Sunday, September 19, 2010

Kepastian Hukum yang Tak (100%) Pasti


Hingga hari ini, kita masih banyak melihat piringan parabola berlogo Astro terpacak di atas atap rumah para penduduk. Entah itu di Jakarta atau kota besar lainnya, hingga ke pelosok desa, pemandangan ini sudah jamak ditemui. Jumlahnya mungkin bisa mencapai ribuan dari sekitar 140.000 bekas pelanggan televisi berbayar di Indonesia tersebut.

Padahal, sejak tahun 2008, siaran Astro sudah padam. Perusahaan penyiaran televisi berbayar asal Malaysia ini menghentikan kerjasamanya dengan Grup Lippo di Direct Vision. Setelah tiga tahun sejak 2005 beroperasi, bisnis Astro di Indonesia tumbang oleh faktor internal dan eksternal. Meski selama tiga tahun memasok konten siaran dan menggelontorkan duit investasi US$ 245 juta (sekitar Rp 2,3 triliun), Astro tak kunjung jadi pemilik mayoritas dan pengelola Direct Vision.

Dari luar, Astro dihajar oleh putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di medio tahun 2008. Komisi menilai telah terjadi monopoli siaran Liga Inggris, yang menimbulkan persaingan usaha tak sehat di antara televisi berbayar. Ironisnya, tak sampai setahun berselang, sebuah televisi berbayar lokal mengempit sendirian hak eksklusif penyiaran liga tersebut.

Temasek juga bernasib sama. Setelah berinvestasi selama enam tahun sejak 2002, perusahaan investasi Singapura ini memutuskan menjual PT Indosat Tbk kepada Qatar Telecom. Ini muara dari keputusan KPPU, yang menilai Temasek melanggar UU Anti Monopoli lantaran kepemilikan silangnya di Indosat dan Telkomsel.

Vonis serupa dijatuhkan KPPU kepada Carrefour, yang mempersoalkan kepemilikan mayoritasnya di PT Alfa Retailindo Tbk. Padahal, berbeda dengan sebagian perusahaan asing lain yang membawa keuntungannya ke negara asalnya, Carrefour justru menambah investasinya di Indonesia dengan membeli Alfa.

Tiga kasus tersebut menunjukkan kepastian hukum di negara ini bisa dibengkokkan. Memang, tak selamanya investasi asing dikalahkan. Contohnya, kemenangan Carrefour atas Grup Lippo di Mega Mall Pulit, Jakarta, pada tahun ini. Pengadilan memvonis Lippo harus membayar ganti rugi senilai lebih dari Rp 400 miliar. Pasalnya, Carrefour ‘diusir’ dari Mega Mall setelah Lippo, yang juga memiliki hipermarket Hypermart, jadi pengelola baru di mal tersebut.

Meski begitu, secara umum kepastian hukum di republik ini selalu menjadi momok bagi para investor asing sejak dulu. Pemerintah pun menyadari, rules of law adalah salah satu faktor penghambat laju investasi. Tentunya, pengusaha enggan ‘berjudi’ menanamkan modalnya dalam medan yang masih berwarna abu-abu.

Dalam survei tahunannya pada 2009, lembaga keuangan internasional IFC, memasukkan kepastian hukum sebagai salah satu dari tujuh poin yang perlu dibenahi Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan investasi asing. Poin lainnya adalah masalah ketenagakerjaan (PHK), minimnya infrastruktur, hambatan modal kerja dari perbankan, korupsi, reformasi birokrasi, dan banyaknya pungutan pajak.

Padahal, dalam UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007, pemerintah telah memberikan jaminan kepastian hukum bagi investor asing. Misalnya, pemerintah tidak akan mengambil alih atau nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia, dan jika ada sengketa usaha dapat membawa masalahnya ke lembaga arbitrase internasional, Internasional Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID). Sudah banyak pula berbagai aturan, baik dalam bentuk UU, PP, Perpres, yang dibuat untuk menata dan menarik minat investor asing.

Kenyataannya, semua aturan hukum itu bisa berbeda 180 derajat dengan praktik di lapangan. Seorang pakar hukum sekaligus pengacara kondang bilang, permasalahannya terletak pada lemahnya konsistensi pelaksanaan peraturan itu. Investor sering kesulitan menyelesaikan perjanjian kontrak dan pembayaran ketika mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka keputusan persidangan kerap tidak konsisten ketika menilai fakta dan bukti-bukti yang tersedia. Lembaga pengadilan pun sering tak peduli dengan legitimasi transaksi komersial antara dua pihak yang dibuat berdasarkan perjanjian internasional.

Padahal, sejak tahun lalu minat investor asing masuk ke Indonesia makin meningkat. Di saat kondisi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa limbung serta pertumbuhan ekonomi China memanas, Indonesia jadi alternatif lahan investasi potensial. Bukti nyatanya terlihat di pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah naik hampir 20% selama tahun ini dan telah menembus level baru di 3.000. Porsi kepemilikan asing di Surat Utang Negara (SUN) terus meningkat. Bahkan, kalau tak ada aral melintang, peringkat Indonesia akan naik jadi investment grade paling lambat pada tahun depan.

Namun, itu semua masih berupa dana jangka pendek di instrumen portofolio, yang setiap saat bisa kembali cabut keluar negeri tatkala kondisi negara ini tak lagi kondusif. Dana-dana tersebut hanya akan terus berputar di pasar modal dan tak mengucur ke sektor riil selama tak ada kepastian penegakan hukum. Pengusaha tidak mau membenamkan duitnya dalam jangka panjang untuk membangun pabrik jika masih ada risiko digugat mitra usahanya atau diganggu aparat hukum.

Jika pemerintah mampu memberikan kepastian hukum, niscaya investasi asing akan kian menderas masuk ke sektor riil. Kalau sudah begini, langkah Carrefour yang kabarnya lebih memilih berinvestasi di Indonesia dan China ketimbang Malaysia, Thailand, dan Filipina, merupakan sebuah keputusan yang tepat.

No comments: