Oleh Arif Pitoyo
Dua periode sudah lembaga yang bernama Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia atau BRTI itu berkiprah di ranah telekomunikasi di Indonesia. Kehadirannya memang tidak terlalu terasa bagi masyarakat luas, tetapi sedikit banyak kiprahnya memang cukup berarti bagi perkembangan industri telekomunikasi di Tanah Air.
Selama ini, BRTI telah meletakkan dasar-dasar kebijakan telekomunikasi di Indonesia menuju era liberalisasi, meski di akui, masih semi monopolistik.
Betapa tidak? Liberalisasi semu bisa dilihat dari masih dimonopolinya kode akses oleh Telkom, meski diakui itu juga merupakan kesalahan Inodsat yang tak juga membangun jaringan tetap kabelnya.
Monopoli jaringan tetap Telkom menyebabkan semua operator yang akan melakukan panggilan interlokal harus membayar biaya terminasi ke operator incumbent tersebut. Hal ini menyebabkan biaya yang ditanggung masyarakat pengguna masih sangat besar.
Mengenai masalah ini, BRTI ternyata tidak terlalu sakti dan hanya bisa membuka kode akses untuk Indosat di Balikpapan. Padahal, sebentar lagi akan segera hadir operator SLJJ baru yang tentunya butuh kode akses juga.
BRTI juga tidak memiliki senjata regulasi mematikan untuk memberikan efek jera kepada operator telekomunikasi, terutama yang merugikan pelangganya. Tengok saja, penyebaran data pelanggan suatu operator besar kepada pihak ketiga hanya dianggap angin lalu oleh lembaga yang dibentuk berdasarkan UU tersebut.
Lalu masalah tumbangnya jaringan sejumlah operator beberapa tahun lalu dan tahun ini juga tak tersentuh sanksi BRTI. Sanksi denda yang sejak 2 tahun lalu sudah disebut-sebut Menkominfo Sofyan A. Djalil hanyalah janji dan retorika biasa saja, dan hanya sebagai senjata regulator itu untuk menakut-nakuti penyelenggara. Namun kenyataannya, operator bergeming dan sangat bernyali di hadapan para regulator yang masih muda usia tersebut.
Kecilnya pengaruh dan wibawa BRTI juga bisa dilihat minimnya pimpinan tertinggi operator untuk bertemu dan bertatap langsung dengan regulator dalam suatu suasana yang resmi dan formal menyangkut sebuah kasus.
BRTI juga tak punya nyali menghadapi sikap operator yang jelas-jelas membangkang dan mengangkangi keputusan menteri terkait dengan sistem kliring trafik telekomunikasi.
Keputusan lelang yang jelas-jelas sudah diumumkan sejak 2004 sampai sekarang tak kunjung terlaksana. BRTI juga tak bisa bersikap tegas terhadap PT Pratama Jaringan Nusantara yang hingga kini belum juga menggelar SKTT. BRTI tak bisa mengambil jalan tengah dan solusi yang strategis, terutama menyangkut keberadaan PT PJN yang hingga kini masih dipertanyakan keabsahan hasil lelangnya, karena disinyalir merupakan penunjukan langsung oleh Dirjen Postel saat itu.
Itu lah BRTI, rekam jejaknya hanya terdengar di tepian saja, dan belum bisa menggapai gelombang besar di tengah, karena tentunya benturan kebijakan yang berbau politis akan menghadangnya, dan lembaga itu tidak memiliki senjata untuk menangkisnya.
Menjelang terpilihnya para anggota BRTI yang baru, seharusnya pemerintah dan DPR memperkuat landasan hukum lembaga tersebut dan segera melengkapinya dengan senjata regulasi agar memiliki kekuatan menjatuhkan sanksi.
Selamat bekerja BRTI