Saturday, July 31, 2010

Sejarah Internet (2)



Internet di Indonesia pada awalnya hanyalah mainan pada akademisi. Sejak akhir 1980-an, Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia (Pusilkom UI) sudah menggunakan cc-TLD secara terbatas untuk mendukung Unix to Unix Copy Protocol (UUCP) dengan simpul indogtw.uucp.
Secara umum UUCP adalah protokol komunikasi antar komputer berbasis Unix, digunakan juga untuk berkirim dan menerima surat elektronik.
Saat itu, administrative contact ID-TLD pertama adalah Rahmat M. Samik-Ibrahim, salah seorang staf pengajar di Pusilkom UI. Menurut penuturannya dalam salah satu situsnya, banyak keluhan muncul dari komunitas Internet dunia. Penyebabnya, mereka tidak bisa me-reply e-mail dari Indonesia yang melalui simpul indogtw.uucp.
Muncullah desakan agar ID-TLD didaftarkan secara resmi. Karena berbagai alasan teknis dan untuk menghindari konsekuensi teknis dari pendaftaran ID-TLD, UI sejak 1998 hingga 1993 mendekati sejumlah pihak, termasuk Ditjen Postel, Indosat, Perumtel (kini Telkom) dan Lintasarta.
Pendekatan UI ini bertepuk sebelah tangan, perhatian terhadap Internet saat itu boleh dibilang tidak ada. Selanjutnya UI sebagai institusi akademis juga keberatan menindaklanjuti pendaftaran ID-TLD itu.
Samik-Ibrahim mencatat, desakan untuk mendaftarkan ID-TLD kembali menguat sejak Mei 1992. Hal ini dipicu meningkatnya pemakaian ID-TLD dan Domain Tingkat Dua (DTD) tidak resminya menyusul terbentuknya jaringan komputer antarinstansi yang pertama di Indonesia oleh kelompok kerja informal dari BPPT, LAPAN, STT Telkom dan UI.
Atas desakan itu, UI lalu mendaftarkan ID-TLD lewat UUNET di Amerika Serikat (AS). UUNET adalah salah satu PJI tertua dan terbesar di dunia. Penamaan domain di Indonesia mulai tertata, muncullah konvensi DTD dua huruf seperti go.id, co.id, dan net.id.
Lalu pada akhir 1994, Ipteknet yang mengelola ID-TLD dan DTD go.id sedianya juga ditugasi untuk mengelola DTD yang lain. Harapannya saat itu, dari pengalaman Ipteknet mengelola go.id akan menelurkan petunjuk pelaksanaan untuk DTD yang lain.
Namun hal ini tidak pernah terlaksana sepenuhnya. Pada 1995, masuklah Indonet dan RADnet sebagai pengelola DTD seiring perkembangan bisnis PJI saat itu.
Pembentukan APJII
Bergabungnya para PJI untuk ikut mengelola domain tingkat dua ini -khususnya .net.id-mencapai puncaknya dengan pencetusan deklarasi bersama pada Maret 1996. Catatan Samik-Ibrahim menyebutkan 31 orang dari kalangan PJI dan UI yang ikut meneken deklarasi tersebut.
Deklarasi itu mencakup empat hal, salah satunya adalah penunjukkan Pembina Ipteknet Joseph FP Luhukay sebagai administrative contact untuk DTD .net.id. Jos kini Presdir PT Bank Lippo Tbk.
Para peserta juga menyepakati pendirian sebuah "ID*NIC" yang antara lain berfungsi menangani registri alamat IP dan nama domain, terutama .net.id. Pusilkom UI mendapat tugas membuat proposal penyelenggaraan lembaga itu serta tata cara pengelolaan domain yang lain, termasuk .co.id dan .or.id.
Pada 15 Mei 1996, dibentuklah Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) sebagai hasil dari deklarasi itu juga. Sekjen APJII pertama (1996-1999) dijabat Teddy A. Purwadi. Dia jugalah yang kembali terpilih sebagai Sekjen APJII terbaru (2005-2008).
