Wednesday, July 20, 2011

Telekomunikasi RI dikepung asing


Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya, Indonesia sejak dulu kala, slalu di puja puja bangsa..







Itulah penggalan lagu Indonesia Pusaka yang pada zaman kemerdekaan sangat menggugah rasa nasionalisme setiap orang.



Kemerdekaan yang dimaksud bukan hanya di daratan dan laut saja, tetapi juga di dalam bumi, di udara, bahkan di ruang angkasa Indonesia.



Berbagai pernyataan para pemimpin kita di zaman revolusi sifatnya memang untuk membangkitkan semangat berkorban bagi kepentingan bangsa, dan itu telah berhasil mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat.



Sejalan dengan bergulirnya waktu, bangsa Indonesia telah mengalami pasang surut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik secara politik maupun ekonomi.



Kalau pada saat pemerintahan Orde Lama, bangsa Indonesia didorong untuk benar-benar mampu berdiri di atas kaki dan kemampuan sendiri, dan bersifat protektif dari intervensi dan pengaruh asing, hal itu berbanding terbalik dengan masa pemerintahan Orde Baru.



Salah satu penggerak rode perekonomian Orde Baru adalah didorongnya paket kebijakan untuk mendatangkan investasi asing di Indonesia.



Salah satu kebijakan yang pertama kalinya diluncurkan adalah perubahan tentang pengelolaan bahan galian dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.



Kebijakan mengundang investasi asing bidang pertambangan bahan galian golongan strategis dan vital, merupakan kebijakan antitesis dari kebijakan pemerintahan Orde Lama.





Hal yang hampir sama juga terjadi di sektor telekomunikasi. Bedanya, sejak zaman kolonial industri telekomunikasi telah dikuasai asing di mana Telkom baru berdiri.



Indosat pun sejak awal lahirnya pada 1967 tak luput dari peran pemodal asing. Baru pada 1980 pemerintah Indonesia mengambil alih seluruh saham Indosat, sehingga menjadi BUMN.



Namun, ternyata asing kembali lagi bermain pada 1993. Saat itu, kebijakan pemerintah RI menempatkan Telkom dan Indosat sebagai dua penyelenggara telekomunikasi lokal yang melakukan praktik monopoli.



Karena keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah maupun operator telekomunikasi, maka pembangunan infrastruktur telekomunikasi khususnya jaringan telekomunikasi tetap (fixed wireless) lokal saat itu dilakukan melalui pengikutsertaan modal asing.



UU No. 3/1989 tentang Telekomunikasi dan PP No. 8/1993 serta Kepemenparpostel No. 39/1993 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi Dasar memungkinkan kerja sama antara Telkom atau Indosat dengan perusahaan lain dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi dasar.



Ketiga regulasi itu menetapkan bahwa kewajiban kerja sama antara badan penyelenggara dan badan lain dalam penyelenggaraan telekomunikasi dasar dapat berbentuk usaha patungan (join venture), kerja sama operasi (KSO) atau kontrak manajemen (KM).



Memang benar seperti dinyatakan dalam PP No. 20/1994 tentang pemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka PMA: penanaman modal bidang usaha telekomunikasi dapat dilakukan oleh penanam modal asing patungan asal kepemilikan peserta Indonesia minimal 5% dari seluruh modal yang disetor.



Akan tetapi, dalam schedule of commitment traktat multilateral WTO, Indonesia menyatakan bahwa kepemilikan asing atas saham penyelenggara jasa telekomunikasi dasar dapat sampai 35%. Adapun aturan DNI (Daftar Negatif Investasi) di sebutkan bahwa asing dibatasi hingga 49% pada penyelenggara jaringan tetap dan 65% pada penyelenggara seluler.



Saat ini, kepemilikan asing di Smartfren Telecom mencapai 23,91%, Telkomsel 35%, Hultchinson 60%, Indosat 70%, XL Axiata 80%, dan Natrindo 95% dimiliki asing.



Lihat saja angka-angka tersebut. Wajar logikanya kalau disebutkan bahwa telekomunikasi di Indonesia sudah tidak berbendera Merah Putih lagi.



Kalau boleh diambil rata-ratanya, maka kepemilikan asing akan saham perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia mencapai angka 65%. Kepemilikan saham yang hampir mencapai 65% inilah celah keamanan yang tidak diperhatikan oleh aparat-aparat yang berkepentingan dalam hal ini.



Dengan angka rata-rata penguasaan saham hampir 65%, bisa dikatakan kekuatan bangsa ini di bidang telekomunikasi sudah mengkhawatirkan. Tidak perlu bicara mengenai perang intelijen dalam masalah penyadapan, berbicara masalah aturan main dan regulasi-kebijakan saja, tentunya kita sudah kalah, karena dalam konsep kapitalisme global, pemegang modal adalah penguasa.



Kedaulatan di angkasa



Sedikit diatasnya adalah aangkasa luar, yang sejatinya juga masih termasuk kedaulatan RI, yaitu tergambar dari sebuah infrastruktur yang disebut satelit.



Industri satelit, memang tak secemerlang seluler. Gaungnya tak terdengar sampai kepada pelosok dan penjuru Tanah Air. Maklum, industri yang sarat teknologi dan investasi itu hanya melayani konsumen perusahaan telekomunikasi, penyiaran/broadcasting, dan Internet.



Pada sudut pandang yang berbeda, konsumen dari satelit bisa juga datang dari kalangan militer atau lembaga penelitian sejenis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.



Meski tak secemerlang seluler, tetapi keberadaan satelit merupakan jaminan identitas suatu bangsa, dan sedikit di atasnya, satelit merupakan pertanda adanya suatu negara dan bangsa yang berdaulat.



Satelit Indonesia merupakan satelit yang didaftarkan ke ITU atas nama administrasi telekomunikasi Indonesia.



Dalam eksistensinya, satelit-satelit Indonesia tersebut diselenggarakan oleh para penyelenggara satelit Indonesia yang meliputi PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Media Citra Indostar, PT Pasifik Satelit Nusantara, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).



Kita pernah mencatat sejarah manis setelah berhasil meluncurkan satelit komunikasi domestik Palapa A-1 ke angkasa pada 9 Juli 1976, di saat angkasa Indonesia masih kosong dari satelit-satelit asing.



Bicara masalah satelit dalam kaitannya dengan harga diri suatu bangsa, Indonesia pernah kehilangan salah satu aset yang sangat berharga, yaitu slot satelit yang dinotifikasikan ke International Telecommunication Union (ITU). Tak tanggung-tanggung, kita sempat kehilangan 3 slot satelit!



Indosat misalnya, merupakan pengelola dua slot satelit yang sempat hilang, yaitu 113 derajat BT dan 150,5 derajat BT. Terakhir kita mendengar ke-3 slot tersebut sudah dapat diselamatkan lagi oleh pemerintah.



Kini, entah disadari pemerintah atau tidak, sejumlah pihak memberikan begitu saja filing satelit milik Indonesia ke pihak asing dan mengarahkan pancaran sinyal satelitnya (beam) ke negara lain, bukan ke Indonesia.



Sebut saja Satelit Garuda, yang ternyata lebih banyak dimiliki oleh Mabuhay Philippines Satellite Corporation (MPSC) daripada operator satelit Indonesia PT Pasifik Satelit Nusantara.



Kabarnya, menurut data dari Ditjen Postel dan Center for Indonesia Telecommunications Regulation Study (Citrus), malah PSN hanya memiliki 5% dalam satelit itu. Namun dalam konfirmasinya, Komisaris Utama PT PSN Adi Rahman Adiwoso mengatakan pihaknya memiliki 35% dalam satelit Garuda.



Beam dari satelit Garuda sendiri mengarah ke Indonesia, dan yang menyedihkan, operator satelit Filipina tersebut tidak dibebani biaya hak penggunaan (BHP) satelit atau universal service obligation (USO). Adiwoso berjanji akan mengecek hal itu.



Angkasa Indonesia makin teracak-acak dengan adanya peluncuran satelit Protostar yang diklaim Indovision merupakan satelit miliknya. Padahal, menurut situs resmi Protostar dan SES SA, status mereka adalah payload atau menyewa selama 15 tahun atau seumur dengan satelit tersebut di S-Band.



Entah kenapa, keberadaan satelit yang merupakan satelit asing tersebut sama sekali “tidak diganggu” pemerintah. Bahkan, Kemenkominfo terkesan melindunginya dengan memperjuangkan filing satelit baru untuk satelit asing tersebut di 108,2 oBT, meski Indonesia sebenarnya sudah memiliki filing di 107,7 oBT.



Sangat janggal apabila pemerintah melepas 107,7oBT dan memperjuangkan 108,2 oBT yang mungkin baru bisa dimiliki setelah 7 tahun. Dan selama itu lah, satelit asing milik Protostar yang kemudian dibeli oleh SES SA bebas memberikan layanan di Indonesia melalui Indovision tanpa mengurus hak labuh, apalagi dikenai BHP satelit atau USO.



Slot orbit 107,7 oBT secara otomatis tidak bisa digunakan karena akan berinterferensi dengan slot di dekatnya, yaitu 108,2 oBT. Apabila praktik semacam ini terus dilanggengkan, maka Indonesia sebenarnya kehilangan pajak satelit dan dana USO yang lumayan besar. Apalagi, kinerja satelit tersebut tanpa hak labuh sehingga angkasa Indonesia seakan teracak-acak.



Sekretaris Perusahaan Indovison Arya Mehendra berulang kali mengungkapkan pihaknya memegang kendali satelit Indostar 2/SES 7 pada S-Band dan memilikis atelit bumi di Indonesia.



Penanganan kehadiran operator satelit asing yang memenuhi angkasa Indonesia memerlukan koordinasi dari Kementerian Kominfo, Kemenhuk dan HAM, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di bawah Koordinasi Kementerian Perekonomian.



Kementerian Kominfo harus fokus pada pemanfaatan dan optimalisasi filing slot orbit satelit, BKPM akan menangani persoalan PMA, dan Kemenhuk dan HAM menangani soal badan hukum.



Selama ini operator satelit asing yang bekerja sama dengan operator satelit lokal bebas menjalankan bisnisnya menggunalan filing Indonesia dan memancarkan satelit ke negaranya. Selama BKPM belum menetapkan status PMA dan Kemenhuk dan HAM belum menetapkan badan hukum kepada mereka, maka selamanya mereka bebas menggunakan filing satelit kita, padahal filing dan slot orbit merupakan sumber daya yang terbatas.

No comments: