Oleh: Arif Pitoyo
JAKARTA: Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) kurang tegas dalam menerapkan kewajiban penyediaan telepon umum meski hal itu tercantum dalam Peraturan Menkominfo No. 1/2010 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi.
Anggota BRTI Heru Sutadi mengatakan pihaknya sudah memanggil operator jaringan tetap atau fixed wireless access (FWA) pada 2007 mengenai pemenuhan kewajiban telepon umum tersebut dan saat ini belum dievaluasi lagi.
“Saat ini ada masukan dari operator untuk menurunkan kewajiban umum dari jumlah saat ini 3% dari total kapasitas jaringan,” ujarnya.
Menurut dia, telepon umum bisa di konversikan dengan program telepon perdesaan (universal service obligation/USO) karena meski pelaksana pembangunannya dilakukan oleh Telkomsel, tetapi dananya dari seluruh operator telekomunikasi, termasuk operator jaringan tetap.
Konsep USO sendiri merupakan wartel. Sementara berdasarkan Kepmenhub No. 46/2002 tentang Penyelenggaraan Wartel, antara wartel dengan telepon umum merupakan dua hal yang berbeda.
Padahal dalam Kepmenhub No. 21/2001 mengenai Penyelenggaraan Jaringan Tetap Kabel disebutkan bahwa regulator telah mewajibkan kepada penyelenggara saluran telepon tetap (pontap) untuk mengalokasikan sekitar 3% dari kapasitasnya untuk membangun telepon umum.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia Srijanto Tjokrosudarmo menuturkan antara wartel dan telepon umum terdapat perbedaan tarif yang cukup signifikan.
"Wartel lebih kepada aspek komersial, sementara telepon umum lebih ditujukan untuk kepentingan masyarakat luas. Namun, keduanya tidak ada persaingan, malah saling melengkapi," ujarnya.
Terkait dengan pemenuhan kewajiban telepon umum, Indosat mengungkapkan baru membangun sekitar 11.000 sambungan telepon umum dari total kapasitas StarOne 3 juta sambungan atau hanya 0,36%.(api)
No comments:
Post a Comment