Oleh Komisi IV DPR periode 1999-2004, pemerintah dianggap telah melanggar kesepakatan pada saat melakukan penunjukkan perusahaan pemenang beauty contest SKTT. Lembaga legislatif itu menilai proses seleksi (beauty contest) yang dilakukan Pemerintah dalam menentukan penyelenggara SKTT tidak berlangsung secara transparan dan hal itu dinilai melanggar kesepakatan yang dibuat dalam rapat kerja antara komisi IV DPR dengan pemerintah. Kesepakatan itu adalah pemerintah harus memaparkan terlebih dahulu proses seleksi SKTT kepada DPR sebelum diputuskan pemenangnya.
Namun, ketetapan hukum sudah dibuat, dan Pratama juga sudah membangun jaringannya meski saat ini masih menggunakan data trafik lama pada tahun 2004.
Pembangunan jaringan itu tak main-main, sampai menghabiskan dana beratus-ratus miliar yang oleh sebagian kalangan dianggap tidak masuk akal dan perusahaan tersebut harus memaparkan penggunaan dana itu kepada publik mengingat jaringan itu adalah fasilitas layanan untuk masyarakat.
Dana yang besar itu merupakan utang Pratama kepada Rabobank yang hingga pergantian manajemen baru saat ini masih belum kunjung terbayarkan. Wajar saja, karena angan-angan mendapatkan pendapatan triliunan per harinya tidak kunjung menjadi kenyataan karena pelaksanaan SKTT yang tidak terlaksana.
Operator bahkan menuntut pembubaran SKTT karena mereka sendiri sudah memiliki wadah sendiri dalam bentuk sistem otomatisasi kliring telekomunikasi (SOKI).
Sebenarnya, awal mula dibentuknya SKTT adalah bentuk keinginna pemerintah yang ingin lebih mendalami dan terjun langsung dalam pelaksanaan sistem kliring trafik telekomunikasi. Selama ini, trafik yang dipaparkan operator melalui Asosiasi Kliring Trafik telekomunikasi (Askitel) cenderung tidak transparan dan terksan banyak yang ditutupi.
Namun anggapan seperti itu sudah berulangkali ditolak oleh pihak Askitel, karena Telkom dan Indosat, sebagai perusahaan publik yang sahamnya tidak hanya tercatat di Bursa Indonesia, tetapi di AS, tentunya tidak main-main dalam memaparkan datanya yang sudah diaudit oleh auditor eksternal.
Pada dokumen tendernya, PJN diwajibkan melaksanakan SKTT pada 1 Januari 2005 menggunakan data-data yang dikumpulkan operator kepada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Namun apa daya, bukannya data yang terkumpul, malah utang yang makin membengkak dan memberatkan operasional PJN hingga pada 2006 terjadi pergantian kepemilikan di tubuh perusahaan itu.
Di saat seperti itulah, ketegasan pemerintah dan regulator diuji. Ketidaktegasan dari regulator terlihat dari berlarut-larutnya proses kliring hingga melalui pergantian empat menteri teknis. Bila saja pemerintah tegas, maka tentunya proses kliring yang memiliki nilai bisnis sangat besar tersebut tidak tersendat-sendat.
Ketidaktegasan bukan hanya ditujukan kepada operator semata, tetapi juga Pratama sebagai pelaksana tender. Ketegasan bisa terlihat bila pemerintah memaksakan operator untuk ikut dalam SKTT, atau membubarkan sama sekali sistem tersebut dan menggantinya dengan sebuah perusahaan bentukan pemerintah (sejenis badan usaha milik negara).
Tetapi sekedar memberikan gambaran, di negara-negara maju lainnya, sistem kliring trafik telekomunikasi sudah tentu dilaksanakan oleh swasta yang berkolaborasi sendiri satu sama lain, sementara regulator hanya mengarahkan dan mengawasi saja.
Memang cara tersebut tidak efektif, terutama bila lembaga kolaborasi itu tidak transparan menyerahkan data trafiknya ke pemerintah. Mungkin langkah efektifnya adalah pemerintah dan operator membentuk perusahaan bersama dengan komposisi saham mayoritas di tangan pemerintah.
Setitik cerah mulai terlihat pada saat operator sepakat untuk menanamkan sahamnya di PJN pada 21 Maret di Bali yang disaksikan juga oleh Menkominfo saat itu, Sofyan A. Djalil (sekarang Meneg BUMN).
Namun due diligence yang sangat diharapkan dari para dirut operator itu ternyata tak juga disetujui dan bahkan malah mundur dari rencana menanamkan sahamnya di PJN. Kabarnya, operator tak mau bila harus menanggung utang-utang PJN yang sangat besar itu.
Entah apa jadinya bila polemik ini terus berlanjut, karena sistem kliring merupakan nyawa dari sebuah layanan telekomunikasi. Bila kemudian pemerintah sudah tak mengakui lagi keberadaan Askitel seperti saat ini dan hanya mengakui operator sebagai entitas sendiri-sendiri, maka keberadaan kliring oleh SOKI juga otomatis tidak bisa diakui legalitasnya lagi.
Bola panas saat ini berada di tangan pemerintah, dan jangan sampai bola panas itu berakhir di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti yang ditakutkan banyak pihak. Badan pemeriksa Keuangan (BPK) dan auditor independen mungkin bisa dilibatkan dalam audit keuangan SKTT, mulai dari sebelum diadakan tender sampai saat ini, agar masyarakat juga bisa mengetahui hal yang sebenarnya.(arif.pitoyo@bisnis.co.id)
Kredit foto:almasarco.com