Oleh Arif Pitoyo
Baru-baru ini, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Ahmad Fuad Rahmany dan Menkominfo Mohammad Nuh menyatakan Qtel boleh memiliki saham di Indosat sampai 65%.
Pernyataan ini saya nilai sangat-sangat aneh dan bisa menjadi bola panas pemerintah di kemudian hari. Selain melanggar ketentuan Daftar Negatif Investasi (DNI), pernyataan ini jelas sangat jauh dari nilai-nilai nasionalisme, apalagi saat ini Indonesia tengah merayakan Hari Sumpah Pemuda.
Menkominfo dan Ketua Bapepam hanya ingin menunjukkan bahwa aset negara bisa dijual ke asing. Bukannya membeli saham asing di Indosat seperti yang diharapkan sebagian masyarakat Indonesia dan cita-cita pendiri bangsa, ini malah merelakan asing untuk menjadi mayoritas penuh di bekas BUMN telekomunikasi tersebut.
Bagaimana tidak? Dalam Perpres mengenai Daftar Negatif Investasi, Indosat sebagai pemilik lisensi jaringan tetap hanya boleh dimiliki asing hingga 49%, sebagaimana Telkom maupun Bakrie Telecom (operator Esia).
Perpres tersebut tidak berlaku bagi investasi lama, tetapi sangat mengikat kepada investasi asing baru. Jadi selayaknya Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia langsung mencabut lisensi jaringan tetap Indosat bila Qtel sudah menguasai saham sampai 65%.
Lisensi jaringan tetap di Indosat juga selama ini lebih banyak menganggur dan tidak dimanfaatkan secara optimal oleh operator tersebut. Bayangkan saja, dis aat operator lain seperti Esia dan Telkom sudah memiliki pelanggan lebih dari 7 juta orang, Indosat masih berkutat pada jumlah pelanggan jaringan tetap 600.000, itu pun semuanya nirkabel, bukannya kabel seperti lisensi yang diberikan.
Sangat disayangkan bila telekomunikasi yang memiliki nilai bisnis hingga Rp60 triliun setiap tahunnya lebih banyak dinikmati asing. Setiap pulsa dan detik yang kita manfaatkan untuk menelpon, hampir seluruhnya disetorkan ke asing.
No comments:
Post a Comment