Wednesday, October 29, 2008

BRTI, beriak hanya di tepian





Oleh Arif Pitoyo



Dua periode sudah lembaga yang bernama Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia atau BRTI itu berkiprah di ranah telekomunikasi di Indonesia. Kehadirannya memang tidak terlalu terasa bagi masyarakat luas, tetapi sedikit banyak kiprahnya memang cukup berarti bagi perkembangan industri telekomunikasi di Tanah Air.
Selama ini, BRTI telah meletakkan dasar-dasar kebijakan telekomunikasi di Indonesia menuju era liberalisasi, meski di akui, masih semi monopolistik.
Betapa tidak? Liberalisasi semu bisa dilihat dari masih dimonopolinya kode akses oleh Telkom, meski diakui itu juga merupakan kesalahan Inodsat yang tak juga membangun jaringan tetap kabelnya.
Monopoli jaringan tetap Telkom menyebabkan semua operator yang akan melakukan panggilan interlokal harus membayar biaya terminasi ke operator incumbent tersebut. Hal ini menyebabkan biaya yang ditanggung masyarakat pengguna masih sangat besar.
Mengenai masalah ini, BRTI ternyata tidak terlalu sakti dan hanya bisa membuka kode akses untuk Indosat di Balikpapan. Padahal, sebentar lagi akan segera hadir operator SLJJ baru yang tentunya butuh kode akses juga.
BRTI juga tidak memiliki senjata regulasi mematikan untuk memberikan efek jera kepada operator telekomunikasi, terutama yang merugikan pelangganya. Tengok saja, penyebaran data pelanggan suatu operator besar kepada pihak ketiga hanya dianggap angin lalu oleh lembaga yang dibentuk berdasarkan UU tersebut.



Lalu masalah tumbangnya jaringan sejumlah operator beberapa tahun lalu dan tahun ini juga tak tersentuh sanksi BRTI. Sanksi denda yang sejak 2 tahun lalu sudah disebut-sebut Menkominfo Sofyan A. Djalil hanyalah janji dan retorika biasa saja, dan hanya sebagai senjata regulator itu untuk menakut-nakuti penyelenggara. Namun kenyataannya, operator bergeming dan sangat bernyali di hadapan para regulator yang masih muda usia tersebut.
Kecilnya pengaruh dan wibawa BRTI juga bisa dilihat minimnya pimpinan tertinggi operator untuk bertemu dan bertatap langsung dengan regulator dalam suatu suasana yang resmi dan formal menyangkut sebuah kasus.



BRTI juga tak punya nyali menghadapi sikap operator yang jelas-jelas membangkang dan mengangkangi keputusan menteri terkait dengan sistem kliring trafik telekomunikasi.
Keputusan lelang yang jelas-jelas sudah diumumkan sejak 2004 sampai sekarang tak kunjung terlaksana. BRTI juga tak bisa bersikap tegas terhadap PT Pratama Jaringan Nusantara yang hingga kini belum juga menggelar SKTT. BRTI tak bisa mengambil jalan tengah dan solusi yang strategis, terutama menyangkut keberadaan PT PJN yang hingga kini masih dipertanyakan keabsahan hasil lelangnya, karena disinyalir merupakan penunjukan langsung oleh Dirjen Postel saat itu.



Itu lah BRTI, rekam jejaknya hanya terdengar di tepian saja, dan belum bisa menggapai gelombang besar di tengah, karena tentunya benturan kebijakan yang berbau politis akan menghadangnya, dan lembaga itu tidak memiliki senjata untuk menangkisnya.
Menjelang terpilihnya para anggota BRTI yang baru, seharusnya pemerintah dan DPR memperkuat landasan hukum lembaga tersebut dan segera melengkapinya dengan senjata regulasi agar memiliki kekuatan menjatuhkan sanksi.
Selamat bekerja BRTI

Qtel permainkan regulasi telekomunikasi di Indonesia



Oleh Arif Pitoyo



Baru-baru ini, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Ahmad Fuad Rahmany dan Menkominfo Mohammad Nuh menyatakan Qtel boleh memiliki saham di Indosat sampai 65%.
Pernyataan ini saya nilai sangat-sangat aneh dan bisa menjadi bola panas pemerintah di kemudian hari. Selain melanggar ketentuan Daftar Negatif Investasi (DNI), pernyataan ini jelas sangat jauh dari nilai-nilai nasionalisme, apalagi saat ini Indonesia tengah merayakan Hari Sumpah Pemuda.
Menkominfo dan Ketua Bapepam hanya ingin menunjukkan bahwa aset negara bisa dijual ke asing. Bukannya membeli saham asing di Indosat seperti yang diharapkan sebagian masyarakat Indonesia dan cita-cita pendiri bangsa, ini malah merelakan asing untuk menjadi mayoritas penuh di bekas BUMN telekomunikasi tersebut.
Bagaimana tidak? Dalam Perpres mengenai Daftar Negatif Investasi, Indosat sebagai pemilik lisensi jaringan tetap hanya boleh dimiliki asing hingga 49%, sebagaimana Telkom maupun Bakrie Telecom (operator Esia).
Perpres tersebut tidak berlaku bagi investasi lama, tetapi sangat mengikat kepada investasi asing baru. Jadi selayaknya Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia langsung mencabut lisensi jaringan tetap Indosat bila Qtel sudah menguasai saham sampai 65%.
Lisensi jaringan tetap di Indosat juga selama ini lebih banyak menganggur dan tidak dimanfaatkan secara optimal oleh operator tersebut. Bayangkan saja, dis aat operator lain seperti Esia dan Telkom sudah memiliki pelanggan lebih dari 7 juta orang, Indosat masih berkutat pada jumlah pelanggan jaringan tetap 600.000, itu pun semuanya nirkabel, bukannya kabel seperti lisensi yang diberikan.
Sangat disayangkan bila telekomunikasi yang memiliki nilai bisnis hingga Rp60 triliun setiap tahunnya lebih banyak dinikmati asing. Setiap pulsa dan detik yang kita manfaatkan untuk menelpon, hampir seluruhnya disetorkan ke asing.

