Monday, December 27, 2010

BHP frekuensi broadcasting akan dinaikan


JAKARTA: Pemerintah akan menaikkan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi broadcasting baik televisi free to air maupun satelit untuk mencegah pemborosan penggunaan spektrum dan meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Direktur Spektrum Frekuensi dan Orbit Satelit Kemenkominfo Tulus Rahardjo mengungkapkan pemerintah dan regulator akan membebankan biaya frekuensi yang adil baik terhadap telekomunikasi maupun broadcasting.
“Sangat setuju apabila BHP pita segera diterapkan baik kepada sektor telekomunikasi maupun broadcasting untuk mendorong optimalisasi penggunaan frekuensi,” katanya kepada Bisnis hari ini.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Postel, sektor telekomunikasi hanya menguasai sekitar 585 MHz, sementara broadcasting menguasai hampir 1.200 MHz.
Namun, meski memiliki spektrum lebih kecild ari broadcasting, sektor telekomunikasi menyumbang 90% dari BHP frekuensi, yaitu mencapai Rp5,13 triliun pada tahun ini. Adapun sektor penyiaran hanya menyumbang Rp20 miliar sepanjang 2010.
Grup Media Citra Indostar misalnya, hanya membayar BHP frekuensi sebesar Rp2 miliar per tahun, sedangkan BHP frekuensi yang didapat dari operator satelit mencapai Rp10 miliar.
Tulus melanjutkan BHP pita akan diterapkan bagi besaran pita yang digunakan secara eksklusif dan bernilai ekonomis.
Sebelumnya, pendiri Center for Indonesia Telecommunications Regulation Study Asmiyati Rasyid mengungkapkan pemerintah perlu mengurangi alokasi spektrum broadcasting dan telekomunikasi yang kurang dimanfaatkan secara optimal.
Berdasarkan data Citrus, lebar spektrum untuk Telkomsel totalnya mencapai 80 MHz dengan jumlah pelanggan 130 juta orang, XL dengan 40 MHz memiliki lebih dari 30 juta pelanggan, dan Natrindo Telepon Seluler (NTS) yang memiliki lebar pita sama dengan XL hanya memiliki 8 juta pelanggan.
“Pemerintah harus tegas, karena pada dasarnya tidak ada operator kecil, yang ada hanya operator yang malas untuk membangun jaringan. Sosialisasi BHP berdasarkan pita sudah dilakukans ejak 1997, jadi sudah cukup bagi pemerintah memberi waktu,” tutur Asmiyati.
Terkait dengan alokasi pita untuk broadcasting, Asmiyati mengungkapkan MCI terlalu besar menguasai pita 2,5 GHz, padahal sesuai dengan standar International Telecommunication Union (ITU), pita 2,5 GHz diperuntukkan bagi mobile services, baikd alam bentuk WiMax atau LTE (Long Term Evolution).
Menanggapi hal itu, Sekretaris Perusahaan PT MCI Arya Mahendra Sinulingga mengatakan fungsi telekomunikasi dan penyiaran adalah berbeda. Telekomunikasi itu langsung dipakai langsung dapat uang, sedangkan penyiaran ada unsur sosial, budaya, dan politiknya yang kental untuk membangun bangsa.
“Ini hanyalah lagu lama, usaha-usaha dari telekomunikasi untuk mengambil frekuensi penyiaran. Sebaiknya jangan hanya mikir uang saja,” tegasnya.
Asmiyati menilai sejak liberalisasi televisi asing untuk swasta, layanan publik hanya berisi iklan-iklan konsumerisasi, adapun dari sisi ekonomi telekomunikasi lebih bagus meningkatkan pendapatan daerah.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengatakan saat ini BHP satelit masih berdasarkan ISR, yang sudah saatnya berbasis pita, karena itu ada rencana Direktorat Frekuensi untuk kesana.
“Tapi tentu ada pembobotan yang berbeda karena kebutuhan 1 kanal TV sama dengan 1.000 kali voice.
Harusnya BHP broadcast dinaikan ke level yang wajar,” katanya.(api)

No comments: