3 juta kartu perdana produk Telkom tersebut kepada diler kartu prabayar dengan sejumlah imbalan tertentu.
“Bila insentif yang diberikan adalah Rp10.500 per kartu yang aktif, maka untuk 3,3 juta kartu, operator tersebut harus mengeluarkan anggaran hingga Rp3,5 miliar,” ujarnya kepada bisnis.com, hari ini.
Saat ini, jumlah pelanggan layanan Telkom Flexi telah mencapai lebih dari delapan juta orang, sementara jaringan telepon kabel sekitar 8,5 juta sambungan.
Ketika dikonfirmasi, VP Marketing and Public Communication Telkom Eddy Kurnia membantah hal tersebut.
“Tidak benar Telkom memaksa authorized dealer untuk melakukan aktivasi. Kami hanya mendorong diler untuk melaksanakan penjualan dengan target tertentu dan yang dihitung adalah yang aktif saja,” ungkapnya.
Menurut dia, memang benar jika target tercapai dijanjikan ada insentif khusus, tetapi jika tidak mencapai tidak diberikan insentif tersebut dan itu wajar saja dalam mendorong tercapainya penjualan.(api)

PJI akan pangkas bandwidth Internet pelanggan


Oleh Arif Pitoyo

telah dimuat di http://www.bisnis.com/

JAKARTA (bisnis.com): Penyelenggara jasa Internet (PJI) akan memangkas alokasi bandwidth Internet pelanggan menyusul naiknya harga komponen utama akses komunikasi data itu hingga 15% karena pengarus krisis global.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Sylvia W. Sumarlin menegaskan pelanggan tetap membayar sesuai dengan kontrak awal tetapi alokasi bandwidth-nya hanya akan diberikan sesuai utilisasi atau pemanfaatannya.
“PJI memang biasanya melebihkan alokasi bandwidth dari kontrak awal sebagai cadangan apabila terjadi peningkatan kapasitas secara tiba-tiba. Tetapi sejak krisis ekonomi terjadi, kelebihan bandwidth itu terpaksa kami pangkas,” ujarnya kepada bisnis.com, hari ini.
Bandwidth merupakan komponen utama akses komunikasi data dengan persentase mencapai 50%.
Sylvia menolak bila disebutkan penyelenggara jasa Internet mengurangi kapasitas milik pelanggannya mengingat bandwidth yang diambil kebanyakan menganggur atau tidak terpakai.
Terkait dengan target jumlah pengguna hingga akhir tahun ini, asosiasi tersebut mematok 30 juta pengguna Internet dengan terbanyak pada segmen pendidikan dan perkantoran.
Menurut Sylvia, pihaknya tidak merasa terancam dengan tren perkembangan Internet melalui ponsel mengingat segmen yang ditembak masingt-masing adalah berbeda.

Regulasi SMS kampanye ditetapkan bulan ini


Oleh Arif Pitoyo
Telah dimuat di http://www.bisnis.com/

JAKARTA (bisnis.com): Departemen Komunikasi dan Informatika segera menetapkan regulasi mengenai kampanye melalui layanan pesan singkat (SMS) bulan ini.
“Saat ini telah dibahas di Bagian Hukum Ditjen Pos dan Telekomunikasi sehingga diharapkan dapat diterbitkan bulan ini juga,” ujar anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia *BRTI) Heru Sutadi kepada bisnis.com, hari ini.
Menurut dia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyetujui adanya regulasi yang mengatur layanan SMS kampanye, tetapi regulator akan lenih mengatur soal penggunaan layanan telekomunikasinya, agar tidak mengganggu layanan operator lainnya, terutama terkait dengan kesiapan jaringannya.
Dalam rancangan peraturan Menkominfo tersebut diungkapkan bahwa basis data pengguna yang ada di operator tetap rahasia, tidak boleh dipakai partai politik atau kandidat pres/wapres.
Regulasi itu juga mengatur bahwa kerja sama operator atau penyedia content dengan partai politik atau kandidat presiden/wapres dilakukan oleh pelaksana kampanye yang terdaftar di KPU.
Heru menambahkan parpol dan kandidat presiden/wapres juga harus tetap mematuhi ketentuan larangan kampanye sebagaimana tertuang dalam UU Pemilu/UU Pilpres, termasuk larangan berkampanye di masa tenang.

Wednesday, October 29, 2008

BRTI, beriak hanya di tepian





Oleh Arif Pitoyo



Dua periode sudah lembaga yang bernama Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia atau BRTI itu berkiprah di ranah telekomunikasi di Indonesia. Kehadirannya memang tidak terlalu terasa bagi masyarakat luas, tetapi sedikit banyak kiprahnya memang cukup berarti bagi perkembangan industri telekomunikasi di Tanah Air.
Selama ini, BRTI telah meletakkan dasar-dasar kebijakan telekomunikasi di Indonesia menuju era liberalisasi, meski di akui, masih semi monopolistik.
Betapa tidak? Liberalisasi semu bisa dilihat dari masih dimonopolinya kode akses oleh Telkom, meski diakui itu juga merupakan kesalahan Inodsat yang tak juga membangun jaringan tetap kabelnya.
Monopoli jaringan tetap Telkom menyebabkan semua operator yang akan melakukan panggilan interlokal harus membayar biaya terminasi ke operator incumbent tersebut. Hal ini menyebabkan biaya yang ditanggung masyarakat pengguna masih sangat besar.
Mengenai masalah ini, BRTI ternyata tidak terlalu sakti dan hanya bisa membuka kode akses untuk Indosat di Balikpapan. Padahal, sebentar lagi akan segera hadir operator SLJJ baru yang tentunya butuh kode akses juga.
BRTI juga tidak memiliki senjata regulasi mematikan untuk memberikan efek jera kepada operator telekomunikasi, terutama yang merugikan pelangganya. Tengok saja, penyebaran data pelanggan suatu operator besar kepada pihak ketiga hanya dianggap angin lalu oleh lembaga yang dibentuk berdasarkan UU tersebut.



Lalu masalah tumbangnya jaringan sejumlah operator beberapa tahun lalu dan tahun ini juga tak tersentuh sanksi BRTI. Sanksi denda yang sejak 2 tahun lalu sudah disebut-sebut Menkominfo Sofyan A. Djalil hanyalah janji dan retorika biasa saja, dan hanya sebagai senjata regulator itu untuk menakut-nakuti penyelenggara. Namun kenyataannya, operator bergeming dan sangat bernyali di hadapan para regulator yang masih muda usia tersebut.
Kecilnya pengaruh dan wibawa BRTI juga bisa dilihat minimnya pimpinan tertinggi operator untuk bertemu dan bertatap langsung dengan regulator dalam suatu suasana yang resmi dan formal menyangkut sebuah kasus.



BRTI juga tak punya nyali menghadapi sikap operator yang jelas-jelas membangkang dan mengangkangi keputusan menteri terkait dengan sistem kliring trafik telekomunikasi.
Keputusan lelang yang jelas-jelas sudah diumumkan sejak 2004 sampai sekarang tak kunjung terlaksana. BRTI juga tak bisa bersikap tegas terhadap PT Pratama Jaringan Nusantara yang hingga kini belum juga menggelar SKTT. BRTI tak bisa mengambil jalan tengah dan solusi yang strategis, terutama menyangkut keberadaan PT PJN yang hingga kini masih dipertanyakan keabsahan hasil lelangnya, karena disinyalir merupakan penunjukan langsung oleh Dirjen Postel saat itu.



