Tuesday, December 28, 2010

Angkasa Indonesia makin teracak-acak


Industri satelit, memang tak secemerlang seluler. Gaungnya tak terdengar sampai kepada pelosok dan penjuru Tanah Air. Maklum, industri yang sarat teknologi dan investasi itu hanya melayani konsumen perusahaan telekomunikasi, penyiaran/broadcasting, dan Internet.
Pada sudut pandang yang berbeda, konsumen dari satelit bisa juga datang dari kalangan militer atau lembaga penelitian sejenis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Meski tak secemerlang seluler, tetapi keberadaan satelit merupakan jaminan identitas suatu bangsa, dan sedikit di atasnya, satelit merupakan pertanda adanya suatu negara dan bangsa yang berdaulat.
Direktur Hubungan Internasional Kemenkominfo Ikhsan Baidirus mengungkapkan satelit Indonesia merupakan satelit yang didaftarkan ke ITU atas nama administrasi telekomunikasi Indonesia.
“Dalam eksistensinya, satelit-satelit Indonesia tersebut diselenggarakan oleh para penyelenggara satelit Indonesia yang meliputi PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Media Citra Indostar, PT Pasifik Satelit Nusantara, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan),” ujarnya.
Sementara itu, daftar satelit Indonesia terdiri dari Palapa Telkom-1 (108oBT), Telkom-2 (118oBT), Palapa C-1 (113oBT), Palapa Pacific 146oBT, Cakrawarta-1 (107,7oBT), Garuda-1 (123oBT), dan satelit Lapan Tubsat.
Kita pernah mencatat sejarah manis setelah berhasil meluncurkan satelit komunikasi domestik Palapa A-1 ke angkasa pada 9 Juli 1976, di saat angkasa Indonesia masih kosong dari satelit-satelit asing.
Peluncuran satelit Palapa A-1 juga menandai Indonesia layak disejajarkan dengan empat negara besar lainnya di dunia yaitu Kanada, Amerika Serikat, dan Jepang yang telah mengoperasikan satelit sendiri.
Pada 10 Maret 1977, Indonesia pun berhasil meluncurkan satelit berikutnya yang diberi nama Palapa A-2 yang memiliki 12 transponder seperti yang dimiliki Palapa A-1.
Kedua satelit komunikasi Indonesia itu memiliki umur yang relatif pendek, yaitu tujuh tahun di mana Palapa A-1 berakhir masa operasinya pada 1983, sedangkan Palapa A-2 berakhir pada 1984.
Namun, saat itu pemerintah Indonesia melalui Perumtel yang kini bernama Telkom telah mengantisipasi umur satelit tersebut jauh-jauh hari dan sudah memikirkan penggantinya yaitu Palapa B-1 yang diluncurkan pada 17 Juni 1983.
Karena suatu masalah, maka satelit Palapa B1 berumur pendek yaitu hanya dua tahun, untungnya pemerintah sudah menyiapkan Palapa B-2 yang kemudian diluncurkan pada 2 Februari 1984.
Namun, satelit tersebut bermasalah lagi, sehingga tidak masuk pada orbitnya dan kemudian hilang.
Pemerintah pun segera meluncurkan satelit pengganti Palapa B2P pada 21 Maret 1987 dan masuk pada slot orbit 113 derajat Bujur Timur (BT). Satelit B2 yang hilang kemudian ditemukan kembali, kemudian diluncurkan dengan nama Palapa B2R menempati slot orbit 108 derajat BT pada 14 April 1990.
Guna memenuhi kebutuhan nasional, maka pada 14 Mei 1992, diluncurkan juga satelit Palapa B4 dan berada pada slot 118 derajat BT. Setelah itu, Indonesia berturut-turut meluncurkan satelit Palapa C-1 pada 31 Januari 1996 dan langsung menempati slot 113 derajat BT yang kemudian digantikan Palapa C-2 pada Mei 1996.
Selanjutnya karena kebutuhan dan permintaan pasar yang tinggi terhadap akses data dan komunikasi, maka Telkom meluncurkan satelit Telkom-1 pada 13 Agustus 2005 menyusul kemudian satelit Telkom-2 yang diluncurkan dari tempat yang sama pada Februari 2006 pada slot 118 derajat BT.
Bicara masalah satelit dalam kaitannya dengan harga diri suatu bangsa, Indonesia pernah kehilangan salah satu aset yang sangat berharga, yaitu slot satelit yang dinotifikasikan ke International Telecommunication Union (ITU). Tak tanggung-tanggung, kita sempat kehilangan 3 slot satelit!
Indosat misalnya, merupakan pengelola dua slot satelit yangs empat hilang, yaitu 113 derajat BT dan 150,5 derajat BT. Terakhir kita mendengar ke-3 slot tersebut sudah dapat diselamatkan lagi oleh pemerintah.
Kini, entah disadari pemerintah atau tidak, sejumlah pihak memberikan begitu saja filing satelit milik Indonesia ke pihak asing dan mengarahkan pancaran sinyal satelitnya (beam) ke negara lain, bukan ke Indonesia.
Sebut saja Satelit Garuda, yang ternyata lebih banyak dimiliki oleh Mabuhay Philippines Satellite Corporation (MPSC) daripada operator satelit Indonesia PT Pasifik Satelit Nusantara.
Kabarnya, menurut data dari Ditjen Postel dan Center for Indonesia Telecommunications Regulation Study (Citrus), malah PSN hanya memiliki 5% dalam satelit itu. Namun dalam konfirmasinya, Komisaris Utama PT PSN Adi Rahman Adiwoso mengatakan pihaknya memiliki 35% dalam satelit Garuda.
Beam dari satelit Garuda sendiri mengarah ke Filipina, dan yang menyedihkan, operator satelit Filipina tersebut tidak dibebani biaya hak penggunaan (BHP) satelit atau universal service obligation (USO). Adiwoso berjanji akan mengecek hal itu.
Angkasa Indonesia makin teracak-acak dengan adanya peluncuran satelit Protostar yang diklaim Indovision merupakan satelit miliknya. Padahal, menurut situs resmi Protostar dan SES SA, status mereka adalah payload atau menyewa selama 15 tahun atau seumur dengan satelit tersebut di S-Band.
Entah kenapa, keberadaan satelit yang merupakan satelit asing tersebut sama sekali “tidak diganggu” pemerintah. Bahkan, Kemenkominfo terkesan melindunginya dengan memperjuangkan filing satelit baru untuk satelit asing tersebut di 108,2 oBT, meski Indonesia sebenarnya sudah memiliki filing di 107,7 oBT.

//Kerugian negara//
Sangat janggal apabila pemerintah melepas 107,7oBT dan memperjuangkan 108,2 oBT yang mungkin baru bisa dimiliki setelah 7 tahun. Dan selama itu lah, satelit asing milik Protostar yang kemudian dibeli oleh SES SA bebas memberikan layanan di Indonesia melalui Indovision tanpa mengurus hak labuh, apalagi dikenai BHP satelit atau USO.
Slot orbit 107,7 oBT secara otomatis tidak bisa digunakan karena akan berinterferensi dengan slot di dekatnya, yaitu 108,2 oBT. Apabila praktik semacam ini terus dilanggengkan, maka Indonesia sebenarnya kehilangan pajak satelit dan dana USO yang lumayan besar. Apalagi, kinerja satelit tersebut tanpa hak labuh sehingga angkasa Indonesia seakan teracak-acak.
Sekretaris Perusahaan Indovison Arya Mehendra berulang kali mengungkapkan pihaknya memegang kendali satelit Indostar 2/SES 7 pada S-Band dan memiliki satelit bumi di Indonesia.
Penanganan kehadiran operator satelit asing yang memenuhi angkasa Indonesia memerlukan koordinasi dari Kementerian Kominfo, Kemenhuk dan HAM, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di bawah Koordinasi Kementerian Perekonomian.
Kementerian Kominfo harus fokus pada pemanfaatan dan optimalisasi filing slot orbit satelit, BKPM akan menangani persoalan PMA, dan Kemenhuk dan HAM menangani soal badan hukum.
Selama ini operator satelit asing yang bekerja sama dengan operator satelit lokal bebas menjalankan bisnisnya menggunalan filing Indonesia dan memancarkan satelit ke negaranya. Selama BKPM belum menetapkan status PMA dan Kemenhuk dan HAM belum menetapkan badan hukum kepada mereka, maka selamanya mereka bebas menggunakan filing satelit kita, padahal filing dan slot orbit merupakan sumber daya yang terbatas.(arif.pitoyo@bisnis.co.id)

Monday, December 27, 2010

BKPM perlu tangani operator satelit asing



Regulator telekomunikasi mendesak Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) perlu turun tangan dalam menangani kerja sama satelit yang berupa kondosatelit.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengatakans elama ini operator satelit asing yang bekerja sama dengan operator satelit lokal bebas menjalankan bisnisnya menggunalan filing Indonesia dan memancarkan satelit ke negaranya.
“Selama BKPM belum menetapkan badan hukum kepada mereka, maka selamanya mereka bebas menggunakan filings atelit kita, padahal filing dan slot orbit merupakan sumber daya yang terbatas,” katanya kepada Bisnis hari ini.
Jenis kondosatelit yang dikenal saat ini adalah antara PT Media Citra Indostar (MCI/Indovision) dengan SES SA asal Prancis di mana MCI menyewa S-band dari satelit SES 7/Indostar 2 untuk menyiarkan layanan Indovision.
Kondosatelit lainnya adalah antara PT Pasifik Satelit Nusantara dengan Mabuhay Philippines Satellite Corporation (MPSC) dalam satelit Garuda/Mabuhay di mana PSN hanya memegang kepemilikan 35%.
Selama ini, kata Nonot, yang membayar pajak berupa BHP satelit dan pungutan USO (universal service obligation) hanya operator dari Indonesia, yaitu Indovision dan PSN.
Sementara itu, Pemerintah akan menaikkan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi broadcasting baik televisi free to air maupun satelit untuk mencegah pemborosan penggunaan spektrum dan meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Direktur Spektrum Frekuensi dan Orbit Satelit Kemenkominfo Tulus Rahardjo mengungkapkan pemerintah dan regulator akan membebankan biaya frekuensi yang adil baik terhadap telekomunikasi maupun broadcasting.
“Sangat setuju apabila BHP pita segera diterapkan baik kepada sektor telekomunikasi maupun broadcasting untuk mendorong optimalisasi penggunaan frekuensi,” katanya kepada Bisnis hari ini.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Postel, sektor telekomunikasi hanya menguasai sekitar 585 MHz, sementara broadcasting menguasai hampir 1.200 MHz.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Perusahaan PT Media Citra Indostar (MCI/Indovision) Arya Mahendra Sinulingga mengatakan fungsi telekomunikasi dan penyiaran adalah berbeda. Telekomunikasi itu langsung dipakai langsung dapat uang, sedangkan penyiaran ada unsur sosial, budaya, dan politiknya yang kental untuk membangun bangsa.
“Ini hanyalah lagu lama, usaha-usaha dari telekomunikasi untuk mengambil frekuensi penyiaran. Sebaiknya jangan hanya mikir uang saja,” tegasnya.(api)

BHP frekuensi broadcasting akan dinaikan


JAKARTA: Pemerintah akan menaikkan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi broadcasting baik televisi free to air maupun satelit untuk mencegah pemborosan penggunaan spektrum dan meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Direktur Spektrum Frekuensi dan Orbit Satelit Kemenkominfo Tulus Rahardjo mengungkapkan pemerintah dan regulator akan membebankan biaya frekuensi yang adil baik terhadap telekomunikasi maupun broadcasting.
“Sangat setuju apabila BHP pita segera diterapkan baik kepada sektor telekomunikasi maupun broadcasting untuk mendorong optimalisasi penggunaan frekuensi,” katanya kepada Bisnis hari ini.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Postel, sektor telekomunikasi hanya menguasai sekitar 585 MHz, sementara broadcasting menguasai hampir 1.200 MHz.
Namun, meski memiliki spektrum lebih kecild ari broadcasting, sektor telekomunikasi menyumbang 90% dari BHP frekuensi, yaitu mencapai Rp5,13 triliun pada tahun ini. Adapun sektor penyiaran hanya menyumbang Rp20 miliar sepanjang 2010.
Grup Media Citra Indostar misalnya, hanya membayar BHP frekuensi sebesar Rp2 miliar per tahun, sedangkan BHP frekuensi yang didapat dari operator satelit mencapai Rp10 miliar.
Tulus melanjutkan BHP pita akan diterapkan bagi besaran pita yang digunakan secara eksklusif dan bernilai ekonomis.
Sebelumnya, pendiri Center for Indonesia Telecommunications Regulation Study Asmiyati Rasyid mengungkapkan pemerintah perlu mengurangi alokasi spektrum broadcasting dan telekomunikasi yang kurang dimanfaatkan secara optimal.
Berdasarkan data Citrus, lebar spektrum untuk Telkomsel totalnya mencapai 80 MHz dengan jumlah pelanggan 130 juta orang, XL dengan 40 MHz memiliki lebih dari 30 juta pelanggan, dan Natrindo Telepon Seluler (NTS) yang memiliki lebar pita sama dengan XL hanya memiliki 8 juta pelanggan.
“Pemerintah harus tegas, karena pada dasarnya tidak ada operator kecil, yang ada hanya operator yang malas untuk membangun jaringan. Sosialisasi BHP berdasarkan pita sudah dilakukans ejak 1997, jadi sudah cukup bagi pemerintah memberi waktu,” tutur Asmiyati.
Terkait dengan alokasi pita untuk broadcasting, Asmiyati mengungkapkan MCI terlalu besar menguasai pita 2,5 GHz, padahal sesuai dengan standar International Telecommunication Union (ITU), pita 2,5 GHz diperuntukkan bagi mobile services, baikd alam bentuk WiMax atau LTE (Long Term Evolution).
Menanggapi hal itu, Sekretaris Perusahaan PT MCI Arya Mahendra Sinulingga mengatakan fungsi telekomunikasi dan penyiaran adalah berbeda. Telekomunikasi itu langsung dipakai langsung dapat uang, sedangkan penyiaran ada unsur sosial, budaya, dan politiknya yang kental untuk membangun bangsa.
“Ini hanyalah lagu lama, usaha-usaha dari telekomunikasi untuk mengambil frekuensi penyiaran. Sebaiknya jangan hanya mikir uang saja,” tegasnya.
Asmiyati menilai sejak liberalisasi televisi asing untuk swasta, layanan publik hanya berisi iklan-iklan konsumerisasi, adapun dari sisi ekonomi telekomunikasi lebih bagus meningkatkan pendapatan daerah.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengatakan saat ini BHP satelit masih berdasarkan ISR, yang sudah saatnya berbasis pita, karena itu ada rencana Direktorat Frekuensi untuk kesana.
“Tapi tentu ada pembobotan yang berbeda karena kebutuhan 1 kanal TV sama dengan 1.000 kali voice.
Harusnya BHP broadcast dinaikan ke level yang wajar,” katanya.(api)

Wednesday, December 1, 2010

Manajemen lisensi telekomunikasi lebih banyak by accident

JAKARTA: Pemberian lisensi telekomunikasi di Indonesia dinilai masih menganut manajemen by accident.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengatakan hingga saat ini pemberian lisensi tidak berdasarkan desain dan lebih banyak menggunakan manajemen accident.

“Hal ini dipicu oleh Indonesia belum memiliki roadmap telekomunikasi yang jelas. Kami di BRTI sudah beberapa kali memberi masukan mengenai roadmap tersebut kepada pemerintah dan DPR,” katanya kepada Bisnis hari ini.

Menurut dia, transisi dari monopoli ke oligopoli belum pernah dikawal oleh regulasi. Selain itu, kata Nonot, jaringan Internet yang sudah membesar menjelang 2000 juga tidak diakomodasi di UU Telekomunikasi No. 36/1999.

Lisensi dengan manajemen by accident, menurut Nonot, berisiko perubahan struktur bisnis dari pola PSTN yang vertically-integrated (operator besar) menjadi kolaborasi pengusaha besar dan kecil akibat booming Internet dengan sistem kompetisi terbuka menjadi tidak terkontrol.

“Investasi jaringan serat optik juga menjadi sangat boros karena smeua pemain bernafsu untuk memiliki semua hal. Begitu pula investasi di semua segmen,” katanya.

Akibatnya, utilisasi infrastruktur menjadi sangat rendah akhirnya tarif on-net malah ngawur, belum lagi ditanbah kepanikan untuk tampil cantik di bursa saham.

Terkait dengan rencana pemberian lisensi seluler kepada PT Bakrie Telecom Tbk, Sekjen Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Mas Wigrantoro Roes Setiadi mengatakan tidak ada yang berubah apabila Esia diberi lisensi tersebut. “Selama ini CDMA merupakan teknologi seluler, jadi tidak perlu diributkan.”

Menurut dia, CDMA termasuk teknologi seluler yang bisa digunakan untuk layanan mobile dan atau fixed. Untuk menentukan layanan didasarkan pada perizinan, sebagaimana Mobile-8 yang memperoleh izin seluler dari sebeluimnya hanya FWA (fixed wireless access) di teknologi CDMA.(api)

3 Operator minta penurunan tarif

JAKARTA: Tiga operator telekomunikasi seluler diketahui meminta penurunan tarif interkoneksi hingga 30%-35% kepada pemerintah dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Ketiga operator seluler tersebut meliputi PT XL Axiata, PT Natrindo Telepon Seluler, dan PT Hutchison CP Telecommunication.

“Perhitungan kami setidaknya turun 40% karena cost rata-rata per menit industri setidaknya telah turun 50%,” ujar Presdir XL Axiata Hasnul Suhaimi kepada Bisnis hari ini.

Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) telah menetapkan penurunan tarif interkoneksi sekitar 4%-6% tahun ini. Kesepakatan tersebut baru berlaku bila sudah ada persetujuan dari Menkominfo.

Menkominfo Tifatul Sembiring mengaku masih belum memutuskan penetapan tarif interkoneksi tersebut.

Anggota BRTI Nonot Harsono mengungkapkan operator tidak berhak menolak penetapan tarif oleh regulator karena evaluasi tarif merupakan tugas berkala dari BRTI.

“Metode hitung disepkati, timeline disepakati, masukan dan usulan juga sudah disepakati semua, jadi hasilnya tidak boleh ditolak,” ujarnya.

Menurut dia, adanya penurunan tarif dikhawatirkan malah menurunkan kualitas layanan telekomunikasi, dan dimanfaatkan sejumlah operator untuk berjualan gratis.

BRTI diketahui menerima permintaan penurunan tarif telekomunikasi sebesar 30%-35% dari Pt XL Axiata, PT Natrindo Telepon Seluler, dan Pt Hutchison CP.

Penurunan tarif interkoneksi yang akan ditetapkan Kementerian Komunikasi dan Informatika dinilai terlalu kecil karena average revenue per minute (ARPM) operator besar sudah turun lebih dari 100%.

Mantan Dirut Indosat Johnny Swandi Sjam mengatakan regulator dan pemerintah seharusnya menetapkan tarif interkoneksi berdasarkan ARPM tiga operator besar, yaitu Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat.

“Tinggal membagi dua ARPM operator besar tersebut, maka itu lah yang disebut tarif interkoneksi dan sudah memberikan keuntungan yang besar kepada operator,” katanya kepada Bisnis hari ini.

Apabila dilihat ARPM Indosat pada 2008, katanya, maka nilainya saat itu adalah Rp250 dan saat ini sudah turun hingga mencapai sekitar Rp100, berarti turun lebih dari 100%.

Mantan Dirut Indosat tersebut mengungkapkan apabila penurunan tarif hanya sekitar 4%-6% tentunya itu terlalu kecil dibandingkan dengan keuntungan riil yang didapat operator setiap menitnya.

Penetapan secara sepihak oleh BRTI tersebut disesalkan oleh pengguna telekomunikasi di Indonesia. Melalui Indonesia Telecommunication User Group (Idtug), pengguna telekomunikasi menyesalkan penetapan tarif oleh BRTI tanpa adanya konsultasi publik seperti biasanya.

“Budaya konsultasi publik sebelum menetapkan kebijakan seakan hilang dalam penetapan tarif interkoneksi tersebut. Ada apa ini? Padahal pengguna berharap penurunannya lebih besar lagi, sampai lebih dari 40% agar semua masyarakat bisa turut menikmati komunikasi yang murah,” tegas Sekjen Idtug Muhammad Jumadi.(api)