Tuesday, October 28, 2008

Qtel permainkan regulasi telekomunikasi di Indonesia



Oleh Arif Pitoyo
Baru-baru ini, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Ahmad Fuad Rahmany dan Menkominfo Mohammad Nuh menyatakan Qtel boleh memiliki saham di Indosat sampai 65%.
Pernyataan ini saya nilai sangat-sangat aneh dan bisa menjadi bola panas pemerintah di kemudian hari. Selain melanggar ketentuan Daftar Negatif Investasi (DNI), pernyataan ini jelas sangat jauh dari nilai-nilai nasionalisme, apalagi saat ini Indonesia tengah merayakan Hari Sumpah Pemuda.
Menkominfo dan Ketua Bapepam hanya ingin menunjukkan bahwa aset negara bisa dijual ke asing. Bukannya membeli saham asing di Indosat seperti yang diharapkan sebagian masyarakat Indonesia dan cita-cita pendiri bangsa, ini malah merelakan asing untuk menjadi mayoritas penuh di bekas BUMN telekomunikasi tersebut.
Bagaimana tidak? Dalam Perpres mengenai Daftar Negatif Investasi, Indosat sebagai pemilik lisensi jaringan tetap hanya boleh dimiliki asing hingga 49%, sebagaimana Telkom maupun Bakrie Telecom (operator Esia).
Perpres tersebut tidak berlaku bagi investasi lama, tetapi sangat mengikat kepada investasi asing baru. Jadi selayaknya Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia langsung mencabut lisensi jaringan tetap Indosat bila Qtel sudah menguasai saham sampai 65%.
Lisensi jaringan tetap di Indosat juga selama ini lebih banyak menganggur dan tidak dimanfaatkan secara optimal oleh operator tersebut. Bayangkan saja, dis aat operator lain seperti Esia dan Telkom sudah memiliki pelanggan lebih dari 7 juta orang, Indosat masih berkutat pada jumlah pelanggan jaringan tetap 600.000, itu pun semuanya nirkabel, bukannya kabel seperti lisensi yang diberikan.
Sangat disayangkan bila telekomunikasi yang memiliki nilai bisnis hingga Rp60 triliun setiap tahunnya lebih banyak dinikmati asing. Setiap pulsa dan detik yang kita manfaatkan untuk menelpon, hampir seluruhnya disetorkan ke asing.

Thursday, October 23, 2008

Astro dan Konflik yang Menyertainya Sejak 2005


Oleh: Arif Pitoyo

Saya sudah mengikuti kasus Astro sejak 2005, saat di mana Sofyan Djalil baru saja dilantik sebagai Menkominfo. Pertanyaan pertama yang muncul sesaat setelah acara serah terima jabatan Menkominfo dengan Syamsul Mu'arif dari saya adalah bagaimana pandangannya mengenai masuknya Astro ke Indonesia.

Saat itu ada raut muka dan pandangan kaget dari Sang Menteri karena pertanyaan itu dianggap terlalu tiba-tiba dan mendadak dan dia juga baru menjabat posisi tersebut belum lama.
Masuknya Astro ke Indonesia memang sangat kontroversial dan banyak menabrak hukum dan regulasi di Tanah Air.

Setelah gagal masuk melalui UU Penyiaran No. 32/2002 tentang Penyiaran, operator televisi berbayar asal Malaysia yang di Indonesia menggandeng Grup Lippo itu kemudian masuk melalui UU Telekomunikasi No. 36/1999.

Adalah sangat aneh juga bila Astro kemudian mendapatkan izin dari Direktorat Pos dan Telekomunikasi untuk masuk ke Indonesia mengingat sesuai UU Telekomunikasi, satelit yang bekerja dan melayani konsumen di Indonesia harus memiliki hak labuh di Indonesia.
Astro, yang menggunakan satelit Measat-2 dan 3 sama sekali tidak memenuhi persyaratan tersebut. Meski tidak menuduh apakah ada “sesuatu” dalam proses perizinan tersebut, namun tak ada salahnya bila pihak berwenang menyelidiki hal tersebut.

Proses perizinan dan masuknya Astro terjadi pada saat Dirjen Postel dijabat oleh Djamhari Sirat, sementara Dirjen Postel sekarang, Basuki Yusuf Iskandar, baru menjabatnya sekitar Juni 2005.
Kemudian bila dilihat dari sisi UU Penyiaran, operator tersebut tidak memenuhi persyaratan kepemilikan saham, bahkan diduga sampai saat ini, yaitu kepemilikan asing lebih dari 25%. Untuk membuktikannya, pihak yang berwenang mungkin bisa mengecek arsip mengenai besarnya pemilik dan besaran sahamnya Astro yang masih tersimpan di Departemen Hukum dan HAM.

Bukti lain bahwa prizinan Astro bermasalah adalah masuknya kasus perizinan Astro ke Bareskrim Polri, namun hibngga saat ini hasil penyelidikan yang terkesan dilakukan secara diam-diam hasilnya tidak pernah diumumkan ke publik.


Maka sangat aneh bila ada pernyataan bahwa Depkominfo berpeluang mengajukan pencabutan izin siaran PT Direct Vision (PT DV) selaku operator tv berbayar Astro kepada pengadilan negeri, karena yang seharusnya bertanggung jawab atas penberian izin tersebut adalah departemen tersebut.


foto:ey.com