Friday, July 22, 2011

Prita, dan wajah cyber law kita

Adanya kenyataan bahwa polisi Internet Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Indonesian Security Incident Response Team on Internet (ID-SIRTII) kekurangan dana untuk menjalankan fungsinya secara optimal sangat membuat kita prihatin.





Karena itu artinya, RI masih menafikan persoalan keamanan digital, di tengah sebagian besar negara di dunia sangat memberikan perhatian terhadapnya.





Betapa tidak, lembaga yang sebetulnya sangat diandalkan sebagai penjaga ruang cyber di Tanah Air ternyata sangat kesulitan untuk mempertahankan kehidupannya sendiri.





Meski tidak banyak bicara, saya rasa setiap negara sudah menyiapkan diri menghadapi cyberwar.

Cyber-Hankamrata mungkin sebuah ide yang tidak berlebihan, namun tetap perlu kekuatan central yang kuat, mengingat komunitas ini cenderung tertutup dan bergerak-maya, konsep intelijen keluar dan ke dalamnya lebih rumit.





Kalau negara seperti AS, wilayah pertahanannya (matra) ada lima. Selain yang tradisional (darat, laut, udara), ada tambahan yaitu outer space dan cyber space.





Saat ini, upaya ke arah pembentukan angkatan ke-4 cyber defense baik itu dilakukan Kementerian Pertahanan maupun Kementerian Komunikasi dan Informasi sudah terlihat dalam diri ID-SIRTII meski perkembangannya tidak seperti yang diharapkan.





Tentu proses ini membutuhkan waktu dan berjalan disesuaikan dengan skala prioritas serta kemampuan negara. Upaya ini masih ditambah perkuatan dari inisiatif intelijen yang berjalan terpisah.





Kehadiran Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebenarnya dapat meningkatkan keamanan dan kenyamanan, terutama nasabah bank saat melakukan kegiatan perbankan melalui sistem elektronik yang disediakan bank. Ada beberapa alasannya.



Pertama, UU ITE menegaskan bahwa bank, sebagai pihak yang menyelenggarakan

sistem elektronik dalam memfasilitasi pelayanan jasa bank via Internet (e-banking),

bertanggung jawab secara hukum terhadap kerugian yang dialami nasabah berkaitan dengan pemanfaatan layanan yang disediakannya.



Kedua, UU ITE mengharuskan bank untuk menyelenggarakan sistem elektronik yang andal dan aman, serta bertanggung jawab terhadap operasional sistem elektroniknya.



Bank juga wajib mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam UU ITE.



Ketiga, dalam UU ITE, ada pengakuan terhadap kontrak elektronik, yaitu perjanjian yang dibuat melalui sistem elektronik.



Laporan transaksi perbankan via e-mail, yang menunjukkan adanya penawaran dan persetujuan yang melibatkan nasabah, dapat juga dianggap sebagai kontrak elektronik.



Keempat, UU ITE menegaskan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Jika nasabah menggunakan e-banking untuk transaksi perbankannya, maka laporan

mutasi rekening miliknya pada sistem elektronik yang disediakan bank dan hasil cetaknya dapat menjadi alat bukti yang sah.



Kelima, UU ITE mengatur lebih jelas mengenai kejahatan terhadap sistem informasi, sehingga memudahkan aparat penegak hukum untuk menindaklanjutinya.



Selain itu, terdapat pula sanksi berat bagi orang yang mengganggu atau menerobos sistem pengamanan elektronik secara ilegal. Dengan demikian, siapa pun akan berpikir panjang untuk melakukan kejahatan terhadap e-banking.



Namun demikian, beberapa ketentuan dalam UU ITE masih perlu pengaturan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah, sperti misalnya Pasal 27 mengenai pencemaran nama baik, yang pekan ini kembali menjerat Prita Mulyasari, melalui keputusan kasasi Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan RS Omni International.



Di negara-negara maju yang beradab dan berbudaya, yang demokratis dan masyarakatnya saling menghormati, masalah pencemaran nama baik, dan atau fitnah diatur dalam UU.



Oleh karena itu, persoalan utama bukan hanya di kalimat pasal-pasal dalam UU,

melainkan dalam implementasi, penegakan hukumnya, juga di pemahaman masyarakat terhadap apa yang dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik, juga pada pemahaman masyarakat terhadap media baru (Internet) yang juga dapat digunakan sebagai alat untuk mencemarkan nama baik.



Dalam hal penyalahgunaan teknologi informasi tidak semuanya masuk dalam kategori pidana, karena harus dilihat konteks nya terlebih dahulu.