Itu lah BRTI, rekam jejaknya hanya terdengar di tepian saja, dan belum bisa menggapai gelombang besar di tengah, karena tentunya benturan kebijakan yang berbau politis akan menghadangnya, dan lembaga itu tidak memiliki senjata untuk menangkisnya.
Menjelang terpilihnya para anggota BRTI yang baru, seharusnya pemerintah dan DPR memperkuat landasan hukum lembaga tersebut dan segera melengkapinya dengan senjata regulasi agar memiliki kekuatan menjatuhkan sanksi.
Selamat bekerja BRTI

Qtel permainkan regulasi telekomunikasi di Indonesia



Oleh Arif Pitoyo



Baru-baru ini, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Ahmad Fuad Rahmany dan Menkominfo Mohammad Nuh menyatakan Qtel boleh memiliki saham di Indosat sampai 65%.
Pernyataan ini saya nilai sangat-sangat aneh dan bisa menjadi bola panas pemerintah di kemudian hari. Selain melanggar ketentuan Daftar Negatif Investasi (DNI), pernyataan ini jelas sangat jauh dari nilai-nilai nasionalisme, apalagi saat ini Indonesia tengah merayakan Hari Sumpah Pemuda.
Menkominfo dan Ketua Bapepam hanya ingin menunjukkan bahwa aset negara bisa dijual ke asing. Bukannya membeli saham asing di Indosat seperti yang diharapkan sebagian masyarakat Indonesia dan cita-cita pendiri bangsa, ini malah merelakan asing untuk menjadi mayoritas penuh di bekas BUMN telekomunikasi tersebut.
Bagaimana tidak? Dalam Perpres mengenai Daftar Negatif Investasi, Indosat sebagai pemilik lisensi jaringan tetap hanya boleh dimiliki asing hingga 49%, sebagaimana Telkom maupun Bakrie Telecom (operator Esia).
Perpres tersebut tidak berlaku bagi investasi lama, tetapi sangat mengikat kepada investasi asing baru. Jadi selayaknya Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia langsung mencabut lisensi jaringan tetap Indosat bila Qtel sudah menguasai saham sampai 65%.
Lisensi jaringan tetap di Indosat juga selama ini lebih banyak menganggur dan tidak dimanfaatkan secara optimal oleh operator tersebut. Bayangkan saja, dis aat operator lain seperti Esia dan Telkom sudah memiliki pelanggan lebih dari 7 juta orang, Indosat masih berkutat pada jumlah pelanggan jaringan tetap 600.000, itu pun semuanya nirkabel, bukannya kabel seperti lisensi yang diberikan.
Sangat disayangkan bila telekomunikasi yang memiliki nilai bisnis hingga Rp60 triliun setiap tahunnya lebih banyak dinikmati asing. Setiap pulsa dan detik yang kita manfaatkan untuk menelpon, hampir seluruhnya disetorkan ke asing.

Tuesday, October 28, 2008

Qtel permainkan regulasi telekomunikasi di Indonesia



Oleh Arif Pitoyo
Baru-baru ini, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Ahmad Fuad Rahmany dan Menkominfo Mohammad Nuh menyatakan Qtel boleh memiliki saham di Indosat sampai 65%.
Pernyataan ini saya nilai sangat-sangat aneh dan bisa menjadi bola panas pemerintah di kemudian hari. Selain melanggar ketentuan Daftar Negatif Investasi (DNI), pernyataan ini jelas sangat jauh dari nilai-nilai nasionalisme, apalagi saat ini Indonesia tengah merayakan Hari Sumpah Pemuda.
Menkominfo dan Ketua Bapepam hanya ingin menunjukkan bahwa aset negara bisa dijual ke asing. Bukannya membeli saham asing di Indosat seperti yang diharapkan sebagian masyarakat Indonesia dan cita-cita pendiri bangsa, ini malah merelakan asing untuk menjadi mayoritas penuh di bekas BUMN telekomunikasi tersebut.
Bagaimana tidak? Dalam Perpres mengenai Daftar Negatif Investasi, Indosat sebagai pemilik lisensi jaringan tetap hanya boleh dimiliki asing hingga 49%, sebagaimana Telkom maupun Bakrie Telecom (operator Esia).
Perpres tersebut tidak berlaku bagi investasi lama, tetapi sangat mengikat kepada investasi asing baru. Jadi selayaknya Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia langsung mencabut lisensi jaringan tetap Indosat bila Qtel sudah menguasai saham sampai 65%.
Lisensi jaringan tetap di Indosat juga selama ini lebih banyak menganggur dan tidak dimanfaatkan secara optimal oleh operator tersebut. Bayangkan saja, dis aat operator lain seperti Esia dan Telkom sudah memiliki pelanggan lebih dari 7 juta orang, Indosat masih berkutat pada jumlah pelanggan jaringan tetap 600.000, itu pun semuanya nirkabel, bukannya kabel seperti lisensi yang diberikan.
Sangat disayangkan bila telekomunikasi yang memiliki nilai bisnis hingga Rp60 triliun setiap tahunnya lebih banyak dinikmati asing. Setiap pulsa dan detik yang kita manfaatkan untuk menelpon, hampir seluruhnya disetorkan ke asing.

Thursday, October 23, 2008

Astro dan Konflik yang Menyertainya Sejak 2005


Oleh: Arif Pitoyo

Saya sudah mengikuti kasus Astro sejak 2005, saat di mana Sofyan Djalil baru saja dilantik sebagai Menkominfo. Pertanyaan pertama yang muncul sesaat setelah acara serah terima jabatan Menkominfo dengan Syamsul Mu'arif dari saya adalah bagaimana pandangannya mengenai masuknya Astro ke Indonesia.

Saat itu ada raut muka dan pandangan kaget dari Sang Menteri karena pertanyaan itu dianggap terlalu tiba-tiba dan mendadak dan dia juga baru menjabat posisi tersebut belum lama.
Masuknya Astro ke Indonesia memang sangat kontroversial dan banyak menabrak hukum dan regulasi di Tanah Air.

Setelah gagal masuk melalui UU Penyiaran No. 32/2002 tentang Penyiaran, operator televisi berbayar asal Malaysia yang di Indonesia menggandeng Grup Lippo itu kemudian masuk melalui UU Telekomunikasi No. 36/1999.

Adalah sangat aneh juga bila Astro kemudian mendapatkan izin dari Direktorat Pos dan Telekomunikasi untuk masuk ke Indonesia mengingat sesuai UU Telekomunikasi, satelit yang bekerja dan melayani konsumen di Indonesia harus memiliki hak labuh di Indonesia.
Astro, yang menggunakan satelit Measat-2 dan 3 sama sekali tidak memenuhi persyaratan tersebut. Meski tidak menuduh apakah ada “sesuatu” dalam proses perizinan tersebut, namun tak ada salahnya bila pihak berwenang menyelidiki hal tersebut.

Proses perizinan dan masuknya Astro terjadi pada saat Dirjen Postel dijabat oleh Djamhari Sirat, sementara Dirjen Postel sekarang, Basuki Yusuf Iskandar, baru menjabatnya sekitar Juni 2005.
Kemudian bila dilihat dari sisi UU Penyiaran, operator tersebut tidak memenuhi persyaratan kepemilikan saham, bahkan diduga sampai saat ini, yaitu kepemilikan asing lebih dari 25%. Untuk membuktikannya, pihak yang berwenang mungkin bisa mengecek arsip mengenai besarnya pemilik dan besaran sahamnya Astro yang masih tersimpan di Departemen Hukum dan HAM.

Bukti lain bahwa prizinan Astro bermasalah adalah masuknya kasus perizinan Astro ke Bareskrim Polri, namun hibngga saat ini hasil penyelidikan yang terkesan dilakukan secara diam-diam hasilnya tidak pernah diumumkan ke publik.


Maka sangat aneh bila ada pernyataan bahwa Depkominfo berpeluang mengajukan pencabutan izin siaran PT Direct Vision (PT DV) selaku operator tv berbayar Astro kepada pengadilan negeri, karena yang seharusnya bertanggung jawab atas penberian izin tersebut adalah departemen tersebut.


foto:ey.com

Wednesday, September 10, 2008

Sejarah Telekomunikasi di Indonesia

Oleh : Arif Pitoyo

Pada dasarnya telekomunikasi telah dikuasai asing sejak zaman kolonial yaitu saat di mana Telkom baru berdiri. Indosat pun sejak awal lahirnya pada 1967 tak luput dari peran pemodal asing. Baru pada 1980 pemerintah Indonesia mengambil alih seluruh saham Indosat, sehingga menjadi BUMN.

Namun, ternyata asing kembali lagi bermain pada 1993. Saat itu, kebijakan pemerintah RI menempatkan Telkom dan Indosat sebagai dua penyelenggara telekomunikasi lokal yang melakukan praktik monopoli.

Karena keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah maupun operator telekomunikasi, maka pembangunan infrastruktur telekomunikasi khususnya jaringan telekomunikasi tetap (fixed wireless) lokal saat itu dilakukan melalui pengikutsertaan modal asing.

UU No. 3/1989 tentang Telekomunikasi dan PP No. 8/1993 serta Kepemenparpostel No. 39/1993 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi Dasar memungkinkan kerja sama antara Telkom atau Indosat dengan perusahaan lain dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi dasar.

Ketiga regulasi itu menetapkan bahwa kewajiban kerja sama antara badan penyelenggara dan badan lain dalam penyelenggaraan telekomunikasi dasar dapat berbentuk usaha patungan (join venture), kerja sama operasi (KSO) atau kontrak manajemen (KM).

Memang benar seperti dinyatakan dalam PP No. 20/1994 tentang pemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka PMA: penanaman modal bidang usaha telekomunikasi dapat dilakukan oleh penanam modal asing patungan asal kepemilikan peserta Indonesia minimal 5% dari seluruh modal yang disetor. Akan tetapi, dalam schedule of commitment traktat multilateral WTO, Indonesia menyatakan bahwa kepemilikan asing atas saham penyelenggara jasa telekomunikasi dasar dapat sampai 35%.

Pada jasa telekomunikasi bergerak, sesuai dengan UU No. 3/1989, dewasa ini penyelenggara jasa telekomunikasi bergerak adalah perusahaan lain baik asing atau lokal yang bekerja sama secara patungan dengan Telkom atau Indosat atau kedua-duanya.

Dari hal tersebut, lahirlah operator-operator seluler baru seperti Satelindo (patungan antara Indosat, Telkom, dengan operator GSM di Jerman DeTeMobil) dan Telkomsel (patungan antara Telkom, Indosat, PTT Telecom Netherlands dan Setdco Megacell Asia)

Hal yang berbeda dilakukan XL, karena operator tersebut lahir tanpa ada dua perusahaan incumbent baik Telkom dan Indosat di dalamnya, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 3/1989.

Mulai dekade 2000-an, banyak bermunculan operator baru baik seluler atau pun telepon nirkabel tetap seperti Mobile-8 Telecom, PT bakrie Telecom, PT Natrindo Telepon Seluler, PT Hutchison CP Telecommunication, PT Smart Telecommunication, dan PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia.

Kebanyakan operator baru tersebut lebih mengandalkan tarif untuk menggenjot pemasaran dibandingkan dengan memperluas dan meningkatkan kualitas jaringan. Sebagian besar malah tidak memiliki base transceiver station melainkan menumpang di menara telekomunikasi milik operator lain yang sudah lama berdiri.

Pada 2004, telah mulai muncul operator 3G, meski pemberian lisensinya sedikit kontroversial. Pemerintah telah memberikan izin secara gratis dengan harapan memperoleh pendapatan secara bertahap seiring berkembangnya operator 3G. Izin layanan 3G pertama diberikan kepada PT Cyber Access Communication (CAC) pada 2003 setelah menyisihkan sebelas peserta lainnya dalam sebuah beauty contest.

CAC yang pada Februari lalu 60% sahamnya diambil alih oleh Hutchinson mendapatkan alokasi pita lebar 15 Mhz. Alokasi frekuensi yang diterima CAC merupakan yang terbesar dibandingkan dengan operator lain.

Lisensi untuk 3G melalui beauty contest ini bisa jadi merupakan yang pertama sekaligus yang terakhir dalam sejarah industri telekomunikasi di Tanah Air. Hal ini karena pemerintah segera membuat kejutan pada kuartal pertama 2004 dengan memberikan lisensi kepada Lippo Telecom dengan pita lebar 10 Mhz.

Sementara pada periode 1999-2003 izin untuk menyelenggarakan layanan telekomunikasi pada spektrum frekuensi layanan generasi ketiga (1.900 Mhz-2.100 Mhz) juga meluncur. Lisensi tersebut diantaranya untuk PT Wireless Indonesia, Indosat Starone, Telkom Flexi, dan Primasel masing-masing dengan pita lebar 5 Mhz.

Izin untuk layanan seluler CDMA-EVDO maupun CDMA-1X inilah yang belakangan menimbulkan tumpang tindih dengan pita frekuensi yang hendak digunakan untuk layanan generasi ketiga Wideband CDMA. Hal ini karena baik 3G dengan teknologi Wideband CDMA dan CDMA menggunakan frekuensi yang saling berkomplementer.

Layanan generasi ketiga Wideband CDMA dalam spektrum frekuensi di Indonesia bekerja pada pita 1.920 Mhz hingga 1.980 Mhz. Sementara CDMA1X bisa beroperasi pada pita 1.930 Mhz hingga 1.990 Mhz. Standar ITU mensyaratkan 3G hanya bisa bekerja pada spektrum yang terbatas yakni 60 Mhz.

Foto:https://www.ubu.org.uk

Tuesday, September 9, 2008

Profil Operator Telekomunikasi di Indonesia

TELKOM


Uraian Singkat

Sebagai operator tertua dan terbesar di Indonesia, tentunya Telkom memiliki jaringan yang sangat luas, baik kabel maupun nirkabelnya. Selain ditunjang infrastrukturnya sendiri, Telkom juga melengkapi infrastruktur selulernya pada diri Telkomsel.

Karena masih menguasai jaringan, maka secara otomatis pelanggan operator ini akan menikmati jaringan yang luas dan berkualitas.

Mulai beroperasi : Zama kolonial Belanda

Teknologi yang digunakan : CDMA dan fixed line

Frekuensi : 800 MHz dan serat optik

Jumlah pelanggan : sekitar 10 juta orang

Pangsa pasar : 75%

Nama produk : Flexi Classy (Pascabayar)

Flexi Trendy (Prabayar)

Telepon rumah

Coverage : 95% wilayah kecamatan di Indonesia


Rekomendasi

Bagi pelanggan rumahan, operator ini memang merupakan pilihan terbaik karena akses sinyalnya pasti stabil, baik untuk percakapan maupun Internet. Namun bagi pengguna nirkabel, Flexi masih memiliki banyak kekurangan, terutama seringnya drop call dan belum jernihnya suara.


- TELKOMSEL

Uraian Singkat

Operator tersebut boleh dibilang merupakan operator seluler terbesar di Indonesia saat ini. Dengan jumlah pelanggan lebih dari separuh pelanggan seluler, dan belanja modal yng terbesar dari operator lainnya, maka Telkomsel muncul sebagai raksasa telekomunikasi di Indonesia.

Pada November 1997, Telkomsel menjadi operator pertama di Asia yag mengenalkan layanan GSM prabayar.

Selain menyediakan layanan seluler 2G, Telkomsel juga menyediakan layanan seluler 3G dan akses data berkecepatan tinggi dalam bentuk Telkomsel Flash.


Mulai beroperasi : 26 Mei 1995

Teknologi yang digunakan : GSM, GPRS, EDGE, WCDMA, HSDPA

Frekuensi : 900/1800 MHz GSM Network

Jumlah pelanggan : 51,3 juta orang (sampai akhir Maret 2008)

Pangsa pasar : 51%

Roaming internasional : 288 operator dan 155 negara

Nama produk : Prabayar (Simpati dan Kartu As)

Pascabayar (Kartu Halo)

Coverage : 95% nasional

Seluruh kecamatan di Sumatra, Jawa, dan

Bali/Nusa Tenggara

Jumlah menara telekomunikasi : 20.884 BTS

Rekomendasi

Dari sisi kualitas, luas jangkauan layanan, dan kehandalan jaringan, Telkomsel memang tak dirgukn lgi. Meski sempat tumbang pada akhir 2006, namun tak mengurangi performa jaringan Telkomsel dalam melayani pelanggannya. Drop call relatif tidak ada, dan keberhasilan pengiriman SMS mencapai 99%.

Namun operator ini juga terkenal memiliki tariff yang mhal dengan margin keuntungan yang paling tinggi dibandingkan dengan operator lainnya. Bila pelanggan tak lagi mempersoalkan tariff, teta[pi lebih mengutamakan kualitas layanan dan jaringan, bisa jadi Telkomsel merupakan pilihan yang tepat.


INDOSAT

Uraian Singkat

Operator seluler terbesar kedua di Indonesia itu termasuk operator yang paling lengkap lisensinya. Selain seluler, Indosat juga memiliki lisensi satelit, FWA, NAP, SLJJ, 3G, dan SLI.

Meski memiliki banyak produk, operator tersebut sangat mengandalkan layanan selulernya. Namun akhir-akhir ini Indosat sangat gencar memasarkan dan meluncurkan berbagai program StarOne.

Indosat termasuk operator seluler yang memiliki tariff promosi dengan perubahan yangsangat cepat dan kreatif. Pengguna bisa melihat hal ini sebagai peluang. Namun demikian, efek tariff murah, bahkan gratis yang ditawarkannya sering berakibat jaringnnya menjadi terganggu. Drop call, panggilan gagal, dan SMS gagal kirim makin sering terjadi akhir-akhir ini. Bahkan belakangan muncul SMS sama yang dikirim berulang-ulang dan mengambl pulsa pengirimnya.

Namun demikian, seperti juga Telkomsel, Indosat memikiki jaringan yang sangat luas di seluruh Indonesia. Kualitas jaringannya secara umum juga masih relatif baik-baik saja.

