Kali ini, USO digelar di tujuh blok meliputi Blok 1 yang mencakup NAD, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, Blok 2 Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung, Blok 3 Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, Blok 4 Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara, Blok 5 Papua dan Irian Jaya Barat, Blok 6 Bali, NTB, dan NTT, dan Blok 7 Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Propinsi DIY, dan Jawa Timur.
Masalah penomoran dan teknologi yang bisa dipakai untuk USO hingga persoalan Fundamental Technical Plan (FTP) masih belum terselesaikan. Pemerintah sepertinya sengaja mengebut sebelum periode masa kabinetnya berakhir. Image 'kejar setoran' pun tak terhindarkan lagi, bahkan sekadar mempertanyakan alasan mengapa ACeS tidak mengajukan banding ke tingkat Mahkamah Agung pun hanya sekadar angin lalu saja, dan sudah tidak perlu lagi.
Seperti diketahui, pemerintah pernah mengungkapkan pemenang USO harus membangun jaringan tetap kabel hingga ke perdesaan. Namun kali ini, sebagaimana peserta yang lolos seleksi, terlihat dengan teknologi seluler dan satelit pun, peserta diloloskan tahapan prakualifikasi.
“Pemenang USO nantinya bisa memanfaatkan jaringan dan teknologi yang dimilikinya. Bila punyanya seluler ya pakai seluler, bila satelit ya pakai satelit,” ujar Santoso Serad, Kepala Badan Telekomunikasi dan Informasi Pedesaan (BTIP).
Sebagaimana ACeS dahulu, yang diloloskan hingga ke tahapan pemberian penawaran harga, tetapi tiba-tiba terganjal masalah teknologi di tengah jalan.
Selanjutnya masalah penomoran juga memicu pertanyaan tersendiri, karena antara seluler, satelit, dan jaringan tetap memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Sementara tender-tender USO sebelumnya tak pernah mempermasalahkan hal tersebut, padahal UU Telekomunikasi No. 36/1999 sudah berlaku pada tender USO 2003 dan 2004.
Hal tersebut dijawab pemerintah dan panitia seleksi dengan rencana pemberian lisensi jaringan tetap kabel bagi pemenang USO.
Masalah datang lagi, karena sesuai dengan lisensi modern, pemberian sebuah lisensi telekomunikasi harus melalui pemberian komitmen pembangunan jaringan tetap setiap tahunnya.
Bila pemenangnya datang dari operator seluler, maka lisensi tersebut akan sia-sia saja, karena dana USO tentunya hanya untuk memperkuat dan melanjutkan jaringan yang sudah ada saja.
Dominasi Telkom
Masalah teknologi, penomoran, dan hal-hal teknis lainnya mungkin bisa diselesaikan sambil jalan saja. Namun munculnya dominasi Grup Telkom di hampir semua blok yang ditenderkan menimbulkan banyak pertanyaan. Bahkan di Blok 6 yang meliputi Bali, NTB, dan NTT semua peserta tender yang lolos merupakan anggota grup perusahaan tersebut.
Mungkin ini merupakan era monopoli gaya baru, meski berulangkali Ketua Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan Santoso Serad menampik hal tersebut karena bisa menjadi tidak monopoli bila Telkom tidak menang di semua blok.
Nyatanya, hanya ada satu perusahaan, yaitu PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia yang tidak memiliki afiliasi dengan BUMN telekomunikasi tersebut.
Melihat hal tersebut, maka kecil kemungkinannya tidak terjadi monopoli di USO. Dana USO sendiri berasal dari 1,25% pendapatan kotor penyelenggara jaringan, baik yang besar maupun yang kecil. Dengan hadirnya raksasa Telkom di tender USO, maka bisa dikatakan operator kecil mensubsidi Telkom untuk membangun jaringannya di seluruh Indonesia. Padahal sesuai dengan amanat UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi, maka sudah kewajiban Telkom lah membangun infrastruktur di seluruh pelosok negeri dengan biaya sendiri.
Sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda, Telkom sudah banyak dibantu dalam hal pengadaan jaringan. Bahkan mungkin hampir seluruh jaringan Telkom yang tertanam datang dari permodalan pemerintah zaman kolonial hingga pemerintah RI sampai awal 1990-an.
Karena keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah maupun operator telekomunikasi, maka mulai 1993, pembangunan infrastruktur telekomunikasi khususnya jaringan telekomunikasi tetap (fixed wireless) lokal saat itu dilakukan melalui pengikutsertaan modal asing.
Sekarang, grup tersebut mencoba mencari subsidi lain dalam membangun infrastruktur di daerah dengan mengikuti USO, dan sayangnya, panitia sepertinya tidak peka bahwa industri telekomunikasi pernah mengalami masa monopoli yang begitu kuat, saat di mana interkoneksi dipersulit, sistem kliring dikuasai, hingga masyarakat lah yang dikorbankan akibat dikenai tarif tinggi karena operator di luar Telkom harus membayar biaya terminasi dan transit yang tidak kecil.
Masyarakat berharap saat kelabu tersebut tidak terulang kembali dan keran liberalisasi benar-benar dibuka selebar-lebarnya.
Masalah juga timbul saat dibukanya penawaran tender karena pengaturan masalah harga pasti terjadi pada saat dalam satu blok berisi Grup Telkom. Yang paling signifikan adalah bila Telkom bertarung dengan Telkomsel dalam satu blok, karena Dirut Telkom Rinaldi Firmansyah juga menjabat sebagai komisaris utama di Telkomsel.
Apalagi, akhirnya pemennag tender USO di .lima blok adalah melalui penunjukkan langsung, yang artinya dapat dipastikan Grup Telkom lah pemenangnya.
Bila pada akhirnya Telkom sebagai entitas maupun grup yang memenangi semua blok, maka saya hanya bisa berfikir, “Buat apa ada tender USO? Apakah ini hanya sekadar basa-basi?”(arif.pitoyo@bisnis.co.id)