Betatapun UU-ITE baik sebagian besar atau hanya pasal 27 hendak diubah, atau dibuatkan PP yang menjabarkan pasal-pasal, bila akar permasalahan (the root of problems) tak pula dianjak pergi, dikikis habis, kasus-kasus semacam yang dialami Prita, dapat diramalkan kuat akan terjadi lagi, dan terus lagi.



Bila demikian silakan direnungkan apakah pencabutan UU-ITE, penghapusan pasal 27 UU-ITE, atau pembuatan PP akan menyelesaikan masalah atau bahkan menimbulkan masalah baru.

Menurut anggapan saya, bukan pasal 27-nya yang salah, tapi interpretasi aparat penegak hukum dan termasuk pihak pengacara Prita sendiri yang kurang memahaminya. Perkembangan teknologi informasi Internet memang terlalu cepat untuk diikuti oleh bidang keilmuan sosial atau hukum.



Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE yakni dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda 1 miliar rupiah. Pasal tersebut menyatakan: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.



Saya tidak sepakat dengan argumentasi bahwa pasal pencemaran sering digunakan untuk membungkam kritik masyarakat terutama di alam reformasi yang sangat terbuka selama ini.



Harus ada studi yang mendalam kasus per kasus menguji hipotesis ini. Jangan sampai kita mengambil kesimpulan keliru karena melakukan generalisasi hanya berdasarkan sekeping fakta dan sikap emosional.



Mari kita kritisi lagi secara obyektif, khususnya dalam kasus Prita. Apakah setelah itu keluhan masyarakat yang dirugikan oleh suatu layanan berhenti dan terbungkam?



Apakah milis kita lantas sepi dari curhat serupa? Di setiap media sosial, blog dan ruang jurnalisme masyarakat bahkan justru semakin marak kritik bahkan protes terbuka.



Apakah benar mereka takut? Terus terang saya tidak melihat ada bukti premise ini. Argumentasi, opini, kekhawatiran para pemerhati ya memang ada dan banyak serta terus menerus dieksploitasi terutama sebagai alat untuk menyudutkan dengan dalih kritik terhadap instansi dan pejabat tertentu walaupun sebenarnya masalah ini bukan menjadi tanggung jawab dan wewenang mereka.



Kemudian apakah semua kekhawatiran itu faktual atau baru sekedar "kalau"? Adakah riset yang mengujinya? Justru faktanya saya melihat kasus Prita semakin memotivasi masyarakat untuk berbicara bahkan berbalik melakukan intimidasi kepada aparat penegak hukum.



Kita masih ingat kelakar yang banyak beredar, polisi dan jaksa sekarang takut "di-koin-kan". Kita juga sebenarnya yang rugi kalau penegak hukum enggan bekerja dan sulit obyektif karena terlalu banyaknya sorotan serta komentar yang mempengaruhi.



Kalau melihat kasus Prita sesungguhnya adalah masuk kategori dispute konsumen.



Sejatinya prita mengeluhkan layanan kesehatan yang ruang lingkupnya adalah perdata, tidak ada hubungannya dengan kritik pada kekuasaan dan apalagi kebebasan berbicara atau berekspresi.



Saya justru heran mengapa arahnya jadi ke sana? Apa yang dilakukan oleh pihak korporasi dalam hal ini RS OMNI juga berada dalam ruang lingkup hak membela diri sebagai penyedia layanan.



Bahwa pasal yang digunakan kemudian adalah kriminalisasi (pidana) maka yang seharusnya dikritisi adalah para pengacara yang membawa dan mensikapi masalah itu kepada penegak hukum.



Pertanyaan besarnya justru tidak terjawab, mengapa para pengacara ini tidak menggunakan ketentuan di dalam UU Konsumen untuk menyelesaikan dispute antara penyedia layanan dengan penggunanya?



Seandainya sejak awal pengacara Prita menggunakan ketentuan dalam UU Konsumen, maka sudah jelas bahwa Prita tidak dapat disangkakan melakukan pencemaran karena apa yang dilakukannya adalah sesuai HAK sebagai konsumen.



Pasal 27 UU ITE justru melindungi siapapun yang menggunakan haknya tidak dapat dikenai persangkaan melakukan pencemaran yang mana itu justru tidak ada dalam KUHAP.



Ketidakcermatan dan ketidakcerdasan mereka yang ber-acara inilah yang menimbulkan polemik. Maka seharusnya mereka inilah yang dikoreksi oleh masyarakat. Tetapi mengapa justru berbelok menuding pemerintah dan pasal dalam UU yang bahkan sudah diputuskan sah oleh MK. Saya rasa kita sekarang ini memang hanya buang energi.(ea)

No comments: