Sunday, February 21, 2010

Persaingan industri lokal mulai tidak sehat


Pada periode 2008—2009, persaingan sengit memperebutkan pasar perangkat telekomunikasi nasional terjadi antara penyedia lokal dengan asing. Namun, saat ini peta persaingan berubah drastis karena industri lokal saling menggerus pasar industri lokal lainnya.
Berubahnya peta persaingan antar-penyedia perangkat telekomunikasi terutama dipicu oleh kebijakan pemerintah yang mendorong peningkatan kandungan lokal pada infrastruktur yang digunakan operator, seperti dalam penyelenggaraan telekomunikasi seluler generasi ketiga (3G) dan Internet pita lebar WiMax.
Alih—alih memberdayakan industri lokal, operator WiMax malah kesulitan untuk mulai membangun infrastruktur yang menjadi komitmennya sesuai dengan lisensi modern mengingat penyedia lokal ternyata belum benar—benar siap menyediakan perangkat dengan spesifikasi yang sesuai dan diproduksi massal.
Bahkan pada awal Juni 2009, Kementerian Ristek menyatakan PT Hariff Daya Tunggal Engineering dan PT Teknologi Riset Global (TRG) belum siap menyediakan perangkat WiMax di pita 2,3 GHz.
Ketidaksiapan kedua perusahaan lokal itu juga terlihat pada saat uji coba perangkat WiMax di Puspitek Serpong, pekan lalu. Perangkat base station dari Hariff dan TRG hanya bisa menjangkau 15 CPE (customer premises equipment) dengan daya jangkau sampai 6 km. Adapun WiMax Forum mensyaratkan dalam satu base station bisa menjangkau minimal 100 CPE.
Staf Ahli Menristek Engkos Koswara mengungkapkan untuk menyiapkan industri manufaktur nasional perlu pengembangan riset dan pengembangan, baik hardware maupun software yang sesuai dengan regulasi nasional dan WiMax Forum.
Namun, tak sampai menunggu lama, Hariff sudah mengantongi Type Approval (TA) pada 5 Oktober 2009 dari Direktorat Pos dan Telekomunikasi dan telah menjual ribuan perangkatnya, HiMAX331-BS versi 2 dan HiMAX331-SS versi 2 kepada PT Aplikanusa Lintasarta dengan harga sangat murah.
Sebagian kalangan vendor lokal menilai harga tersebut dinilai tidak masuk akal bila mereka benar-benar melakukan investasi TKDN (tingkat kandungan dalam negeri) karena menelan cost yang besar.
Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, sejumlah vendor lokal yang bekerja sama dengan asing malah mengeluarkan investasi yang besar, terutama dalam pengembangan aplikasi atau software, dan material yang dibeli di dalam negeri yang harganya malah tinggi.
Direktur Pengembangan Bisnis PT Lintasarta Yudi Rulanto Subyakto mengungkapkan dalam memilih perangkat WiMax yang akan digunakan, pihaknya memperhitungkan spesifikasi teknis dan harga yang murah. “Saat ini sudah ada 3 produk lagi yang sedang di tes, di luar produk Hariff,” ujarnya.
Adapun GM Pengembangan Bisnis Indosat M2 Hermanuddin mengatakan dalam memilih vendor lokal yang dipertimbangkan adalah sertifikasi, sepsifikasi teknis, dan harga.
//Survei TKDN//
Waktu yang dibutuhkan bagi Surveyor Indonesia (Departemen Perindustrian) untuk meneliti kandungan lokal hingga mengeluarkan sertifikasi TKDN juga memakan waktu lama, hingga 3,5 bulan.
Sebagaimana diketahui, Hariff belum mengantongi sertifikasi TKDN pada Januari 2010 meski sudah mengantongi sertifikat dari Ditjen Postel, yaitu Sertifikat No. 12771/2009 untuk perangkat base station dan Sertifikat No. 12772/2009 untuk perangkat subscriber terminalnya. Hariff bekerja sama dengan vendor AS Harris Stratex Telsima.
Padahal prosedur yang sebenarnya adalah untuk mendapatkan TA harus memenuhi sertifikasi TKDN terlabih dahulu.(Bisnis, 11 Januari 2010).
Namun, hanya dalam waktu singkat, vendor lokal tersebut sudah berhasil mengantongi sertifikasi TKDN, yaitu pada 21 Januari 2010.
Seperti diketahui, pada awalnya dulu Hariff melakukan pengembangan produk WiMax versi 1 nya dengan menggunakan chipset dari WaveSat yang kemudian ternyata tidak berhasil dijual karena produk tersebut tidak lulus tes teknis Ristek dan para operator BWA.
Hal ini menimbulkan kesan bahwa proses yang dilakukan oleh Departemen Perindustrian atau Surveyor Indonesia hanyalah formalitas belaka.
Seorang eksekutif vendor lokal menyatakan kemungkinan Hariff tidak melakukan investasi yang sesungguhnya seperti yang dilakukan oleh para industri lokal pesaingnya namun ditolerir oleh pemerintah. Tanpa investasi, mereka bisa dikategorikan hanyalah sebagai pedagang yang dengan waktu singkat bisa menjual ribuan produk barunya tersebut dengan harga murah.
Hariff diketahui hanya melakukan perubahan sedikit atas produk Harris Telsima kemudian dijual lagi sehingga harganya jauh lebih murah dari vendor lokal lainnya. Sementara kandungan TKDN nnya sudah pasti jauh di bawah yang disyratakan pemerintah.
Pemerintah seharusnya tegas dan tidak melakukan manipulasi data seperti itu karena vendor lokal bukan hanya Hariff dan peraturan juga sebaiknya ditaati oleh Dirjen Postel sendiri.
PT LEN Industri menyampaikan bahwa investasi mereka untuk membuat produk cukup besar dan pihaknya sangat prihatin dengan kondisi persaingan yang tidak sehat tersebut.
Direktur Direktur Teknologi PT. LEN Industri Darman Mappangara mengungkapkan untuk mengejar TKDN ada investasi yang cukup besar dan minimal harusnya sama karena ada lokalisasi komponen atau jasa.
“Tetapi karena di Indonesia tidak didukung industri hulu [komponen] yang memadai, maka tetap saja komponen harus diimpor sehingga usaha TKDN tidak maksimal dan harga malah naik,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Adapun GM Production Unit Tarmizi Kemal mengatakan titik lemah TKDN adalah lemahnya pengawasan di lapangan terhadap pelanggaran penyedia maupun pengguna barang dan jasa.
“Penegakan hukum masih kurang. Selama pengawasan dan penegakan hukumnya masih kurang, TKDN tidak akan banyak membawa manfaat bagi industri dalam negeri,” ujarnya.
LEN dan sejumlah vendor lainnya menyoroti Hariff yang mengubah spesifikasi produknya tanpa mengurus sertifikasi TKDN yang baru.
PT Abhimata dan PT Teknologi Riset Global (TRG) juga menyatakan mendapatkan kesulitan yang sama karena persaingan yang tidak sehat ini.
Bahkan PT TRG, PT LEN Industri, dan PT Abhimata, yang telah melakukan investasi terancam tidak dapat menjual produknya karena persaingan yang tidak sehat, yaitu rendahnya harga yang ditawarkan Hariff.
Direktur Standardisasi Ditjen Postel Azhar Hasyim mengatakan makin murah harga yang ditawarkan vebdor lokal justru makin bagus karena bisa bersaing dengan asing.
Mochammad Syaban, Direktur Marketing PT Hariff mengungkapkan berita mengungkapkan tidak benar bahwa Hariff hanya berperan sebagai penjual saja, bukan pengembang.
“Berita yang beredar cenderung simpang siur. Saat ini kami sedang sibuk mempersiapkan tender dis ejumlah operator WiMax,” tegasnya.
Sebaiknya pemerintah memperhatikan hal ini, harga produk TKDN hanya bisa murah atau paling tidak sama dengan harga produk impor apabila pemerintah bisa memberikan subsidi kepada para industri lokal pada awal masa produksi mereka.
Pemerintah sebaiknya tidak perlu mengeluarkan dana penelitian lagi untuk 16e. Pada 2008 pemerintah menurunkan dana penelitian untuk WiMax 2,3 GHz 16 d sebesar Rp18 miliar.
Lebih bermanfaat apabila dana tersebut diberikan saja sebagai insentif kepada industri lokal agar mereka terbantu. Contohlah pemerintah China yang memberikan subsidi penuh atau insentif kepada produsen dalam negeri mereka dan terbukti produk China saat ini menjadi menguasai perdagangan di seluruh dunia.(Roni Yunianto/Muhammad Sufyan)(arif.pitoyo@bisnis.co.id)

No comments: