Industri telekomunikasi berkembang sangat pesat di Indonesia, khususnya dalam lima tahun terakhir. Apabila di rata-rata, nilai bisnis industri tersebut dalam lima tahun terakhir mencapai Rp80 triliun setiap tahunnya.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada tahun lalu Kemenkominfo mencatat PNBP sebesar Rp12,1 triliun atau naik 10%-20% dari target semula. Adapun pada tahun ini, target yang dicanangkan Kemenkominfo adalah Rp11 triliun.
Namun, mengkilapnya industri telekomunikasi tak dirasakan sepenuhnya oleh Indonesia, karena minimnya kepemilikan perusahaan lokal di operator telekomunikasi kurang gregetnya regulasi dalam mendesak pelaku usaha menyelesaikan kewajibannya, termasuk kewajiban biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi yang masuk dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Sehingga, pajak yang seharusnya dapat dinikmari negara, harus berkurang, bahkan terancam hilang sama sekali. PT Smart Telecom misalnya, yang tidak bersedia membayar BHP hingga tiga tahun. Bahkan, pemerintah atau regulator sampai rela menghitung ulang kembali besaran pajak biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi sejak Januari 2011 meski sampai sekarang juga tak kunjung selesai.
Perhitungan ulang besaran BHP frekuensi Smart Telecom pun molor hingga beberapa bulan sehingga terancam mengurangi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tahun ini.
Smart yang menguasai lima kanal di spektrum 1.900 Mhz memiliki utang BHP frekuensi kepada negara sebesar Rp484 miliar.
Selama ini terdapat perbedaan hitungan besaran BHP Smart antara pemerintah dan Smart. Smart mengklaim pihaknya seharusnya hanya membayar Rp242 miliar tetapi Ditjen Postel menarik Rp484 miliar sama seperti operator 3G di pita yang sama.
PT Smart Telecom meminta keringanan pembayaran biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi selama tiga tahun hingga 50% menjadi hanya Rp242 miliar.
Dirut Smart Telecom Sutikno Wijaya meminta pemerintah bersikap adil dan tidak memberlakukan BHP yang sama kepada Smart dengan operator 3G lainnya yang lebih mapan.
“Kami merupakan operator yang baru berkembang tetapi harus membayar up front fee dan BHP seperti operator 3G lainnya, sementara operator berteknologi CDMA lainnya seperti Mobile-8 membayar BHP jauh lebih murah karena masih menganut perhitungan ISR [izin stasiun radio],” katanya kepada Bisnis beberapa waktu yang lalu.
Sutikno mengungkapkan biaya pemakaian frekuensi yang dibebankan kepada Smart Telecom sesungguhnya tarif layanan komunikasi generasi ketiga (3G) milik operator seluler berbasis Global System for Mobile Communication (GSM).
Padahal Smart operator telepon berbasis Code Division Multiple Access (CDMA). Kanal frekuensi milik Smart Telecom pun, katanya, tidak berada di spektrum frekuensi 3G.
“Kami bukannya tidak mau membayar, tetapi perhitungan dari Kemenkominfo mengenai besaran BHP memang belum keluar hingga saat ini, padahal sudah ada evaluasi dari BKPM dan fatwa Kejaksaan Agung bahwa kami hanya membayar separuh dari BHP operator 3G,” tuturnya.
Pajak yang seharusnya dinikmati negara dari sektor telekomunikasi juga banyak hilang di pita frekuensi 2,5 GHz.
Potensi kehilangan pajak dari biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi di pita 2,5 Ghz adalah sebesar Rp2,4 triliun setiap tahun karena penguasaan yang besar untuk satelit broadcasting sebesar 150 MHz.
Sekjen Indonesia Wireless Broadband (Idwibb) Yohannes Sumaryo mengungkapkan di pita tersebut, terdapat PT Media Citra Indostar (Indovision) yang menguasai spektrum selebar 150 MHz dan hanya bayar BHP sebesar Rp300 juta setahun.
Sementara operator WiMax atau LTE sanggup membayar Rp2,4 triliun per tahun untuk lebar pita yang sama.
Corporate Secretary Indovision Arya Mahendra mengungkapkan penataan frekuensi, terutama pita 2,5 GHz, hanyalah permainan vendor yang ingin dagangannya laku. "Pemerintah jangan sampai mau diintervensi vendor asing.
“Industri penyiaran bukan hanya sekadar mencetak laba seperti telekomunikasi, tetapi ada juga unsur pendidikan dan sosialnya,” tegasnya.
Selain masalah pita frekuensi 2,5 GHz tersebut, pemerintah juga kehilangan potensi BHP frekuensi yang seharusnya dibayarkan operator satelit asing yang bekerja di slot orbit milik Indonesia, yaitu Mabuhay asal Filipina dan SES SA asal Prancis.
Jangan lupa juga, pemerintah juga sepertinya kecolongan dengan operasional Research in Motion melalui BlackBerry di Indonesia yang tidak membayar biaya hak penyelenggaraan (BHP) Jasa Telekomunikasi.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mendesak pemerintah untuk mewajibkan RIM mengurus lisensi Internet service rovider (ISP) apabila ingin memberikan layanan Internet BlackBerry (BIS) di Indonesia.
Operator hanyalah pemilik jaringan 3G yang hanya mengoperasikan last miles tapi yang mengoperasikan sepenuhnya atas layanan BIS itu murni RIM. Identik dengan model bisnis dan kerja sama pemanfaatan jaringan seperti hal ini adalah antara Indosat dengan anak usahanya IndosatM2.
Dengan menerapkan lisensi ISP kepada RIM atas layanan BIS, maka RIM wajib menempatkan exchange point/router/gateway dan server di dalam negeri, dikenakan pajak layanan jasa Internet seperti halnya ISP lain, kewajiban yang equal dengan ISP lain saat diberlakukan filtering, membuka lapangan kerja, karena BIS RIM itu layanannya identik dengan BROOM IM2, maka akan ada perusahaan lokal BIS RIM sekelas IM2 dengan jumlah pegawai ratusan bahkan ribuan orang
RIM sendiri diklaim sudah memenuhi pembayaran biaya hak penyelenggaraan (BHP) jasa telekomunikasi lewat operator seluler yang menjadi mitranya di Indonesia.
“Seperti halnya content provider [CP], jatah pembayaran untuk RIM dari operator juga dilakukan setelah perhitungan pembayaran BHP, jadi sudah termasuk di dalamnya, seperti waktu saya masih di Indosat,” ujar mantan Direktur Marketing Indosat Guntur S. Siboro yang kini menjabat sebagai Managing Director Aora TV.
Pemerintah seharusnya memeriksa detil perjanjian kerja sama (PKS) antara operator telekomunikasi dengan RIM dan PKS antara operator satelit lokal dengan asing sehingga bisa diketahui bahwa kewajiban membayar pajak sudah dipenuhi atau belum.(arif.pitoyo@bisnis.co.id)
No comments:
Post a Comment