Mulai beroperasi : 1967

Teknologi yang digunakan : GSM, GPRS, WCDMA, HSDPA, CDMA

Frekuensi : 900/1800 MHz GSM Network

Jumlah pelanggan : 24,5 juta seluler dan 600.000 FWA (akhir

tahun lalu)

Pangsa pasar : 28%

Nama produk : Prabayar (Mentari, IM3, dan StarOne)

Pascabayar (Matrix dan Jagoan)

Coverage : 424 kabupaten atau 96% dari total

kabupaten di Indonesia, dan 2.963 kecamatan atau 55% dari total kecamatan di Indonesia

Jumlah menara telekomunikasi : 9.413 BTS (Akhir tahun lalu) tahun ini

tambah 3.000 BTS

Rekomendasi

Dari sisi kualitas memang masih di bawah Telkomsel, apalagi pasca meleburnya Satelindo, konsolidasi internal Indosat masih belum menyeluruh, baik pada sisi jaringan maupun system tagihannya. Ribut-ribut soal buyback Indosat oleh pemerintah RI pun cukup memengaruhi kinerja operator itu. Tapi, operator ini termasuk kreatif dalam meluncurkan berbagai program yang sangat bermanfaat bagi pengguna, dan tarifnya pun tidak terlalu tinggi. Operator ini sangat cocok untuk pengguna telekomunikasi semua kelas, jangkauan di dalam kota pun sangat merata dan bersinyal kuat.


XL

Uraian Singkat

Operator ini memiliki pertumbuhan cukup fantastis, baik dalam hal jumlah pelanggan maupun cakupan layanannya. XL bahkan bisa saja menyalip Indosat dalam hal pangsa pasar. Dalam hal penarifan dan layanan lainnya, XL juga sangat kratif. Sayangnya, hal ini kurang dilengkapi dengan layanan pelanggan yang memadai. Jaringannya memang sudah luas, tapi di beberapa tempat, bahkan di Jawa sekalipun masih ada beberapa titik blank spot.

XL juga sering memiliki masalah dalam hal tagihan pelanggan pascabayar. Tapi dari sisi teknologi, operator ini telah menggunkan teknologi radio dan aplikasi yang cukup canggih.

Mulai beroperasi : November 1995

Teknologi yang digunakan : GSM, GPRS, WCDMA, HSDPA

Frekuensi : 900/1800 MHz GSM Network

Jumlah pelanggan : 22,9 juta

Pangsa pasar : 20%

Nama produk : Prabayar (Bebas, Jempol)

Pascabayar (Xplor)

Coverage : 80% kecamatan

Jumlah menara telekomunikasi : 7.200 BTS

Rekomendasi

Operator ini sangat bagus untuk pengguna yang melek teknologi. Komunikasi datanya cukup bagus meski harganya masih mahal. Operator GSM ini gagal dalam tender SLI.

Pengguna telekomunikasi kelas menengah ke atas mungkin bisa memanfaatkan Xplor atau Jempol. Sementara untuk pelanggan segmen menengah ke bawah bisa menggunakan Bebas.

Kualitas jaringan XL cukup bagus, meski cakupan wilayahnya masih belum begitu luas. Tarif XL tergolong masih mahal, dibandingkan dengan Indosat sekalipun, tetapi sinyal XL diyakini lebih kuat dan jernih.

PT BAKRIE TELECOM

Uraian singkat

Bakrie Telecom merupakan operator FWA berbasis CDMA. Operator ini sedang giat-giatnya membangun jaringan baru sehingga di beberapa wilayah jaringannya belum optimal, bahkan sering drop call.

Bakrie Telecom merupakan operator yang sangat kreatif dengan tariff yang murah sehingga pelanggan disuguhi lyanan-laynan yang sangat asyik. Jaringan milik Bakri Telecom saat ini cukup luas, meski dlam hal kapasitas masih sangat kurang sehingga bila di suatu kota terdapat pengguna yang banyak terancam drop cal atau akses data lambat.

Mulai beroperasi : September 2003

Teknologi yang digunakan : CDMA1X, CDMA ev-do

Frekuensi : 800 MHz CDMA Network

Jumlah pelanggan : 4,9 juta (kuartal I/2008)

Pangsa pasar FWA : 30%

Nama produk : Esia (Prabayar, Pascabayar)

Wimode (untu akses internet)

Coverage : seluruh Jawa, sebagian Sumatra,

Kalimantan, Bali, dan Sulawesi

Jumlah menara telekomunikasi : 1.200 BTS (akhir 2007)

Rekomendasi

Operator ini sangat menguntungkan bila lawan bicara kita juga Esia, karena tarifnya akan sangat murah. Sebaiknya pengguna mengunakan layanan Esia prabayar saja, karena bisa lebih murah sangat signifikan.

Esia yang sudah mengantongi lisensi SLI kini sedang mengejar lisensi SLJJ. Bila hal itu bisa didapat, maka pengguna telekomunikasi sangat diuntungkan operator ini, mengingat tarif SLJJ bisa lebih murah. Sayangnya, sebagai operator FWA, maka nomor pengguna tidak bisa di bawa kemana-mana secara otomatis tanpa menyeting dengan cara tertentu dalam bentuk produk Esia GoGo.

Dengan 3 kanal yang dimilikinya, maka Esia berpotensi menggelar layanan data berkecepatan tinggi Ev-Do. Untuk pengguna rumahan dengan moblitas rendah, maka Esia bisa jadi lternatif yang cukup baik, apalagi lawan bicara kita, baik keluarga atau teman juga menggunakan Esia.


- Mobile-8 Telecom

Uraian singkat

Operator berbasis CDMA ini memiliki 2 produk, yaitu Fren (jenis seluler) dan Hepi (jenis FWA). Tak banyak yang bisa diinformaskan mengenai Hepi karena produk ini masih sangat baru dan belum teruji kehandalannya. Mengenai Fren, produk ini hamper sama dengan Esia, yaitu menguntungkan bila lawan bicranya menggunakan Fren juga. Akses data Fren juga cukup murah dan cukup cepat, sehingga bisa menjadi alternatif yang baik bagi pengguna.

Mulai beroperasi : Desember 2003

Teknologi yang digunakan : CDMA1X, CDMA ev-do

Frekuensi : 800 MHz CDMA Network

Jumlah pelanggan : 3,5 juta (2007)

Pangsa pasar FWA : 10%

Nama produk : Fren(Prabayar, Pascabayar)

Hepi (prabayar)

Coverage : seluruh Jawa, sebagian Sumatra,

Kalimantan, Bali, dan Sulawesi

Jumlah menara telekomunikasi : 1.000 BTS (akhir 2007)


Rekomendasi

Operator ini sangat menguntungkan bila lawan bicara kita juga menggunakan Fren, karena tarifnya akan sangat murah. Fren yang memiliki 4 kanal di frekuensi 800 MHz bisa memberikan layanan yang sangat optimal. Operator seluler itu juga sering menampilkan program paket nomor perdana dengan hp yang harga jualnya lebih murah.

Sistem layanan pelanggan Mobile-8 masih sangat buruk, tagihannya juga masih belum sistematis, tapi sinyalnya saat ini sudah cukup kuat dengan jangkauan yang makin luas di Jawa dan luar Jawa.

Panduan Memilih Operator Telekomunikasi

Oleh: Arif Pitoyo

Sebelum melangkah lebih jauh dalam pembahasan mengenai tips memilih operator, ada baiknya pengguna telekomunikasi lebih mengenai frekuensi yang dipakai oleh operator di Indonesia.

Di Indonesia kita mengenai 2 teknologi telekomunikasi bergerak yaitu GSM (global system for mobile communications) dan CDMA (code division multiple access).

GSM digunakan oleh operator seluler seperti Telkomsel (Simpati, Kartu As, Halo), Indosat (Mentari, IM3, Matrix), XL (Bebas, Jempol, Xplor), Hutchison (3), dan Natrindo Telepon Seluler (Axis).

Sementara CDMA banyak digunakan oleh operator telepon nirkabel tetap atau FWA (fixed wireless access) seperti Bakrie Telecom (Esia), Telkom (Flexi), Indosat StarOne, dan Mobile-8 Telecom (Hepi).

Namun ada juga operator seluler yang menggunakan teknologi CDMA, yaitu Mobile-8 (Fren), Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (Ceria), dan Smart Telecom (Smart).

CDMA sebagian besar bekerja di frekuensi 800 MHZ, kecuali produk Ceria di 450 MHz dan Smart di 1.900 MHz. Sementara GSM banyak bekerja di frekuensi 1.800 MHz dan 900 MHz.

CDMA dan GSM

CDMA sebenarnya lebih baik dalam hal komunikasi data. Diatas CDMA ada teknologi CDMA Ev-Do yang setara dengan WCDMA (3G versi GSM). Bahkan kecepatan untuk Ev-Do relative lebih tinggi dari WCDMA.

Namun karena penggunanya relatif lebih sedikit dibandingkan GSM, baik di Indonesia maupun dunia, maka CDMA kurang diminati, sehingga di beberapa negara bahkan teknologi CDMA tidak bisa digunakan dan tidak interoperability dengan teknologi GSM.

Sebaliknya, GSM merupakan teknologi massal yang banyak digunakan oleh penggun seluler sehingga baik ketersediaan teknologi maupun interoperabilitasnya tidak diragukan lagi.

GSM merupakan teknologi yang fleksibel, sementara CDMA memiliki karakteristik yang kaku sehingga bila satelit pemancarnya berubah sedikit saja maka koneksi akan langsung terganggu.

Sayangnya, pemerintah tidak mengizinkan GSM dipakai untuk FWA sehingga pada pandangan banyak orang, GSM dianggap teknologi yang mahal. Padahal sesungguhnya, teknologi GSM yang sudah sangat melimpah secara logika seharusnya menurunkan harganya dibanding CDMA.

Frekuensi

Operator CDMA banyak yng menggunakan frekuensi 800 MHz. Di frekuensi itu terdapat 4 operator FWA dan seluler yaitu Bakrie Telecom dengan produknya Esia, Mobile-8 (Fren dan Hepi), Telkom (Flexi), dan Indosat (StarOne).

Pada frekuensi ini, StarOne memperoleh 2 kanal (1 kanal selebar 5 MHz), Mobile-8 4 kanal, Esia 3 kanal, dan Flexi 3 kanal.

Makin lebar kanal maka operator seluler makin leluasa mengembangkan layanan dan cakupannya karena dapat dipastikan kapasitas trafik dan kapasitas pelanggan jadi makin banyak. Makin kecil kanal maka bila penggunanya banyak maka lalu lintas data tentu akan melambat.

Pada bagian ini dapat dipastikan pengguna dapat melihat operator mana yang bisa dipilih menjadi provider telekomunikasinya. Operator CDMA lainnya, yaitu Smart dan Neon lebih banyak terkendala pada handset yang masih sangat jarang karena frekuensi itu memang jarang digunakan di dunia untuk komunikasi CDMA.

Sementara pada teknologi GSM, penggunaan frekuensi relative sama karena masing-msing memiliki lebar yang sama, yaitu 15 MHz. Yang membedakan adalah pada cakupan layannanya. Makin lama operator tersebut berdiri tentunya memiliki jangkauan laynan yng makin luas, apalagi bila didukung dengan pendanaan dan belanja modal yang memadai.


Cakupan dan Karakteristik Layanan

Indosat sebenarnya merupakan operator seluler tertua, namun karena induk Telkomsel yaitu Telkom sudah ada jauh sebelum kemerdekaan RI, maka operator tersebut banyak mewarisi cakupan laynan dan teknologi dari induknya.

Setelah itu ada XL diurutan ketiga sebagai operator seluler tertua, lalu diikuti berturu-turut Hutchison, dan Natrindo Telepon Seluler.

Seluruh operator GSM merupakan operator 3G sehingga selain menyediakan akses percakapan, mereka juga enyediakan akses data dengan kecepatan yang berbeda-beda.

Operator GSM pendatang baru cenderung kesulitan dalam mengembangkan layanannya dan lebih banyak menyewa menara telekomunikasi dibandingkan mmbangunnya sendiri, apalagi terdapat aturan menara bersama di sejumlah daerah dantingkat nasional.

Perencanaan bisnis suatu operator dipastikan akanlebih baik bila membangun menara sendiri karena titik-titik tersebut telah diperhitungkn melalui kajian yang cukup panjang, sementara untuk yang menyewa lebih banyak menggantungkan sinyalnya pada perencanaan bisnis perusahaan lain.

Operator baru juga masih kesulitan dalam menjalin interkoneksi dengan operator lain sehingga terkadang penggunanya ksulitan menghubungi rekannya yang menggunakan nomor operator lama.

Selain itu, karena jaringan yang relative baru, maka pelanggan operator baru sering mengalami puus sambungan atau drop call. Namun akhir-akhir ini bukan hanya operator baru yang mengalami drop call, karena sejumlah operator besar pun, terutma yang menawarkan tariuf berbeda-beda pada menit-menit tertentu sering mengalami hal tersebut.

Foto:https://depts.washington.ed

Wednesday, July 9, 2008

Indonesia Kurang Menghargai Lulusan Luar Negeri

Arif Pitoyo

Dalam beberapa hari terakhir, saya merasa trenyuh melihat banyak mahasiswa Indonesia yang masih menjalani pendidikan di luar negeri dipanggil oleh instansi yang menaunginya ke Indonesia. Padahal hampir sebagian besar belum menyeelesaikan kuliahnya alias tidak lulus.

Selidik punya selidik, ternyata kepala instansi tersebut hanya berpendidikan S1, sehingga mungkin keki juga banyak anak buahnya yang sudah lulus kuliah s2 dan kini lagi melanjutkan pendidikan ke S3.

Seperti contohnya di LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), kakak saya dan beberapa temannya dipanggil oleh Deputi institusi tersebut, bahkan terkesan memaksa sekali. Menristek Kusmayanto Kadiman yang mendapat laporan tersebut dari saya pun tidak bisa berbuat banyak dan tidak bisa mencegah arus kepulangan mahasiswa Indonesia yang belum menamatkan pendidikannya di luar negeri.

Mungkin ini potret generasi saat ini dan bukti bahwa pemerintah kurang mempedulikan kualitas SDM yang lebih baik lagi...

fotoL campusaccess.com

Kampanye Semu Penggunaaan Produk Lokal


Arif Pitoyo

Akhir-akhir ini banyak terdengar baik dari seminar di hotel mewah, ruang kantor Menteri atau Dirjen, dan kantor-kantor operator mengenai penggunaan produk telekomunikasi lokal. Kampanye tersebut saya nilai hanyalah semu belaka, karena yang benar-benar lokal mungkin label mereknya saja, sementara semua komponennya berasal dari luar negeri.

Produk notebook, ponsel, dan lainnya tidak ada yang benar-benar lokal meski menggunakan merek Indonesia. Saya membayangkan, Indonesia benar-benar memiliki industri manufaktur dan pusat pengembangan software lokal yang komponen dan bahan-bahan lainnya sebagian besar dari lokal, pasti Microsoft pun enggan masuk ke Indonesia, produk Nokia, Siemens, Motorola, dan lainnya juga pasti malu untuk masuk ke Indonesia, karena..

Software buatan asli Indonesia jauh lebih bagus, mudah dan lengkap dan Microsoft, produk HP, notebook dan PC dari Indonesia jauh lebih murah dan bagus dari produk luar negeri.

foto: gameaxis.com

Thursday, July 3, 2008

Mengapa Harus Ada Tender SLJJ?

Arif Pitoyo

Layanan sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) atau lazim disebut long distance service sebenarnya bukanlah barang mewah untuk suatu operator telekomunikasi, apalagi seluler, di mana tanpa lisensi itu pun sebuah penyelenggara layanan bergerak tersebut bisa memberikan jasa panggilan dari satu kota ke kota lainnya, atau bahkan dari negara satu ke negara lainnya.

Di beberapa negara maju, SLJJ bukanlah merupakan suatu lisensi tersendiri yang mesti diperebutkan, karena operator fixed line bisa secara otomatis mendapatkannya.

Indonesia, yang masih menganut monopoli semu atau liberalisasi setengah hati nampaknya belum begitu terbiasa dengan era kebebasan berkomunikasi, di mana Telkom sebagai operator incumbent yang notabene milik pemerintah sendiri seakan takut dan khawatir pangsa pasarnya digerogoti pemain lain.

Padahal, apalah artinya 30 juta pelanggan FWA bagi lebih dari 230 juta penduduk Indonesia? Betapa masih melimpahnya pasar telekomunikasi tetap, kenapa juga harus diperebutkan atau ditakutkan?

Hanya operator telekomunikasi yang takut berkompetisi lah yang akan menghalangi pemberian lisensi SLJJ secara cuma-cuma kepada operator jaringan tetap. Tender yang sedianya digelar pun sangat jauh dari pelaksanaannya. Nyatanya, pemerintah memang seakan sengaja mengulur-ulur waktu pelaksanaan tender SLJJ tersebut yang dulunya dijadwalkan terselenggara Juni 2007, lalu mundur jadi awal tahun ini, dan sekarang... mundur lagi sampai Agustus. Ada apa gerangan? Apakah ada tekanan dari pihak tertentu? Jawabannya ada di pemerintah sendiri.

Perlu diketahui, sebelum 1999, Telkom sebagai BUMN menjadi penguasa di bidang layanan telepon tetap, baik lokal, sambungan langsung jarak jauh (SLJJ), maupun sambungan langsung internasional (SLI).