Tak lama kemudian APJII mendaftarkan ID-NIC sebagai nama merek yang sekaligus menutup peluang pihak lain menggunakan kata-kata atau susunan huruf yang sama tanpa izin.
Dua bulan setelah deklarasi, tepatnya 27 Juli 1997 tim APJII dan UI sepakat mengelola bersama-sama pendaftaran nama domain. Rupanya kolaborasi antara akademisi dan para pengusaha ini tak berjalan lama.
Usulan pengelolaan domain tidak pernah rampung hingga deadline Agustus 1997. Puncaknya, tim UI menyatakan mundur mulai 1 Oktober 1997. ID-TLD berada dalam status quo.
ID-TLD baru
Kegagalan APJII/UI itulah yang kemudian mendorong Samik-Ibrahim sebagai ID-TLD berinisiatif mengembalikan hak pengelolaan kepada IANA. Dia mendeskripsikan pekerjaan ID-TLD saat itu, "diumpamakan sekedar 'menahan' kapal bocor dari tenggelam, cepat atau lambat harus dikembangkan kapal baru dengan nakhoda baru!"
Pengelolaan nama domain tak menentu hingga pada 30 September 1997, Budi Rahardjo dari ITB secara sukarela menyatakan bersedia menangani ID-TLD. Samik-Ibrahim langsung menyetujui langkah Budi.
Namun dia masih menjadi ID-TLD selama 30 September 1997 hingga IANA meresmikan Budi sebagai ID-TLD pada 18 Agustus 1998 setelah mendapat referensi, salah satunya dari Jos Luhukay.
Menurut Samik-Ibrahim, setelah penyerahan ini, "secara de-facto-terhitung 30 September 1997, kebijaksanaan pengelolaan ID-TLD tidak ada sangkut-paut baik dengan pihak APJII maupun pihak UI."
Dia lalu meminta Budi untuk menyiapkan berbagai hal terkait pengelolaan domain. Salah satunya adalah kembali membuat pedoman pengelolaan ID-TLD dan DTD sebelum 6 Februari 2003.
Pedoman pendaftaran domain itu sebisa mungkin mengikuti kerangka kerja global yang disebut RFC-1591.
Budi kemudian menetapkan sistem billing tahunan untuk pendaftaran domain meminjam alamat APJII. Dalam sebuah wawancara pada Maret 2003, Budi menegaskan tetap mempertahankan IDNIC sebagai lembaga nirlaba kendati ada desakan komersialisasi. IDNIC tetap sebagai lembaga independen yang lepas dari intervensi pihak luar.
Hubungan Budi sebagai ID-TLD dan APJII retak setelah asosiasi itu melarang Budi penggunaan nama IDNIC (yang telah menjadi merek) pada Maret 2005. Sekjen APJII saat itu dijabat Heru Nugroho (2002-2005). Pelarangan ini menyusul penerapan sistem registrar-registry yang disosialisasikan Budi.
Dalam sistem itu, pengelolaan nama domain (DTD dan ID-TLD) dan alamat IP dilakukan dua lembaga terpisah. APJII merasa tidak dilibatkan dalam perumusan sistem itu, sebaliknya ID-TLD menuding APJII tidak kooperatif. Karena dilarang memakai IDNIC, Budi lantas mencoret APJII sebagai calon registrar. Budi juga berhenti memakai alamat APJII untuk penagihan dan kembali menggunakan ID-TLD sebagai nama institusi pengelola domain.
Perseteruan saat ini seperti hendak mengulang konflik ID-TLD dan APJII/UI pada 1997-1998. Pihak yang terlibat juga masih muka lama walaupun APJII kini memiliki Dewan Pengurus baru dan mengantongi mandat Munas.
Bedanya, kini pemerintah melalui Departemen Kominfo bersedia turun tangan menjadi mediator, tidak seperti masa-masa 1990-an ketika Ditjen Postel mengabaikan masalah ini dan membiarkannya menjadi api dalam sekam.

Era Warnet (Sejarah Internet 3)

No comments: