Oleh: Arif Pitoyo Industri satelit, memang tak secemerlang seluler. Gaungnya tak terdengar sampai kepada pelosok dan penjuru Tanah Air. Maklum, industri yang sarat teknologi dan investasi itu hanya melayani konsumen perusahaan telekomunikasi, penyiaran/broadcasting, dan Internet.
Pada sudut pandang yang berbeda, konsumen dari satelit bisa juga datang dari kalangan militer atau lembaga penelitian sejenis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Meski tak secemerlang seluler, tetapi keberadaan satelit merupakan jaminan identitas suatu bangsa, dan sedikit di atasnya, satelit merupakan pertanda adanya suatu negara dan bangsa yang berdaulat.
Satelit Indonesia merupakan satelit yang didaftarkan ke ITU atas nama administrasi telekomunikasi Indonesia. Dalam eksistensinya, satelit-satelit Indonesia tersebut diselenggarakan oleh para penyelenggara satelit Indonesia yang meliputi PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Media Citra Indostar, PT Pasifik Satelit Nusantara, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Sementara itu, daftar satelit Indonesia terdiri dari Palapa Telkom-1 (108oBT), Telkom-2 (118oBT), Palapa C-1 (113oBT), Palapa Pacific 146oBT, Cakrawarta-1 (107,7oBT), Garuda-1 (123oBT), dan satelit Lapan Tubsat.
Kita pernah mencatat sejarah manis setelah berhasil meluncurkan satelit komunikasi domestik Palapa A-1 ke angkasa pada 9 Juli 1976, di saat angkasa Indonesia masih kosong dari satelit-satelit asing.
Peluncuran satelit Palapa A-1 juga menandai Indonesia layak disejajarkan dengan empat negara besar lainnya di dunia yaitu Kanada, Amerika Serikat, dan Jepang yang telah mengoperasikan satelit sendiri.
Pada 10 Maret 1977, Indonesia pun berhasil meluncurkan satelit berikutnya yang diberi nama Palapa A-2 yang memiliki 12 transponder seperti yang dimiliki Palapa A-1.
Kedua satelit komunikasi Indonesia itu memiliki umur yang relatif pendek, yaitu tujuh tahun di mana Palapa A-1 berakhir masa operasinya pada 1983, sedangkan Palapa A-2 berakhir pada 1984.
Namun, saat itu pemerintah Indonesia melalui Perumtel yang kini bernama Telkom telah mengantisipasi umur satelit tersebut jauh-jauh hari dan sudah memikirkan penggantinya yaitu Palapa B-1 yang diluncurkan pada 17 Juni 1983.
Karena suatu masalah, maka satelit Palapa B1 berumur pendek yaitu hanya dua tahun, untungnya pemerintah sudah menyiapkan Palapa B-2 yang kemudian diluncurkan pada 2 Februari 1984.
Namun, satelit tersebut bermasalah lagi, sehingga tidak masuk pada orbitnya dan kemudian hilang.
Pemerintah pun segera meluncurkan satelit pengganti Palapa B2P pada 21 Maret 1987 dan masuk pada slot orbit 113 derajat Bujur Timur (BT). Satelit B2 yang hilang kemudian ditemukan kembali, kemudian diluncurkan dengan nama Palapa B2R menempati slot orbit 108 derajat BT pada 14 April 1990.
Guna memenuhi kebutuhan nasional, maka pada 14 Mei 1992, diluncurkan juga satelit Palapa B4 dan berada pada slot 118 derajat BT. Setelah itu, Indonesia berturut-turut meluncurkan satelit Palapa C-1 pada 31 Januari 1996 dan langsung menempati slot 113 derajat BT yang kemudian digantikan Palapa C-2 pada Mei 1996.
Selanjutnya karena kebutuhan dan permintaan pasar yang tinggi terhadap akses data dan komunikasi, maka Telkom meluncurkan satelit Telkom-1 pada 13 Agustus 2005 menyusul kemudian satelit Telkom-2 yang diluncurkan dari tempat yang sama pada Februari 2006 pada slot 118 derajat BT.
Bicara masalah satelit dalam kaitannya dengan harga diri suatu bangsa, Indonesia pernah kehilangan salah satu aset yang sangat berharga, yaitu slot satelit yang dinotifikasikan ke International Telecommunication Union (ITU). Tak tanggung-tanggung, kita sempat kehilangan 3 slot satelit!
Sebenarnya tidak perlu diperdebatkan siapa sesungguhnya yang harus beratnggung jawab, apakah pemerintah yang lalai mengingatkan operator penyelenggara satelit, atau kah operator itu yang memang nyata-nyata lalai dan tidak mau bertanggungjawab.
Indosat misalnya, merupakan pengelola dua slot satelit yangs empat hilang, yaitu 113 derajat BT dan 150,5 derajat BT. Terakhir kita mendengar ke-3 slot tersebut sudah dapat diselamatkan lagi oleh pemerintah.
Dan yang menjadi masalah adalah, akankah pemerintah kembali menyerahkan slot yang membawa identitas dan harga diri bangsa di dunia internasional itu kepada operator yang telah gagal mengelolanya dan akhirnya terlepas?
Pertanyaan ini kembali muncul karena sejak diselamatkan kembali pada November 2007, janji pemerintah yang akan melaksanakan tender pengelolaan slot tersebut tak kunjung terlaksana. Indosat sebagai pengelola dua slot itu sebaiknya tidak diizinkan mengikuti tender tersebut.
Pemerintah jangan sampai melakukan kesalahan yang sama dengan menyerahkan pengelolaan slot kepada operator yang tidak mampu melakukannya. Indosat mengaku tak lagi mampu menginvestasikan pengadaans atelit baru yang relatif cukup mahal.
Lalu, mengapa tender tak kunjung dilaksanakan? Lalu selama periode November sampai sekarang siapa sebenarnya yang mengelola slot tersebut? Apakah pemerintah atau pengelola slot lama? Lalu bagaimana pendapatan yang diperoleh dari penyediaan jasa dari satelit yang berada di ketiga slot tersebut? Karena bila pemilik lama masih memanfaatkannya untuk bisnis jelas itu illegal.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tak pernah dapat dijawab pemerintah sampai sekarang. (arif.pitoyo@bisnis.co.id)
foto:www.itc.nl