Keberadaan Telkom-sebagai perusahaan swasta zaman kolonial yang didirikan sejak 1882, hingga akhir 2003 hanya mampu membangun 8,7 juta SST kapasitas terpakai berdasarkan data dari Dephub pada 2003 atau teledensitas 4%.

Bandingkan dengan segmen seluler -yang sejak lahirnya pada 1995/ 1996 sudah dikompetisikan- yang hingga akhir 2002 atau hanya dalam tempo sekitar tujuh tahun, tiga operator GSM utama (Telkomsel, Satelindo dan Exelcomindo) sudah berhasil meraih 10,6 juta pelanggan.

Pemerintah mulai mancanangkan skema duopoli penyelenggaraan telepon saluran tetap antara Telkom dan Indosat pada 1999 hingga 2001. Indosat mengantongi izin penyelenggaraan telepon lokal untuk Jakarta dan Surabaya sejak awal Agustus 2002.

Akses SLJJ memang sudah banyak ditinggalkan pelanggan telekomunikasi. Pendapatan baik Telkom maupun Indosat dari tahun ke tahun selalu turun tergerus layanan seluler atau pun VoIP. Saat ini, layanan SLJJ lebih banyak diperlukan untuk menyalurkan akses SLI ke kota-kota di Indonesia. Karena tanpa lisensi SLJJ, maka biaya yang dibebankan oleh suatu operator di luar Telkom akan sangat besar.

Bila SLJJ diberikan secara otomatis kepada operator layanan tetap, mungkin bukan hanya penyelenggara telekomunikasi saja yang diuntungkan, tetapi juga masyarakat pengguna telekomunikasi yang menjadi pelanggan operator jaringan tetap di luar Telkom.

foto: zu.edu.eg

Quo Vadis Transportasi Angkutan Darat Indonesia



















Arif Pitoyo


Carut marut transportasi di Indonesia, khususnya di sektor darat, sangat jelas menggambarkan pemerintah tak punya visi ke depan. Pembenanahannya terkesan asal-asalan dan hanya mengejar proyek semata, sementara tujuan lain yang lebih besar, seperti adanya ketertiban yang tercipta, tidak adanya angkutan umum yang ngetem di sembarang tempat, angkutan yang menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat, dan buruknya pelayanan kereta api sangat memprihatinkan semua orang dan memalukan harga diri bangsa.

Contoh kecil, betapa susahnya orang asing yang ingin memesan tiket kereta api, atau turun dari busway di tempat yang ditujunya. Ini kan sangat memalukan bangsa Indonesia di mata negara lain?

Apalagi mental tenaga kerja di sektor transportasi darat kita teramat buruknya, bahkan amat sangat buruk. Apalagi pegawai PT Kereta Api. Rekruitmen karyawannya yang hanya berdasarkan kekeluargaan dan pertemanan membuat wajah BUMN Perkeretaapian tersebut terasa sangat memprihatinkan. Belum lagi ditambah dengan sarana dan prasarananya yang sangat jauh dari rasa aman. Pernah suatu ketika seorang ibu yang sedang hamil dimaki-maki oleh petugas loket kereta api dan menyuruhnya datangd I stasiun lainnya yang jaraknya sangat jauh dari stasiun tersebut. Alasannya hanya sepele, “lagi off line bu, ke stasiun Senen saja, disini tidak bisa,” ujar seorang petugas Stasiun Gambir.”

Belum lagi kalau bertanya-tanya kapan kereta datang, kenapa keretanya terlambat. “Tunggu saja disitu, pasti keretanya datang, jangan khawatir!” teriak seorang petugas penjaga stasiun Jatinegara. Calo-calo yang banyak bergentayangan di stasiun-stasiun sepertinya mengambil hak penumpang untuk naik kereta api, karena... mereka pastinya telah mengambil tiket cukup besar, sementara sisanya baru di jual di loket resmi.

Tunggu dulu, ternyata bukan hanya kereta api yang memiliki pelayanan teramat sangat memprihatinkan, angkutan umum, mikrolet, bus kota, dan sejenis minibus di berbagai kota juga terasa sangat tidak bersahabat. Saya membayangkan bila saja sarana transportasi kita maju, tentunya orang akan enggan menggunakan kendaraan pribadi. Jalan satu-satunya memang dengan menggalakkan busway di mana-mana, tapi harus dibarengi dengan penghilangan angkutan kota dan minibus secara bertahap, karena dua moda angkutan inilah yang selalu bikin macetnya kota jakarta. Dan bagusnya lagi, bisa ditambah dengan subway untuk angkutan kereta api, dengan lapangan parkir yang nyaman dan tingkat keamanan yang tinggi.

Sektor transportasi, bila ditata seapik mungkin bisa memberikan sumbangan nilai bisnis yang sangat besar, layaknya telekomunikasi. Pungutan liar dari berbagai oknum petugas yang kurang bertanggung jawab sangat membuat kita kesal. Saat ini saja nilai bisnis sektor telekomunikasi mencapai lebih dari Rp50 triliun, bandingkan dengan sektor angkutan darat yang hanya Rp5 triliun.

Tingginya laju inflasi Juni yang secara year on year (YoY) tercatat 11,03%, paling besar didorong oleh industri transportasi. Sektor industri tersebut, bersama telekomunikasi, dan jasa keuangan memberikan kontribusi kepada laju inflasi sebesar 8,72%.

foto: ocw.mit.edu

Wednesday, July 2, 2008

Temasek dan Sikap Pemerintah yang Ragu-ragu


Arif Pitoyo

Pemerintah diminta bersikap tegas terhadap kasus penjualan saham PT Indosat Tbk yang dimiliki Tamasek Holding kepada Qatar Telecom (Qtel) sebesar 40,8 persen melalui Asian Mobile Holding AMH pemilik Indonesia Communication Limited (ICL) yang tercatat sebagai pemegang saham Indosat. Pasalnya, dalam transaksi itu, Qtel membayar sebesar 2,4 miliar dolar Singapura atau 1,8 miliar dolar AS setara dengan Rp 16,74 triliun.

“Karena itu, saya minta Mahkamah Agung (MA) dan Bappepam sebagai benteng terakhir keadilan mampu menjaga keadilan. Penjualan saham Indosat milik Tamasek sudah melecehkan hukum kita, padahal putusan PN Jakpus sudah memerintahkan Tamasek membayar denda. Jadi, sebelum persoalan hukum selesai, kenapa Tamasek menjual sahamnya kepada Qtel,” ujar Direktur INDEF Fadil Hasan didampingi anggota DPD Marwan Batubara pada diskusi di DPD RI Jakarta, Rabu (2/7).

Menurut Fadil, dalam sidang Komisi Pengawas Persaingan
Usah (KPPU) pada tanggal 19 November 2007 lalu memutuskan Temasek Holdings bersalah melanggar UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. “Dalam keputusan KPPU itu, Temasek diminta untuk menghentikan kepemilikan sahamnya dengan cara melepas salah satu perusahaannya antara Telkomsel dan Indosat dalam waktu 12 bulan atau mengurangi kepemilikan masing-masing sahamnya di Telkom dan Indosat sebesar 50% dari jumlah saham dalam waktu 12 bulan.

Persoalannya, putusan pengadilan itu tidak diindahkan Tamasek, bahkan mengajukan banding ke MA atas putusan PN Jakpus. Kita bersyukur PN Jakpus telah menguatkan putusan KPPU. Tapi, dalam proses kasasi di MA, Temasek telah melakukan transaksi penjualan sahamnya sebesar 40,8 persen di Indosat kepada Qatar Telecom. “Proses penjualan saham ini membuktikan Tamasek telah melecehkan proses hukum di Indonesia . Apalagi transaksi itu dilakukan di luar wilayah hukum Indonesia . Jadi, wajar saja kalau kita mempertanyakan motivasi transaksi itu. Itikadnya sudah tidak baik. Temasek telah melecehkan proses hukum di Indonesia,” ujar dia.

Seharusnya, lanjut dia, pemeritah mempunyai pandangan yang sama terhadap masalah ini, yaitu harus menghormati hukum kita sendiri. Tetapi justru pejabat pejabat kita memberikan reaksi membiarkan dan bahkan mendorong dan menyetujui transaksi tersebut sehingga Temasek merasa di atas angin,” ujar Fadil.

Seperti diketahui, masuknya Qatar Telecom (Qtel) ke PT Indosat Tbk dengan mengambilalih 40,8% saham Singapore Technologies Telemedia (STT) dinilai tidak terlalu berdampak besar bagi industri telekomunikasi di Tanah Air. Pasalnya, peta persaingan pada industri telekomunikasi tidak melulu dilihat dari siapa pemegang sahamnya, memiliki dana besar atau tidak.

Berdasar aturan lama Bapepam, tender offer bisa dilakukan oleh pemegang minimal 25% saham perusahaan yang tercatat di BEI. Namun aturan baru tender offer yang akan dikeluarkan Bapepam LK pekan ini, akan menaikkan batas kepemilikan saham dengan hak tender offer, dari 25% menjadi 35-50%. Qtel, sesuai undang-undang pasar modal, wajib melakukan tender offer selaku pemilik 40,8% saham PT Indosat Tbk yang diakuisisi dari ST Telemedia dengan harga Rp 7,388 per lembar sahamnya.

Sedangkan Marwan Batubara menyesalkan, sikap pemerintah yang tidak konsisten dalam menyikapi kasus Temasek itu. “Ketika putusan KPPU keluar, Wapres Jusuf Kalla pemerintah akan membeli kembali saham Tamasek. Tapi, belakangan Menneg BUMN Sofyan Jalil menyatakan pemerintah tidak akan membeli kembali saham milik Tamasek. Jadi, pejabat kita memang tidak konsisten dengan pernyataannya,” ujar Marwan.

foto:21stcenturysocialism.com

Apa Kabar Satelit Indonesia?













Oleh: Arif Pitoyo

Industri satelit, memang tak secemerlang seluler. Gaungnya tak terdengar sampai kepada pelosok dan penjuru Tanah Air. Maklum, industri yang sarat teknologi dan investasi itu hanya melayani konsumen perusahaan telekomunikasi, penyiaran/broadcasting, dan Internet.

Pada sudut pandang yang berbeda, konsumen dari satelit bisa juga datang dari kalangan militer atau lembaga penelitian sejenis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Meski tak secemerlang seluler, tetapi keberadaan satelit merupakan jaminan identitas suatu bangsa, dan sedikit di atasnya, satelit merupakan pertanda adanya suatu negara dan bangsa yang berdaulat.

Satelit Indonesia merupakan satelit yang didaftarkan ke ITU atas nama administrasi telekomunikasi Indonesia. Dalam eksistensinya, satelit-satelit Indonesia tersebut diselenggarakan oleh para penyelenggara satelit Indonesia yang meliputi PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Media Citra Indostar, PT Pasifik Satelit Nusantara, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

Sementara itu, daftar satelit Indonesia terdiri dari Palapa Telkom-1 (108oBT), Telkom-2 (118oBT), Palapa C-1 (113oBT), Palapa Pacific 146oBT, Cakrawarta-1 (107,7oBT), Garuda-1 (123oBT), dan satelit Lapan Tubsat.

Kita pernah mencatat sejarah manis setelah berhasil meluncurkan satelit komunikasi domestik Palapa A-1 ke angkasa pada 9 Juli 1976, di saat angkasa Indonesia masih kosong dari satelit-satelit asing.

Peluncuran satelit Palapa A-1 juga menandai Indonesia layak disejajarkan dengan empat negara besar lainnya di dunia yaitu Kanada, Amerika Serikat, dan Jepang yang telah mengoperasikan satelit sendiri.

Pada 10 Maret 1977, Indonesia pun berhasil meluncurkan satelit berikutnya yang diberi nama Palapa A-2 yang memiliki 12 transponder seperti yang dimiliki Palapa A-1.

Kedua satelit komunikasi Indonesia itu memiliki umur yang relatif pendek, yaitu tujuh tahun di mana Palapa A-1 berakhir masa operasinya pada 1983, sedangkan Palapa A-2 berakhir pada 1984.

Namun, saat itu pemerintah Indonesia melalui Perumtel yang kini bernama Telkom telah mengantisipasi umur satelit tersebut jauh-jauh hari dan sudah memikirkan penggantinya yaitu Palapa B-1 yang diluncurkan pada 17 Juni 1983.

Karena suatu masalah, maka satelit Palapa B1 berumur pendek yaitu hanya dua tahun, untungnya pemerintah sudah menyiapkan Palapa B-2 yang kemudian diluncurkan pada 2 Februari 1984.

Namun, satelit tersebut bermasalah lagi, sehingga tidak masuk pada orbitnya dan kemudian hilang.

Pemerintah pun segera meluncurkan satelit pengganti Palapa B2P pada 21 Maret 1987 dan masuk pada slot orbit 113 derajat Bujur Timur (BT). Satelit B2 yang hilang kemudian ditemukan kembali, kemudian diluncurkan dengan nama Palapa B2R menempati slot orbit 108 derajat BT pada 14 April 1990.

Guna memenuhi kebutuhan nasional, maka pada 14 Mei 1992, diluncurkan juga satelit Palapa B4 dan berada pada slot 118 derajat BT. Setelah itu, Indonesia berturut-turut meluncurkan satelit Palapa C-1 pada 31 Januari 1996 dan langsung menempati slot 113 derajat BT yang kemudian digantikan Palapa C-2 pada Mei 1996.

Selanjutnya karena kebutuhan dan permintaan pasar yang tinggi terhadap akses data dan komunikasi, maka Telkom meluncurkan satelit Telkom-1 pada 13 Agustus 2005 menyusul kemudian satelit Telkom-2 yang diluncurkan dari tempat yang sama pada Februari 2006 pada slot 118 derajat BT.

Bicara masalah satelit dalam kaitannya dengan harga diri suatu bangsa, Indonesia pernah kehilangan salah satu aset yang sangat berharga, yaitu slot satelit yang dinotifikasikan ke International Telecommunication Union (ITU). Tak tanggung-tanggung, kita sempat kehilangan 3 slot satelit!

Sebenarnya tidak perlu diperdebatkan siapa sesungguhnya yang harus beratnggung jawab, apakah pemerintah yang lalai mengingatkan operator penyelenggara satelit, atau kah operator itu yang memang nyata-nyata lalai dan tidak mau bertanggungjawab.

Indosat misalnya, merupakan pengelola dua slot satelit yangs empat hilang, yaitu 113 derajat BT dan 150,5 derajat BT. Terakhir kita mendengar ke-3 slot tersebut sudah dapat diselamatkan lagi oleh pemerintah.

Dan yang menjadi masalah adalah, akankah pemerintah kembali menyerahkan slot yang membawa identitas dan harga diri bangsa di dunia internasional itu kepada operator yang telah gagal mengelolanya dan akhirnya terlepas?

Pertanyaan ini kembali muncul karena sejak diselamatkan kembali pada November 2007, janji pemerintah yang akan melaksanakan tender pengelolaan slot tersebut tak kunjung terlaksana. Indosat sebagai pengelola dua slot itu sebaiknya tidak diizinkan mengikuti tender tersebut.

Pemerintah jangan sampai melakukan kesalahan yang sama dengan menyerahkan pengelolaan slot kepada operator yang tidak mampu melakukannya. Indosat mengaku tak lagi mampu menginvestasikan pengadaans atelit baru yang relatif cukup mahal.

Lalu, mengapa tender tak kunjung dilaksanakan? Lalu selama periode November sampai sekarang siapa sebenarnya yang mengelola slot tersebut? Apakah pemerintah atau pengelola slot lama? Lalu bagaimana pendapatan yang diperoleh dari penyediaan jasa dari satelit yang berada di ketiga slot tersebut? Karena bila pemilik lama masih memanfaatkannya untuk bisnis jelas itu illegal.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tak pernah dapat dijawab pemerintah sampai sekarang. (arif.pitoyo@bisnis.co.id)

foto:www.itc.nl

Tuesday, July 1, 2008

TI Indonesia di Persimpangan Jalan

Arif Pitoyo

Wacana mengenai penerapan e-government di Indonesia seakan tidak ada habisnya. Wacana itu sudah mulai digelontorkan sejak 2002 dan sampai sekarang belum terimplementasi secara penuh di semua sektor, apalagi sampai terintegrasi. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang tadinya diharapkan menjadi salah satu pemicu digitalisasi pemerintahan RI ternyata hanyalah sebatas di atas kertas saja.

Hal itu lebih disebabkan budaya atau kultur pejabat di Indonesia yang enggan menerima perubahan. Mungkin, dengan digitalisasi maka mereka gak bisa lagi memanipulasi data. Mungkin, dengan digitalisasi, mereka jadi gak bisa manipulasi keuangan, korupsi, penyelewengan proyek-proyek, dan lainnya.

Teknologi informasi di Indonesia kini sepertinya hanya layak diperdebatkan dan diperbioncangkan di kafe-kafe, hotel-hotel, dan seminar-seminar, tetapi sangat jauh dari penerapan nyata di lapangan. Sistem tersebut pernah diujicobakan pada Pemilu 2004 yang lalu, tetapi sangat jauh dari yang diharapkan. Justru metode quick account yang relatif masih manual malah sangat diminati dan jadi acuan utama.

TI di Indonesia seakan berada di persimpangan jalan, seakan tak ada yang perduli lagi. Para pakar dan kalangan akar rumput yang diharapkan mampu mengubah wajah dunia TI di Indonesia malah seakan saling berseberangan. Antara Budi Rahardjo, Onno W. Purbo, Bob Hardian, Heru Sutadi, Eko Indrajit, Sammy Pangerapan, dan Heru Nugroho, mana pernah duduk dalam satu meja?

Saya berfikir, bila suatu saat mereka bahu-membahu membangun citra TI Indonesia di dalam negeri dan dunia internasional, maka alangkah besarnya bangsa ini suatu hari kelak.

Bila itu terjadi, Microsoft pun akan segan masuk ke Indonesia, vendor Ti juga malu-malu untuk memasarkan produknya. Sebab.... produk TI dari Indonesia lebih berkualitas dan berdaya saing, software open source di Indoensia juga lebih baik dan lengkap dari produk Windows, dan Sdm dari Indonesia jauh lebih bermutu dari SDM dari AS, India, dan lainnya.

Kembali kepada UU ITE, pemerintah sepertinya hanya terpaku pada masalah-masalah pornografi, di mana hal itu sudah diatur dalam KUHP dan hukum positif di negeri ini. Mengurusi masalah pornografi yang sudah jelas dilarang hanyalah membuang-buang waktu. Pemerintah seakan lupa bahwa mengurusi masalah pemblokiran kartu kredit dari Indonesia dan perjuangan pembukaan transaksi e-commerce dari Indonesia jauh lebih berguna bagi masyarakat Indonesia.

Sebab, sudah lima tahun belakangan ini, transaksi dari Indonesia selalu ditolak oleh PayPal di AS dan negara-negara di Eropa. UU ITE juga sebenarnya sangat bermanfaat untuk membentuk e-government dan e-Indonesia. Teknologi Informasi mungkin hanya menyentuh beberapa kalngan saja, itu karena sikap konsumtif kebanyakan masyarakat dan kekurangpedulian akan kemajuan TI, atau malah bahkan

Pelaku usaha AS masih menolak perdagangan online (e-commerce) dengan Indonesia meski pemerintah sudah melakukan lobi dengan pengelola PayPal dan sudah memiliki UU ITE.

Kredit foto: www.gov.ns.ca

Monday, June 30, 2008

Bola Panas Pemerintah Itu Bernama SKTT

Oleh : Arif Pitoyo

Sudah empat kali pergantian menteri, tetapi Sistem Kliring Trafik Telekomunikasi (SKTT) atau apapun namanya tak kunjung terlaksana. Terlepas dari transparan atau tidaknya tender pelaksana SKTT pada 2004 yang akhirnya dimenangkan PT Pratama Jaringan Nusantara (PJN) tersebut, tetapi ketetapan hukum melalui SK Menhub No. PL 102/14 Phb-2004 sudah telanjur ditetapkan dan semua pihak otomatis harus melaksanakannya. Kecuali, operator telekomunikasi memiliki bukti kuat mengenai adanya ketidakberesan dalam tender itu sehingga membuat Mahkamah Konstitusi bisa menganulir keputusan tersebut.

Oleh Komisi IV DPR periode 1999-2004, pemerintah dianggap telah melanggar kesepakatan pada saat melakukan penunjukkan perusahaan pemenang beauty contest SKTT. Lembaga legislatif itu menilai proses seleksi (beauty contest) yang dilakukan Pemerintah dalam menentukan penyelenggara SKTT tidak berlangsung secara transparan dan hal itu dinilai melanggar kesepakatan yang dibuat dalam rapat kerja antara komisi IV DPR dengan pemerintah. Kesepakatan itu adalah pemerintah harus memaparkan terlebih dahulu proses seleksi SKTT kepada DPR sebelum diputuskan pemenangnya.

Namun, ketetapan hukum sudah dibuat, dan Pratama juga sudah membangun jaringannya meski saat ini masih menggunakan data trafik lama pada tahun 2004.

Pembangunan jaringan itu tak main-main, sampai menghabiskan dana beratus-ratus miliar yang oleh sebagian kalangan dianggap tidak masuk akal dan perusahaan tersebut harus memaparkan penggunaan dana itu kepada publik mengingat jaringan itu adalah fasilitas layanan untuk masyarakat.

Dana yang besar itu merupakan utang Pratama kepada Rabobank yang hingga pergantian manajemen baru saat ini masih belum kunjung terbayarkan. Wajar saja, karena angan-angan mendapatkan pendapatan triliunan per harinya tidak kunjung menjadi kenyataan karena pelaksanaan SKTT yang tidak terlaksana.

Operator bahkan menuntut pembubaran SKTT karena mereka sendiri sudah memiliki wadah sendiri dalam bentuk sistem otomatisasi kliring telekomunikasi (SOKI).

Sebenarnya, awal mula dibentuknya SKTT adalah bentuk keinginna pemerintah yang ingin lebih mendalami dan terjun langsung dalam pelaksanaan sistem kliring trafik telekomunikasi. Selama ini, trafik yang dipaparkan operator melalui Asosiasi Kliring Trafik telekomunikasi (Askitel) cenderung tidak transparan dan terksan banyak yang ditutupi.

Namun anggapan seperti itu sudah berulangkali ditolak oleh pihak Askitel, karena Telkom dan Indosat, sebagai perusahaan publik yang sahamnya tidak hanya tercatat di Bursa Indonesia, tetapi di AS, tentunya tidak main-main dalam memaparkan datanya yang sudah diaudit oleh auditor eksternal.

Pada dokumen tendernya, PJN diwajibkan melaksanakan SKTT pada 1 Januari 2005 menggunakan data-data yang dikumpulkan operator kepada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Namun apa daya, bukannya data yang terkumpul, malah utang yang makin membengkak dan memberatkan operasional PJN hingga pada 2006 terjadi pergantian kepemilikan di tubuh perusahaan itu.

Di saat seperti itulah, ketegasan pemerintah dan regulator diuji. Ketidaktegasan dari regulator terlihat dari berlarut-larutnya proses kliring hingga melalui pergantian empat menteri teknis. Bila saja pemerintah tegas, maka tentunya proses kliring yang memiliki nilai bisnis sangat besar tersebut tidak tersendat-sendat.

Ketidaktegasan bukan hanya ditujukan kepada operator semata, tetapi juga Pratama sebagai pelaksana tender. Ketegasan bisa terlihat bila pemerintah memaksakan operator untuk ikut dalam SKTT, atau membubarkan sama sekali sistem tersebut dan menggantinya dengan sebuah perusahaan bentukan pemerintah (sejenis badan usaha milik negara).

Tetapi sekedar memberikan gambaran, di negara-negara maju lainnya, sistem kliring trafik telekomunikasi sudah tentu dilaksanakan oleh swasta yang berkolaborasi sendiri satu sama lain, sementara regulator hanya mengarahkan dan mengawasi saja.

Memang cara tersebut tidak efektif, terutama bila lembaga kolaborasi itu tidak transparan menyerahkan data trafiknya ke pemerintah. Mungkin langkah efektifnya adalah pemerintah dan operator membentuk perusahaan bersama dengan komposisi saham mayoritas di tangan pemerintah.

Setitik cerah mulai terlihat pada saat operator sepakat untuk menanamkan sahamnya di PJN pada 21 Maret di Bali yang disaksikan juga oleh Menkominfo saat itu, Sofyan A. Djalil (sekarang Meneg BUMN).

Namun due diligence yang sangat diharapkan dari para dirut operator itu ternyata tak juga disetujui dan bahkan malah mundur dari rencana menanamkan sahamnya di PJN. Kabarnya, operator tak mau bila harus menanggung utang-utang PJN yang sangat besar itu.

Entah apa jadinya bila polemik ini terus berlanjut, karena sistem kliring merupakan nyawa dari sebuah layanan telekomunikasi. Bila kemudian pemerintah sudah tak mengakui lagi keberadaan Askitel seperti saat ini dan hanya mengakui operator sebagai entitas sendiri-sendiri, maka keberadaan kliring oleh SOKI juga otomatis tidak bisa diakui legalitasnya lagi.

Bola panas saat ini berada di tangan pemerintah, dan jangan sampai bola panas itu berakhir di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti yang ditakutkan banyak pihak. Badan pemeriksa Keuangan (BPK) dan auditor independen mungkin bisa dilibatkan dalam audit keuangan SKTT, mulai dari sebelum diadakan tender sampai saat ini, agar masyarakat juga bisa mengetahui hal yang sebenarnya.(arif.pitoyo@bisnis.co.id)

Kredit foto:almasarco.com